Friday, January 15, 2010

Her Wedding Dress part 5

Jam baru saja menunjukkan pukul setengah satu saat aku kembali ke butik. Ah, seharusnya aku tidak buru-buru kembali bekerja. Masih ada setengah jam tersisa untuk jatah break lunch yang memang menjadi peraturan di usaha kecil-kecilanku ini. Bukan untukku saja, tapi juga untuk sejumlah karyawan yang bekerja di sana. Tapi ya sudahlah, kembali lebih awak ke kantor juga bukan hal yang buruk dimana aku adalah pimpinan mereka dan sudah sewajarnya kalau aku memberikan contoh yang baik, kan?


Aku mendorong pintu kantor. Ruangan kosong penuh hawa dingin dari hembusan AC langsung menyapa. Segera kuhampiri meja tempat biasanya aku berkutat dengan sketch bookku. Ada sekelibat ide yang rasanya harus cepat-cepat kutuangkan dalam buku gambarku.


Namun, aku mendapati beberapa kertas berisikan gambar yang secara skill jauh dari sempurna, atau katakan saja gambar ini hanya dibuat oleh seorang pemula yang bahkan tidak tau menahu tehnik design. Keningku berkerut seraya memperhatikan satu per satu gambar tersebut. Bukan gambar yang rapih, tapi aku tau si pembuatnya pasti telah berusaha keras untuk membuat siapapun mengerti apa yang dia buat.


Wedding dress.


Ya, beberapa potong gaun pengantin. Yang masih bengkok-bengkok. Berantakan.


”Ah...itu...”


Suara itu! Suara yang sangat kukenal dan belakangan selalu mengitari kehidupanku bagai sebuah atmosfer baru. Bak nafas kehidupan.


Kualihkan pandanganku dari kertas-kertas tersebut ke arahnya. Seorang pria berdiri dengan senyum khas yang menggambarkan sisi nakalnya. Senyum hangat yang begitu lembut tapi juga jenaka. Dan aku selalu menyebutnya sebagai baby smile. Dia menggaruk-garuk belakang kepalanya, seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang mencuri permen.


”Jangan diledek. Gambarnya jelek.”


Senyumku seketika mengembang. Dia, selalu mampu membuatku seperti ini. Membuatku bangkit dari segala keterpurukkan.


Tapi...dia bukan seorang designer. Dia bahkan tidak bisa menggambar.


”Ini untuk apa?”


Kulihat dia masih saja tersenyum simpul, seakan sedang menyimpan sebuah rahasia yang tidak ingin dia beritahu padaku. Matanya bergerak jenaka. Ah, mungkin matanya sedang berusaha bicara padaku. Tapi...aku tidak tau apa maksudnya.


Dan dia mulai mendekat.


Masih dengan mata yang menatapku sama persis.


”Aku mau kamu memilih gaun mana yang mau kamu pakai saat pernikahan kita nanti.”


Aku terkejut bukan main. Jantungku langsung berdegup begitu cepat, seakan sebuah roller coaster sedang membawanya bergerak. Mungkinkah aku mengalami gangguan pendengaran? Dan masih belum sepenuhnya aku menerima sebaris kalimatnya itu, dia segera mengulurkan sebuah cincin sederhana namun berkilau indah ke arahku.


”Itu...kalau kamu mau menikah denganku.”


Semua kejadian itu kembali berputar di benakku kala Ethan memintaku untuk kembali padanya. Lalu silih berganti dengan perlakuan bejat Ethan padaku. Namun aku tau apa jawabanku. Aku tau apa keputusanku. Dan aku yakin dengan semuanya. Aku malah bersyukur karena dijauhkan dari pria seperti Ethan.


Aku memperhatikan pandangan Ethan yang kini beradu dengan Naya. Seumur aku mengenalnya, belum pernah aku melihat tatapan Naya berkilat penuh kemarahan. Sementara tangannya masih terus menggenggam tanganku dengan erat, seakan memberitahuku untuk tidak berpihak pada Ethan. Sekaligus memberitahu Ethan, bahwa sudah ada seseorang yang mau dengan tulus dan penuh cinta menggenggam tanganku.


”Dia...akan menikah denganku.”


Hanya itu kata-katanya. Begitu tenang, begitu dalam, dan begitu menyejukkan untukku.

Thursday, January 7, 2010

Pohon Dalam De Javu

by : Clara

Langit menggantungkan semburat keoranyean, yang semakin lama semakin tertelan oleh kegelapan. Hingga sang pangeran cahaya berubah menjadi seorang dewi malam yang bercahaya pucat. Menerangi redup-redup jalanan setapak yang dilaluinya.

Gadis itu. Seorang diri. Di dalam balutan gaun tidurnya yang berwarna putih. Rambutnya tergerai, dibelai hembusan sang angin malam yang dinginnya menggerogoti setiap kulitnya yang tampak. Kakinya yang telanjang merasakan kelembapan tanah setiap kali dia melangkah. Namun, dia sama sekali tidak peduli.

Putus asa menggelayut di sepasang matanya yang bulat. Putus asa memayungi kepalanya selama dia terus berjalan, menyisiri jalanan setapak itu.

Untuk apa dia berada di sana?
Untuk mencari. Sesuatu.
Dan dia tetap melangkah, mulai memasuki daerah yang dipenuhi oleh pepohonan rindang. Dia tidak takut sedikit pun. Kakinya masih mantap, hatinya masih terus mendesak dan pandangannya masih sama. Putus asa. Ada bekas-bekas air mata yang membasahi pipinya yang tirus.

Sekelibat bayangan itu muncul. Dia yakin merasa begitu familiar dengan tempat ini. Sekilas, bayangan De Javu itu hadir. Memperlihatkan hal yang sama dengan yang berada di hadapannya saat itu. Hingga dia semakin ingin menembus hutan itu hingga ke dalam. Jauh lebih dalam.

Dia mulai berlari. Perlahan. Lalu sedikit lebih cepat. Akar-akar besar menghambat langkahnya. Tapi dia tidak peduli. Dia terus berlari.

Hingga dia menemuinya.
Di sana, di dalam bola matanya, di ujung hutan itu. Sebuah Pohon tegak berdiri sendiri. Tampak begitu kesepian. Dan bayangan yang seperti de javu itu kembali melintas. Kali ini lebih jelas.

Ya, dia tau. Dia ingat.
Karena pohon itu, dulu tidak sendiri.
Karena dulu, dialah yang menemani pohon itu.

NOTE:

Kisah ini hanya selingan her wedding dress karena nggak enak nunda lama-lama majang award, hehehehe. Habis ini masih lanjut lagi kisahnya, kok.

Kisah ini hanyalah fiksi, tetapi penulis sengaja membuatnya untuk memberikan rasa terima kasihnya atas award yang diberikan oleh kawan sesama blogger.

Award dari Aulawi Ahmad di Dejavu.


Award dari Pohon.

Tuesday, January 5, 2010

Her Wedding Dress part 4



Sekarang bulan apa? Coba kutebak. Hmmm, November? Benar? Oke. Aku nggak mengalami gangguan ingatan meski hidupku selama—coba kuingat, tiga bulan? Ya tiga bulan kemarin sudah seperti berada dalam kungkungan penjara dalam rumah. Aku nyaris tidak keluar rumah. Aku malu. Karena aku sama sekali tidak merawat diri. Aku urakkan. Bahkan aku nggak tau kenapa sekarang rambutku sulit sekali disisir.


Dan diatas segalanya, aku berhenti membuat sketsa.

Aku menarik diri dari butik terutama dari rutinitasku merancang pakaian.

Aku benci design. Tiga kata itu cukup mewakili perasaan terdalamku.


Tapi hari ini...hari pernikahannya. Apa yang kupikirkan sehingga ide gila itu muncul? Ide untuk menghadiri pernikahannya di gereja! Ya. Katakan aku gila! Aku ternyata tidak sanggup menahan rasa penasaran akan gaun yang sudah kubuat dengan susah payah, berminggu-minggu hanya untuk menemukan bahan yang cocok untuknya, dan aku sendiri tidak bisa mengenakannya untuk hari paling bahagia dalam hidupku.


Aku bahkan sudah dicampakkan oleh orang yang paling kucintai!


Dengan perasaan kacau balau, aku pun bergegas bersiap-siap, memilih gaun simpel dari bahan sifon berwarna salem. Lalu, berangkat menuju gereja tempat pemberkatan dengan kaki yang sudah terbungkus stilleto putih. Namun, langkahku terasa begitu berat ketika berada di depan pintu gerbang megah tersebut. Sebuah keinginan perlahan menguak di dalam pikiranku, tanpa bisa kukendalikan.


Bisakah aku bertemu empat mata dengannya?

Bisakah aku menuntut hutang penjelasan atas keputusannya mencampakkanku?

Kenapa?


Hanya satu kata itu yang terus mengisi benakku selama tiga bulan belakangan, menghias di setiap roda kehidupanku yang memasuki ruang kehampaan. Tetapi, bahkan hingga jarak diantara kami hanya beberapa meter, satu pertanyaan terbesarku itu tidak bisa kudapatkan jawabannya. Aku lelah. Aku ingin mundur, namun aku bertahan. Aku ingin menutup mataku, tapi rasanya berat.


Senyum yang terulas saat dia keluar dari gereja dihantar oleh ratusan tamu. Sorot mata yang hangat saat dia menatap sang mempelai wanita yang menggamitkan lengannya. Aku ingin menikmati semua itu sekaligus membiarkan daya khayalku terbang, menggantikan posisi si wanita. Ya, aku menikmatinya.


Karena aku merindukannya...


DEG!

Jantungku mencelos. Dia menoleh ke belakang. Tepat ke arahku yang menatapnya kosong. Pandangan kami bertemu diantara keramaian tamu yang berusaha menjadi dinding pemisah selain jarak yang terbentang tak terlalu jauh itu. Aku bagai sebuah mendung di antara riak keceriaan. Aku seperti patung yang kosong dan tak bernyawa yang berdiri diam diantara sekumpulan manusia. Dan aku seperti sebuah warna hitam pekat yang berada di antara puluhan warna-warni berkilauan.


Senyumnya hilang. Sorot matanya pun berubah drastis.


Tapi tetap tidak ada jawaban atas pertanyaan kenapa itu.


Hingga tetesan air mata ini, kembali mengiringinya masuk ke dalam sebuah kendaraan mewah dan berkelas yang akan mengirim pasangan baru itu menuju tempat baru mereka. Juga kehidupan baru yang akan mereka mulai.


Mungkinkah harta telah menyilaukannya?

....

Namun aku hanya bisa menunggu untuk hadirnya sebuah penjelasan itu.




Hingga dua tahun itu datang,

secepat petir dan tidak terduga seperti maut....


”Aku...menghamilinya.”


Aneh. Harusnya aku marah. Harusnya aku sakit mendengar pernyataan itu. Harusnya hatiku perih bagai tertikam puluhan tombak. Entah sudah berapa lama dia mengkhianatiku. Tapi hatiku beku. Tepatnya kini telah beku hanya untuknya. Aku seperti roh halus yang tidak mampu merasakan apa-apa saat dia menjelaskan perihal keputusannya meninggalkanku.


Sebaliknya, aku hanya bisa menatapnya. Lama. Sangat lama.


”Aku minta maaf,” katanya lagi. ”Tapi aku sudah menceraikannya. Dan aku berharap, kita bisa kembali seperti dulu.”


Aku masih termangu. Kembali seperti dulu? Maaf? Semudah itu dia mengucapkan semuanya? Demi Tuhan, dia sama sekali tidak punya perasaan! Aku curiga hati di dalam tubuhnya mungkin adalah plastik. Tidak mampu merasakan apapun!


Lidahku kelu. Dan aku membiarkannya tetap kelu. Aku tidak berusaha untuk mencari kata-kata sebagai pembalasan. Aku memilih diam. Benar-benar seperti manusia yang tidak mengerti apa yang sudah dikatakan lawan bicaraku saat itu. Meskipun sejuta umpatan berbaris rapi di otakku menunggu pintu berupa bibirku ini mengeluarkan mereka satu per satu dari sangkarnya.


Dan dorongan itu semakin kuat. Dorongan untuk meluncurkan cacian, kata benci dan semua emosi yang pernah kurasakan dulu. Aku ingin dia tahu betapa sakitnya aku waktu dicampakkannya begitu saja. Aku ingin dia tau semua luka-luka yang pernah dia torehkan untukku. Aku ingin berteriak tepat di depan wajahnya yang seperti tidak melakukan kesalahan fatal.


Gigiku sudah bergemeletuk karena emosi yang sudah beberapa bulan belakangan tertidur pulas, kini bak singa yang kelaparan dan siap menerkam mangsanya. Tapi...semua itu redam seketika. Semua itu hilang entah kemana. Amarahku bak disiram oleh air yang menyejukkan.


Ya, semua itu karena dia.

Dia yang menahanku.

Dia yang kini menggenggam tanganku.

Bukan Ethan.