Jam baru saja menunjukkan pukul setengah satu saat aku kembali ke butik. Ah, seharusnya aku tidak buru-buru kembali bekerja. Masih ada setengah jam tersisa untuk jatah break lunch yang memang menjadi peraturan di usaha kecil-kecilanku ini. Bukan untukku saja, tapi juga untuk sejumlah karyawan yang bekerja di sana. Tapi ya sudahlah, kembali lebih awak ke kantor juga bukan hal yang buruk dimana aku adalah pimpinan mereka dan sudah sewajarnya kalau aku memberikan contoh yang baik, kan?
Aku mendorong pintu kantor. Ruangan kosong penuh hawa dingin dari hembusan AC langsung menyapa. Segera kuhampiri meja tempat biasanya aku berkutat dengan sketch bookku. Ada sekelibat ide yang rasanya harus cepat-cepat kutuangkan dalam buku gambarku.
Namun, aku mendapati beberapa kertas berisikan gambar yang secara skill jauh dari sempurna, atau katakan saja gambar ini hanya dibuat oleh seorang pemula yang bahkan tidak tau menahu tehnik design. Keningku berkerut seraya memperhatikan satu per satu gambar tersebut. Bukan gambar yang rapih, tapi aku tau si pembuatnya pasti telah berusaha keras untuk membuat siapapun mengerti apa yang dia buat.
Wedding dress.
Ya, beberapa potong gaun pengantin. Yang masih bengkok-bengkok. Berantakan.
”Ah...itu...”
Suara itu! Suara yang sangat kukenal dan belakangan selalu mengitari kehidupanku bagai sebuah atmosfer baru. Bak nafas kehidupan.
Kualihkan pandanganku dari kertas-kertas tersebut ke arahnya. Seorang pria berdiri dengan senyum khas yang menggambarkan sisi nakalnya. Senyum hangat yang begitu lembut tapi juga jenaka. Dan aku selalu menyebutnya sebagai baby smile. Dia menggaruk-garuk belakang kepalanya, seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang mencuri permen.
”Jangan diledek. Gambarnya jelek.”
Senyumku seketika mengembang. Dia, selalu mampu membuatku seperti ini. Membuatku bangkit dari segala keterpurukkan.
Tapi...dia bukan seorang designer. Dia bahkan tidak bisa menggambar.
”Ini untuk apa?”
Kulihat dia masih saja tersenyum simpul, seakan sedang menyimpan sebuah rahasia yang tidak ingin dia beritahu padaku. Matanya bergerak jenaka. Ah, mungkin matanya sedang berusaha bicara padaku. Tapi...aku tidak tau apa maksudnya.
Dan dia mulai mendekat.
Masih dengan mata yang menatapku sama persis.
”Aku mau kamu memilih gaun mana yang mau kamu pakai saat pernikahan kita nanti.”
Aku terkejut bukan main. Jantungku langsung berdegup begitu cepat, seakan sebuah roller coaster sedang membawanya bergerak. Mungkinkah aku mengalami gangguan pendengaran? Dan masih belum sepenuhnya aku menerima sebaris kalimatnya itu, dia segera mengulurkan sebuah cincin sederhana namun berkilau indah ke arahku.
”Itu...kalau kamu mau menikah denganku.”
Semua kejadian itu kembali berputar di benakku kala Ethan memintaku untuk kembali padanya. Lalu silih berganti dengan perlakuan bejat Ethan padaku. Namun aku tau apa jawabanku. Aku tau apa keputusanku. Dan aku yakin dengan semuanya. Aku malah bersyukur karena dijauhkan dari pria seperti Ethan.
Aku memperhatikan pandangan Ethan yang kini beradu dengan Naya. Seumur aku mengenalnya, belum pernah aku melihat tatapan Naya berkilat penuh kemarahan. Sementara tangannya masih terus menggenggam tanganku dengan erat, seakan memberitahuku untuk tidak berpihak pada Ethan. Sekaligus memberitahu Ethan, bahwa sudah ada seseorang yang mau dengan tulus dan penuh cinta menggenggam tanganku.
”Dia...akan menikah denganku.”
Hanya itu kata-katanya. Begitu tenang, begitu dalam, dan begitu menyejukkan untukku.