Friday, September 25, 2009

Satu Bintang Yang Terlupa (Re-Posting)

By : Clara

Sebagai seorang siswa SMA, Jong Hoon bukanlah cowok yang suka belajar. Jong Hoon juga bukan cowok yang menyukai keramaian. Jong Hoon lebih menyukai suasana sepi sambil membaca. Dan untuk itu Jong Hoon harus mempunyai sebuah tempat persembunyian.

Tempat itu berada di sudut perpustakaan sekolahnya. Tempat yang tenang dan jauh dari jangkauan hingar bingar kawan-kawan. Tidak ada yang tau soal kebiasaan Jong Hoon ini. Tidak ada, karena Jong Hoon pun nyaris tidak memiliki teman dekat. Sikapnya yang pendiam serta sedikit canggung dan kaku, membuat Jong Hoon popular hanya karena wajah putihnya yang tampan. Karena itu, tidak akan ada yang tau kemana Jong Hoon pergi, jika dia tidak ada di bangku kelasnya.

Tapi dia tau.

Dia, cewek yang setahun ini selalu bersamanya dan sedang berada dalam kepala Jong Hoon, saat ini—saat tangannya sibuk melipat-lipat kertas berkilauan warna warni, menjadi sebuah bentuk bintang yang indah.

Kalau aja ada anak perempuan yang ngeliat apa yang aku lakuin waktu itu, pasti mereka bisa ketawa…

Jong Hoon tersenyum. Bintang-bintang buah tangannya sudah terkumpul sangat banyak di dalam sebuah toples plastik. Yah, target Jong Hoon memang membuat seribu bintang. Katanya, dengan seribu bintang yang kita kerjakan, bisa mengabulkan sebuah permintaan.

Dan Jong Hoon punya permintaan itu.

Semua untuk cewek itu…

Sun Ye…

***

Setelah bel pulang berbunyi, Jong Hoon keluar dari persembunyiannya. Tadi pelajaran Biologi dan Jong Hoon sudah membolos karena tidak suka dengan pelajaran ilmiah tersebut. Jong Hoon lebih memilih sibuk dengan bintang-bintang hasil tangannya, yang ternyata begitu rapih.

Sambil memandangi toples plastik berpita merah muda di tangan kanannya, Jong Hoon melangkah menuju kelas Sun Ye, di lantai dua. Senyum mengembang, membayangkan Sun Ye akan menyukai hadiah kejutan yang sederhana itu.

Sepatu sneakers Jong Hoon berhenti tepat di depan pintu kelas 11.3. Namun, Jong Hoon urung untuk masuk ke kelas, apalagi menghampiri seorang cewek berambut hitam pendek, yang sedang berdiri sambil menempelkan ponsel ke telinganya. Dia membelakangi pintu masuk kelas.

“Kenapa kau menuduhku menyukai Jong Hoon?! Aku dan Jong Hoon tidak pernah lebih dari sekedar teman dan kalian tau untuk siapa aku melakukan ini, kan? Won Bin...teman kalian juga. Orang yang paling kusayang…,” suara lembut itu terdengar sinis.

Senyum Jong Hoon mendadak sirna. Matanya yang sipit berkilat kecewa. Ada rasa marah yang menyeruak di dada. Tangan kirinya mengepal kuat-kuat.

Jong Hoon masih tetap berdiri di balik pintu.

“Ya, tentu saja kalau Jong Hoon tidak memukuli Won Bin hingga babak belur, aku tidak akan sudi berkenalan dengan Jong Hoon…Ok, aku mengerti…Rencana kita pasti berhasil…Ok, kalian tunggu saja…”

Sebelum percakapan itu usai, Jong Hoon buru-buru meletakkan toples plastiknya di depan pintu. Setelahnya, Jong Hoon memilih pergi.

Pikirannya kacau. Hatinya baru saja tersayat begitu perih. Kini dalam kepalanya, masa lalu itu seolah kembali terbuka. Dia harus menenangkan diri. Dan setelahnya, berpura-pura tidak ada yang terjadi.

Semua hanya mimpi buruk.

Aku mungkin pengecut, tapi cukup jelas kalau aku bodoh karena bisa tertipu kamu, Sun Ye. Ah….salah, rasanya aku terlalu bodoh karena kamu satu-satunya yang nggak bisa ku benci...

***

FLASHBACK

Hari itu hujan cukup deras mengguyur kota.

Di sebuah lapangan, tampak enam orang cowok berdiri berhadapan dengan seorang cowok lain, tanpa peduli tetesan air yang membasahi seluruh tubuh mereka.

Dua sisi kubu yang sangat bertolak belakang. Mereka saling menghujam dengan sorot mata yang tajam dan penuh dengki. Seorang cowok yang berdiri sendiri, mengepal kuat-kuat tangannya.

“Kau yang akan bertanggung jawab,” katanya dengan suara dalam yang tertelan bunyi gemuruh hujan. “Kau harus mati.”

“Aku...Oh Won Bin tidak mungkin mati hanya karena satu orang seperti kau,” jawab seorang cowok berambut lurus, yang berdiri paling depan di kubu yang berbeda.

Cowok yang sendirian bernama Jong Hoon itu tersenyum sinis. “Satu lawan satu,” ujarnya.

Won Bin mengangguk pelan. Kemudian, sesaat dia berbalik menghadap kelima temannya dan menyuruh mereka untuk tidak mencampuri perkelahian kali itu. “Ini urusanku dengan bajingan itu,” ujar Won Bin.

Setelahnya, Won Bin mendekati Jong Hoon dan langsung mengarahkan satu tinju tepat ke arah ulu hati cowok itu. Jong Hoon terhuyung tapi tidak terjatuh. Air hujan membuat mata sipitnya kesulitan untuk melihat dengan jelas wajah Won Bin. Tapi Jong Hoon tidak peduli. Segera setelah serangan pertama Won Bin, Jong Hoon melemparkan sebuah pukulan.

Won Bin bertahan dengan satu pukulan itu dan membalas Jong Hoon dengan tinju lain di pipi Jong Hoon. Tidak mau kalah, Jong Hoon kembali membalas Won Bin. Tendangan, tinju ke seluruh bagian tubuh, semua saling dilayangkan. Hingga akhirnya sebuah celah, membuat Won Bin terjatuh.

Kesempatan itu digunakan Jong Hoon untuk duduk di atas perut Won Bin, memukuli wajah cowok itu dengan penuh napsu seperti binatang liar, sampai berlumuran darah dan memar, lalu menginjak-injak perut Won Bin hingga darah yang menyembur dari mulutnya tidaklah sedikit.

Won Bin berada di posisi kalah. Tubuhnya yang kedinginan sudah mulai kelelahan. Air hujan pun semakin terasa menyiksanya.

Kelima teman Won Bin sudah sangat ingin membantu, tetapi Won Bin malah berteriak keras melarang mereka. Saat lengah itu juga, Jong Hoon memanfaatkan kesempatan untuk menginjak perut Won Bin dengan sekuat tenaga. Namun, Won Bin berusaha menahannya. Sayang, tenaga Won Bin sudah habis. Hanya dengan sedikit menambah kekuatannya, Jong Hoon sudah bisa membuat sisa pertahanan Won Bin hancur.

Cowok itu meringis saat perutnya sekali lagi terinjak. Dan kali ini, Won Bin hanya bisa terdiam. Dia meringkuk, menahan sakit. Sungguh tidak berdaya.

Melihat itu Jong Hoon melempar pandangan puas ke arah Won Bin, lalu pergi meninggalkan tempat itu, tanpa peduli dengan kelima teman Won Bin yang memakinya dan berniat mengeroyok Jong Hoon, namun tidak bisa karena Won Bin sudah tergeletak diam.

Ada sedikit kilat rasa puas di sudut bola matanya.

Sungguh, semua itu diluar kendali emosiku...

***

Di belakang sekolah, ada sebuah pohon besar dengan daun yang begitu rindang. Tempat yang sepi dan teduh. Rasanya begitu nyaman berada di sana, berlindung dari teriknya matahari siang.

Jong Hoon berdiri di depan pohon itu dengan tas terselampir di pundak kanannya. Dia tertunduk lesu menatap ujung sepatunya. Ujung sepatu itu mungkin sudah mulai kotor, tapi Jong Hoon merasa dirinya jauh lebih kotor.

Kehidupannya dua tahun lalu, sebelum memasuki jenjang SMA, sungguh bukan sebuah lembaran hidup yang membanggakan. Sebaliknya, Jong Hoon sudah sangat menutup rapat-rapat kotak memori tentang masa lalunya. Jong Hoon selalu berharap tidak ada yang pernah membukakan kotak itu untuknya.

Tapi dia salah.

Sun Ye telah melakukannya.

Dan memori masa lalu yang begitu dibencinya itu mulai berkelebat lagi di kepala. Masa lalu yang telah membuatnya sengsara. Ayahnya pergi bersama seorang janda dengan seorang anak bernama Won Bin, meninggalkan Ibunya yang kemudian memilih untuk bunuh diri.

Jong Hoon mengatupkan bibir tipisnya. Kedua alisnya bersatu, mengkerut. Tiba-tiba dia melayangkan satu tinju ke tubuh pohon tak berdaya itu. Berulang-ulang dan tanpa suara, sampai Jong Hoon merasa emosinya cukup reda.

Pelipisnya berkeringat dan napasnya terengah-engah. Buku-buku jarinya pun terasa perih dan terluka. Tapi dia tidak peduli. Meskipun luka itu berdenyut sakit, namun tidak sesakit perasaannya.

Cewek satu-satunya yang dia sayang, ternyata hanya memanfaatkannya!

Jong Hoon meninju pohon itu lagi untuk yang kesekian kali. Terakhir, dia terduduk lemas dengan satu kaki menopang tangannya yang terluka, sebelum ponselnya bergetar. Melihat tampilan nama pada ponselnya, Jong Hoon menelan ludah.

Ditatapnya sejenak ponsel berwarna putih itu.

Kamu tau, saat itu aku berpikir sebaiknya aku tidak menjawab teleponmu. Tapi aku juga berpikir, mungkin dengan berpura-pura kalau semua tidak pernah terjadi, lama-lama kamu akan lupa bahwa kamu sedang memanfaatkanku…

“Ya?” Jong Hoon menempelkan posel itu ke telinga dengan tangannya yang masih memar, sambil bersender pada tubuh sang pohon.

“Jong Hoon, kamu yang memberiku seribu bintang?”

“Ngng…ya. Aku…buat itu…”

“Makasih, ya. Aku suka. Bintangnya sungguh ada seribu?”

“Ngng…aku rasa…” sahut Jong Hoon tak begitu semangat.

“Jong Hoon? Kamu dimana? Aku…boleh pulang duluan?” suara itu terdengar agak khawatir. Entah kenapa, tidak peduli palsu atau tidak, Jong Hoon tetap menyukainya.

Cowok berambut hitam itu terdiam beberapa saat, sementara sudut bibirnya mencuat sedikit. Tenggorokannya mendadak kering. Rasanya sulit sekali mengeluarkan kata-kata larangan untuk Sun Ye.

“Ya. Ok,” hanya itu yang akhirnya meluncur dari mulut Jong Hoon. Agak sedikit bergetar.

“Jong Hoon, kamu…kenapa?” tanya orang di sana.

“Tak apa. Kamu tak perlu cemas. Hati-hati pulangnya,” kata Jong Hoon serak. “Nanti aku telepon lagi.”

Kemudian Jong Hoon menutup flip ponselnya dan memasukkan ke dalam saku celana seragam sekolah. Entah kenapa baru kali ini dia merasa begitu nelangsa.

Sun Ye, aku hanya ingin tau, apa benar aku sama sekali tidak berarti buat kamu? Paling tidak setelah kita dekat selama satu tahun ini…

***

Tadinya Jong Hoon tidak ingin pulang. Namun teringat Sun Ye yang selalu pulang bersamanya, Jong Hoon pun mendadak mengkhawatirkan cewek itu.

Akhirnya dia memutuskan untuk mengawasi jalan pulang Jong Hoon. Dengan menjaga jarak hingga beberapa meter, Jong Hoon mengikuti tiap langkah Sun Ye. Sesekali Jong Hoon bersembunyi kalau-kalau Sun Ye tampak menoleh ke belakang. Entah mengapa, yang jelas, Jong Hoon tidak ingin Sun Ye mengetahui keberadaannya. Jong Hoon hanya ingin menjaga Sun Ye, meski cewek itu telah secara tak langsung menolaknya mentah-mentah.

Di pertengahan jalan, Sun Ye berbelok menuju sebuah lorong jalan buntu. Di sana Sun Ye bertemu dengan lima orang cowok yang tampak sangar di balik seragam blazer sekolah mereka yang berantakan.

Jong Hoon mengawasi dari tempatnya, di balik tiang. Jong Hoon tampak khawatir. Namun, baru saja hendak melangkahkan kaki bermaksud melabrak lima cowok berandal itu, otak Jong Hoon seolah memerintahkan kakinya untuk tetap diam.

Mungkin saja cowok-cowok dari sekolah lain itu adalah teman-teman Sun Ye yang dimaksud cewek itu dengan “kalian” di pembicaraan telepon beberapa saat lalu.

Mengingat hal itu hati Jong Hoon kembali berdenyut nyeri.

Berusaha menyingkirkan rasa sakit hatinya, Jong Hoon mencoba berpindah tempat persembunyian supaya bisa mencuri dengar apa yang orang-orang itu diskusikan. Kali ini, dari balik tembok sebuah toko roti, cowok jangkung itu bisa mendengar samar perkataan tiap-tiap orang tak dikenalnya.

“Ponselmu?” tanya seorang cowok botak. Tampaknya seperti pemimpin di antara yang lain. Dia menyodorkan telapak tangannya yang terbuka ke arah Sun Ye.

“Menyebalkan,” gerutu Sun Ye yang setengah hati memberikan ponselnya kepada si cowok botak.

“It`s our plan,” kata si cowok itu. “Apa pun yang akan kita lakukan, kau harus ikut membantu. Bukan begitu, Sun Ye? Apa yang kau inginkan? Mati atau sekarat?”

Sun Ye tersenyum sengit. “Mati.”

Kontan jawaban itu membuat kawan-kawannya tertawa. Salah seorang cowok yang berambut panjang diikat, berkacak pinggang. “Kau gila! Won Bin hanya luka memar dan kau meminta nyawa orang?!”

Alis Sun Ye terangkat-tampak tersinggung. “Kamu kira luka Won Bin hanya memar saja? Dia hampir mati kalau si botak ini tidak berinisiatif menolongnya! Kalian sendiri hanya bisa mematung!” ujar Sun Ye sinis sambil menunjuk cowok botak tadi dengan dagunya. “Lagipula…satu ginjal Won Bin mengalami kerusakan,” tambah Sun Ye sambil menahan air mata yang mulai mendesak keluar.

“Aku mengerti,” sahut si cowok berambut panjang. “Sorry.”

Si botak buru-buru menengahi. “Tidak ada yang perlu disesali, bukan? Semua juga kemauan Won Bin. Yang penting, kita akan membalaskan dendamnya. Demi kawan kita, Won Bin.”

Di tempatnya berdiri, Jong Hoon membeku. Rupanya Sun Ye tidak hanya menyilet hati Jong Hoon dan menyirami dengan jeruk nipis, tapi cewek itu telah merajamnya hingga hancur.

Sungguh, kini Jong Hoon benar-benar putus asa, sampai-sampai dia merasa otaknya mengalami kekurangan oksigen untuk berpikir jernih.

Jong Hoon mengepalkan kedua tangan. Dia mengangkat kepala dan memejamkan mata, berharap emosinya bisa mereda dan semua beban bisa terangkat dalam hitungan detik.

Yah, tentu saja bisa.

Dalam hitungan menit.

Jong Hoon hanya tinggal menunggu. Begitu kawanan berandal dan Sun Ye melintas, Jong Hoon buru-buru memasuki toko roti tersebut dan mengawasi mereka sampai menghilang, dari balik pintu kaca.

Sun Ye, wajar kan kalau aku takut saat menanti waktu untuk mati? Tapi aku sayang kamu. Sungguh, ini tulus…

***

Ponsel Jong Hoon bergetar. Inikah saatnya?

Mata Jong Hoon menatap layar ponsel dan melihat nama Sun Ye tertera di sana. Jong Hoon terdiam. Perasaan takut, benci, marah dan kecewa benar-benar telah menyihirnya menjadi seseorang yang mungkin tidak waras.

Tanpa semangat, Jong Hoon mendekatkan ponsel itu ke telinga.

“Ya?” ujar Jong Hoon dengan suara pelan.

“Jong Hoon?” tanya suara di sana. Suara berat dan serak, namun penuh nada sindiran.

“Ya,” lagi-lagi Jong Hoon menjawab singkat. Namun kali ini bernada rendah. Dan dia merasa tidak perlu bertanya karena merasa cukup mengetahui apa yang akan terjadi.

“Kuberitau kau. Kekasihmu, Sun Ye…dia sedang ada bersama kami. Dan kalau kau ingin dia selamat, segeralah datang ke blok lima. Sendiri. Ingat, jangan coba-coba meminta bantuan atau Sun Ye-mu akan celaka. Aku ingin membuat perhitungan denganmu. Atas nama Won Bin!”

Kemudian telepon terputus. Suara pip panjang masih terdengar di telinga Jong Hoon kala dia belum menurunkan ponselnya. Perlahan, tangan Jong Hoon bergerak turun dan ponsel itu terjatuh begitu saja, di depan toko roti.

Sun Ye, karena kamulah, aku memilih jalan ini…

***

Dengan sedikit tegang, Jong Hoon memasuki sebuah ruangan di blok lima, seperti apa yang dikatakan seseorang di telepon tadi.

Ruangan itu cukup luas, namun kotor. Beberapa meja tertata asal dan di atasnya terdapat botol-botol bir. Bau keras alkohol menyapa hidung mancung Jong Hoon. Kedatangan Jong Hoon, langsung mendapat tatapan sinis dari cowok-cowok yang dilihatnya di jalan buntu dekat toko roti tadi.

Di tengah sana, Sun Ye duduk di atas kursi kayu dengan kedua tangan diikat. Jong Hoon menghela napas diam-diam. Dia tidak bicara sepatah kata. Tidak juga berbasa-basi-memohon pada mereka agar melepaskan Sun Ye. Jong Hoon sangat yakin kalau Sun Ye tidak akan tersakiti. Itu sudah cukup.

Jong Hoon benar-benar tidak mengeluarkan sepatah kata dan hanya mengamati mereka, dari sudut matanya. Dia harus bisa menguasai rasa takutnya untuk mati. Dan dia sedang melakukan itu.

“Kekasihmu ini…apa lebih baik aku menorehkan luka di wajahnya atau….?” seruan seseorang membuat suasana yang sempat membeku, berubah menjadi tegang.

“Jangan…Jangan sentuh dia,” sahut Jong Hoon gamang. Tatapan sulit diartikan, terarah pada Sun Ye yang balas menatapnya dengan pandangan memohon yang –tentu saja- dibuat-buat.

“Cih,” si cowok botak membuang ludah. “Kau akan mati, sialan!” serunya.

Kemudian dia memberikan tanda pada teman-temannya untuk menyerang Jong Hoon. Kelabakan mendapat serangan mendadak, Jong Hoon sempat terhuyung. Tapi keseimbangannya segera kembali. Dia hendak meninju cowok botak itu, namun tiba-tiba Jong Hoon berhenti dan membiarkan satu pukulan lagi menghantam perutnya.

Setelah itu, kekuatan Jong Hoon mendadak hilang. Tidak, bukan karena benar-benar hilang, tapi karena Jong Hoon sendiri yang mempersilahkan kekuatannya pergi.

Jong Hoon membiarkan kelima cowok itu menyerangnya sekaligus. Jong Hoon juga membiarkan mereka memukulnya dengan kayu atau besi yang ada. Jong Hoon, bahkan membiarkan darah mengalir dari tiap lukanya dan menahan setiap memar yang begitu menyakitkan.

Bukankah itu yang kamu mau, Sun Ye? Paling tidak, kalau selama setahun kedekatan kita tidak berarti apa-apa untukmu, tentunya nyawaku ini bisa menjadi sesuatu yang berarti untukmu…

Jong Hoon jatuh tersungkur. Bibirnya sudah sobek, seluruh tubuhnya pun memar dan mengeluarkan darah. Jong Hoon meringis kesakitan. Tapi ekor matanya masih tetap mengamati Sun Ye. Ternyata cewek itu juga tengah mengawasinya. Namun, tidak ada kepanikan di sana. Ekspresi Sun Ye tampak begitu datar dan dingin.

Kelima cowok tadi pun semakin membrutal. Sementara Sun Ye masih tetap diam di tempat, mengawasi namun seolah berpesta atas penderitaan Jong Hoon. Sedangkan Jong Hoon, kali ini mulai meringkuk di atas lantai semen dengan kedua tangan berusaha melindungi kepalanya. Karena, Jong Hoon masih ingin melihat Sun Ye.

Semakin lama, Jong Hoon pun semakin tidak berdaya. Hingga kelima cowok tadi merasa cukup puas melihat Jong Hoon yang sudah kesakitan dengan luka di sekujur tubuh. Mereka menghentikan penganiayaan itu dengan sebuah tendangan yang tepat mengenai ulu hati Ben. Darah segar langsung mengalir lebih deras di sudut bibir tipisnya yang merah, menyatu dengan kotoran dan keringat yang sudah menghiasi wajah ovalnya.

Tapi Jong Hoon merasa tidak puas.

Sungguh di luar dugaan, Jong Hoon merasa masih kuat kalau harus mendapat beberapa pukulan lagi hingga nyawanya melayang.

Dengan tenaga yang tersisa, tangan Jong Hoon menjangkau sepatu si cowok botak, yang menjauh hendak melepaskan ikatan Sun Ye.

“Apa yang kau lakukan?!” bentak si cowok botak.

Jong Hoon hanya bisa mendongak, menatap sambil menahan sakit. Tatapan pilu yang seolah menyuruh cowok itu untuk menghabisi nyawanya.

“Kau sungguh ingin mati?!” ujar si cowok botak lagi. Dia lantas melirik ke arah Sun Ye. Cewek itu masih bergeming tanpa ekspresi. “Kau memang gila, tapi temanku bisa membantu menghabisi nyawamu…”

Cowok botak itu kembali mengajak teman-temannya untuk mengeroyok Jong Hoon. Sekali lagi, tubuh lemah Jong Hoon harus terkena pukulan dan tendangan.

Tiba-tiba Sun Ye berdiri. Rupanya ikatan tali itu dibuat sengaja tidak kuat menahan dirinya. “Stop!” jeritnya kaku.

Kelima cowok itu menoleh menatap Sun Ye. Tak terkecuali Jong Hoon, meskipun matanya yang mungkin sudah lebih sipit karena memar dan berdarah, menghalangi pandangannya hingga buram. Sejenak Sun Ye membeku karena tatapan semua orang yang tertuju padanya.

“Kita pergi,” ajak Sun Ye, beberapa detik berikutnya, sambil mengalihkan pandangan dari tatapan Jong Hoon yang begitu memelas.

Si cowok botak meludah. Lalu dia bergerak keluar bersama keempat temannya. Terakhir, Sun Ye mengikuti langkah mereka. Namun, ketika melewati Jong Hoon yang terbaring tak berdaya, kaki jenjang Sun Ye mendadak membeku. Sun Ye menoleh sekilas, lalu berlalu seakan acuh.

“Sun…Ye…” panggil Jong Hoon setengah meringis.

Sun Ye kembali menghentikan langkahnya. Kelima teman premannya juga menoleh, tapi Sun Ye memberi aba-aba supaya mereka pergi lebih dahulu. Sun Ye membalikkan badan. Saat itu, Sun Ye melihat Jong Hoon sedang merangkak dengan susah payah untuk meraih tas selempangnya yang tergeletak di sisi ruangan.

Ketika Jong Hoon berhasil meraih tasnya, tangan penuh luka itu merogoh saku bagian depan. Sebuah benda berkilauan tampak dari sela jari-jari kotor Jong Hoon. Kemudian, Jong Hoon berusaha untuk menyenderkan tubuhnya ke dinding. Punggungnya sempat terasa nyeri, namun Jong Hoon berusaha bersikap seolah luka-luka di tubuhnya bukanlah masalah besar.

Jong Hoon menatap Sun Ye dengan pandangan sayu yang penuh rasa kekecewaan. Susah payah, Jong Hoon menarik kedua sudut bibirnya hingga menghasilkan sebuah senyum tipis yang tampak begitu suram.

“Boleh…ke sini?” pinta Jong Hoon penuh harap.

Di tempatnya berdiri, Sun Ye sudah memantapkan hati untuk tidak mendekati Jong Hoon. Tapi siapa sangka syaraf otaknya tidak bisa bekerja sama dengan hatinya. Kaki Sun Ye tetap melangkah mendekati Jong Hoon dan berjongkok di sebelah cowok itu.

“Ada…satu bintang…yang lupa aku…masukan ke…dalam toples…” katanya sambil meringis. Lalu Jong Hoon mengangkat tangan dan melepaskan sesuatu dari dalam genggamannya. Sebuah kalung berbandul bintang warna perak, kini bergelayut pelan di tangan Jong Hoon. “Ini bintang ke-1000. Kalau kamu…tidak keberatan, aku hanya ingin…kamu memakai kalung ini…supaya bintang ini…selalu dekat dengan hatimu…” Jong Hoon masih berusaha tersenyum, namun yang tampak hanyalah segaris senyum getir, yang sedang berjuang menahan seluruh rasa sakit.

Mata almond Sun Ye menatap kosong kalung di tangan Jong Hoon. Perkataan Jong Hoon yang terbata-bata seolah masuk begitu dalam ke telinganya, hingga terasa bergaung. Dengan perasaan tak menentu dan tangan gemetar, Sun Ye menerima kalung itu.

Jong Hoon menurunkan tangannya dan kemudian berpaling menatap ujung sepatu. Senyumnya masih seperti semula.

“Sun Ye, setelah ini…kita tidak perlu bertemu lagi. Akan lebih baik…jika kita…seolah tidak saling mengenal. Aku…akan pergi jauh dari…kehidupanmu. Aku…tidak ingin…membuatmu menjadi pendendam karena…masalah Won Bin. Ini semua…kesalahanku juga kekhilafanku. Maaf,” Jong Hoon berusaha tersenyum lebih lebar, namun yang terjadi malah Jong Hoon meringis kesakitan. Jong Hoon tertawa kecil. Tepatnya memaksakan diri. “Sakit…Sun Ye…maaf karena aku tidak mati.”

Setelah kalimat itu, Sun Ye berani bersumpah bahwa itu bukan keinginannya, ketika air mata itu menetes dari kedua matanya.

“Pergi…” ujar Jong Hoon pelan sambil memutar kepalanya menjauhi tatapan Sun Ye. Dia tidak mau melihat air mata cewek itu. “Pergi…Sun Ye…”

Mau tak mau, Sun Ye pun berdiri. Sambil tetap menatap Jong Hoon yang terkapar penuh luka, Sun Ye melangkahkan kakinya dengan berat, meninggalkan Jong Hoon sendirian di ruangan pengap tersebut.

Maaf, Sun Ye… karena aku tidak mati, sesuai dengan keiingananmu…

Dan setelahnya, sebulir air mata Jong Hoon menetes.


---fin---

No comments:

Post a Comment