Friday, September 25, 2009

Sayonara bag 4 -TAMAT-

Orangtua Ardan, Gista, Aninta dan Dito dateng ke rumah sakit satu jam kemudian. Ibunya Ardan yang paling stres karena tadi dia udah mengijinkan anak laki-lakinya itu untuk keluar malam. Seandainya dia nggak ngijinin mungkin kecelakaan itu nggak akan terjadi.

Aninta dan Gista ada di pojokan sedang menangis berdua. Sedangkan Dito berusaha untuk menghubungi Rianda. Cewek itu langsung shock mendapat kabar tentang kecelakaan Ardan dan dengan diantar kakaknya, mereka langsung menuju rumah sakit. Beberapa anak motor temen Ardan yang menunggu di sana, bergabung dengan Dito.

Ruang UGD belum terbuka juga. Ayah-Ibu Ardan, Broto dan yang lainnya, Dito, Andari, Rianda, Gista dan Aninta keliatan nggak sabar menunggu dokter yang menanganinya keluar ruangan. Ya, mereka semua cemas dengan keadaan Ardan.

Setelah setengah jam menunggu, akhirnya lampu UGD padam. Dokternya pun segera keluar dan langsung disambut dengan penuh harap oleh semua orang yang ada di sana.

“Ng....sampai saat ini dia masih bisa sadar, walaupun kritis. Tapi dari tadi dia terus menyebut-nyebut nama Rianda. Kayaknya dia pengen banget ketemu sama Rianda,” ujar Dokter itu.

Aninta kaget,tapi kemudian dia keliatan pasrah.

“Nama saya Dok?” tanya Rianda.

“Iya, saya ijinkan buat yang berkepentingan untuk masuk menjenguk, tapi jangan lama-lama. Pasien masih dalam keadaan kritis. Permisi.”

Dokter itu pun pergi. Rianda, Aninta, Dito, Gista dan nggak ketinggalan orangtua Ardan langsung mesuk tanpa disuruh dua kali. Keadaan Ardan menyedihkan. Banyak selang di sana-sini. Semuanya keliatan membuat Ardan menderita.

“Rianda....” rintihnya dalam suara yang nyaris nggak kedengeran. Cewek itu langsung mendekat. Mata Ardan terbuka. Dia menatap Rianda. Lemah.

“Gue nggak punya banyak waktu. Gue harus bilang semuanya ke elo. Sejujurnya....gue sayang banget.....sama elo. Gue.....sayang sama elo.....lebih dari....sahabat.....gue....cinta sama elo, Nda. Selama ini....gue udah berusaha untuk ngilangin perasaan itu....dari hati gue, tapi gue nggak bisa. Semakin gue pengen ngilangin elo dari hidup gue, semakin gue inget sama elo. Maafin gue, Nda....”

Aninta yang mendengar itu tersentak kaget. Rianda pun nggak kalah kagetnya. Ardan sadar kalo dia udah membohongi Aninta, makanya dia beralih ke cewek yang ada di sebelah Dito.

“Nin....sory, gue nggak bermaksud boongin elo. Jujur gue suka kok sama elo, gue suka ngeliat elo kalo lagi tersenyum, tapi gue suka elo sebagai temen. Gue pengen elo semangat.....inget ucapan gue yang waktu itu. Ok?!”

Aninta mengangguk sambil menahan tangis. Tanpa disadari, dua bulir airmatanya jatuh.

“Ayah-Ibu, aku minta maaf kalo aku banyak salah sama kalian. Aku tau aku suka keras kepala, tapi sebenernya aku sayang banget sama kalian. Gista....elo kalo nggak ada gue, bakal bisa tidur di kamar gue terus, main di kasur gue, sesuka lo. Enak kan?”

“Nggak!! Mending aku nggak usah main di kamar Mas, yang penting Mas bisa pulang lagi ke rumah.”

Ardan berusaha memamerkan senyuman termanisnya dengan susah payah. “Nggak ada gue, masih ada Dito.”

Dito yang dari tadi terdiam mengamati kejadian di depannya itu terperanjat kaget begitu namanya disebutkan. “Gu,gue?”

“Iya, lo nggak boleh macem-macem sama Gista, dia itu adek kesayangan gue satu-satunya.”
Dito hanya mengangguk perlahan.

“Rianda,” Ardan beralih ke Rianda sekarang.
“Pertanyaan terakhir gue buat elo....” Dengan susah payah Ardan mengangkat tangannya, berusaha untuk bisa memegang wajah Rianda. Cewek itu bisa merasakan dinginnya tangan Ardan.

“Lo jangan ngomong kayak gitu donk.”

“Elo mau nggak jadi.....cewek gue?”

Tangan Ardan terjatuh lunglai. Matanya tertutup dan ada air yang menetes di sudut matanya. Monitor yang memantau detak jantungnya kini telah membuat garis lurus panjang, yang menandakan kalau jantung Ardan udah nggak berfungsi lagi. Dia meninggal saat itu juga.

Rianda termangu. Tatapannya kosong. Dadanya terasa sesak. Tanpa disadari, air matanya jatuh saat itu juga, sementara tangis dari yang lainnya makin kuat. Digenggamnya tangan Ardan dengan lembutnya. Kemudian ia berbisik tertahan di telinga Ardan,

“Gue...mau jadi....cewek lo, Ardan...”

***

Pemakaman jenazah Ardan berjalan dengan lancar. Tanpa panas dan tanpa hujan. Setelah upacara selesai, orang-orang mulai meninggalkan tempat itu. Termasuk Ibunya Ardan yang keliatan berat hati saat meninggalkan kuburan anaknya itu, tapi dia mencoba pasrah untuk menerima takdir yang udah digariskan. Dia bersama suaminya pulang terlebih dulu, karena Gista masih pengen berada di kuburan itu lebih lama, bersama teman-teman kakaknya. Ibunya pun nggak bisa menolak karena Dito janji mau mengantar Gista pulang ke rumah.

“Seharusnya gue nggak ngijinin Ardan naik motor itu,” Broto membuka percakapan diantara mereka yang sedang terdiam memandangi gundukan tanah di hadapannya. Rianda melirik Broto.

“Ardan itu kan suka banget sama balapan. Kalo ini bukan takdir, dia pasti masih baik-baik aja. Jadi ini bukan salah lo. Ardan cerita kok sama gue, kalo balapan itu emang selalu ada resikonya. Karna dia udah siap dengan segala resikonya itu makanya dia ngejalanin itu semua dengan senang,” ujar Rianda panjang lebar.

Aninta memandang Rianda. Cewek itu emang pantes disukain sama Ardan, batinnya. Dia banyak ngerti soal Ardan, nggak kayak dirinya yang emang baru beberapa minggu mengenal Ardan.

Dito menghela nafas, memecah keheningan. “Rian, Ninta, pulang yuk. Gue juga kan musti nganterin Gista dulu. Abis itu gue baru nganterin lo-lo pada.”

Rianda bangkit berdiri. Dihapusnya air mata yang jatuh di pipi dengan punggung tangannya. “Istirahat yang tenang ya `Dan. Gue nggak bakal pernah ngelupain elo karena udah menjadi sahabat terbaik buat gue dan sampe kapan pun elo tetep menjadi sahabat terbaik gue. Kenangan sama elo bakal gue simpan di hati gue, untuk selamanya,” ujar Rianda.

“Gue juga `Dan. Gue seneng banget udah bisa jadi sohib lo selama ini. Sebagai gantinya, gue bakal nyayangin Gista kayak elo sayang sama dia. Elo jangan khawatir, gue nggak akan ngecewain Gista,” tambah Dito sambil merangkul pundak Gista. “Elo bisa percaya sama gue kan?”

“Ardan..... Gue merasa beruntung banget bisa kenal sama elo. Gue nggak akan lupa sama elo, juga sama semua nasehat yang udah lo kasih ke gue. Gue bakal berusaha untuk jadi Aninta yang bisa terbuka sama orang. Gue janji,” kata Aninta.

“`Dan, motor itu nggak akan gue benerin dan nggak akan gue buang. Supaya semua anak motor bisa ngenang elo,” ujar Broto.

“Mas Ardan, Gista sayang sama Mas.....Setelah ini Gista janji bakalan jadi anak yang baik, nggak akan nyusahin ayah sama ibu. Gista juga bakalan jaga kamar Mas supaya tetep rapih, tapi....Gista boleh kan tidur di sana dan main di sana lagi??.....Makasih ya Mas. Gista pulang dulu.”

Kemudian kelima anak itu segera meninggalkan tempat tersebut dalam hening. Masing-masing punya kenangan tersendiri bersama Ardan yang akan diingat untuk selamanya. Mereka merasa beruntung karena ditakdirkan untuk bisa mengenal Ardan, walaupun mungkin hanya sebagiannya saja. Tapi, sampai kapan pun Ardan akan selalu menjadi sahabat terbaik mereka.

No comments:

Post a Comment