Sunday, December 27, 2009

Her Wedding Dress part 3

Menurut orang, butikku ini cukup sukses. Aku bersyukur untuk semua itu. Mungkin memang banyak orang yang menaruh minat terhadap design yang lahir dari jemari yang memeluk pensil ini dan kemudian menuangkan sebentuk bayangan dalam kepala, pada sebuah kertas putih. Dan itu memang keahlianku. Juga kesibukanku hampir sepanjang hari.

Berada di dalam ruangan, berpikir mengenai potongan-potongan baju yang sedang trend, memperhatikan fashion, kembali membuat sketsa, berpikir mengenai bahan berkualitas baik dan juga membuat sebuah contoh pada patung. Kehidupanku hampir selalu berkutat dalam rutinitas yang sama. Hanya dia—Ethan, yang membuat putaran hidup itu terasa lebih bergairah.

Hari ini, aku sengaja mempersingkat waktu kerjaku. Alasannya? Ethan. Dia. Laki-laki itu. Aku akan dinner dengannya. Dia setuju.

Aku menutup buku yang penuh dengan sketsa baju-baju yang akan segera dimulai pengerjaan jahitnya. Tanganku merogoh tas dan meraih beberapa poto yang sudah kucetak dan rencana akan kuberikan padanya saat makan malam. Poto kami berdua. Kemarin, saat fitting. Kami berpura-pura latihan untuk pernikahan.

Ah, itu sepertinya dia datang! Suara langkah sepatu terdengar semakin mendekat. Buru-buru kumasukkan kembali tumpukan poto itu ke dalam tas. Namun, belum baru saja aku akan bergerak keluar dari balik meja, dia sudah lebih dulu muncul dari balik pintu.

Senyumku melebar.
Begitu cepat.
Secepat saat senyum itu kembali pudar.

Sesosok perempuan muncul dari balik punggungnya. Dengan mesra dia menggandeng lengannya. Satu reaksi pertamaku : bingung! Lalu berangsur jantungku berdegup. Apa-apaan ini? Apa sedang dalam permainan April’s mop? Tapi aku mengingat-ingat, saat itu bahkan bukan bulan April!

”Aku nggak bisa menikah denganmu.” Suaranya segera memecah keheningan yang seperti membuat lorong kematian. ”Aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku lebih mencintainya.”

Aku selalu bersahabat dengan kejujuran. Sungguh, tapi saat itu entah kenapa aku mendadak menjadi musuh besar sebuah kejujuran. Aku benci. Aku ingin muntah. Aku ingin berteriak. Dan semua itu kutujukan untuknya. Dan juga dia—perempuan itu.

Tapi apa yang bisa kulakukan? Hanya menangis.
Semua makian itu tertelan.
Semua kebencian itu hanya menjadi pengiring tangisku.
Dan rasa sakit hati yang akhirnya menjalar di sekujur tubuh, akhirnya malah mengekang suaraku untuk keluar.

Tamparan tidak akan mengembalikan semua keadaan.
Permohonanku pun hanya semakin merendahkan harga diriku.

Hanya satu hal akhirnya kulakukan.
Aku beranjak dari hadapan dua orang yang sangat kubenci itu. Menanggalkan segala pertanyaan kenapa yang hanya dijawab olehnya dengan begitu semu. Membiarkan semua kebencian membuntut di belakang dan sakit hati terus menjadi benalu di hatiku.

Hingga kini.

Dan hingga kini, poto itu hanya bisa menjadi saksi bisu anganku yang sudah pupus.

Satu air mata kembali mengalir saat aku menatap senyum kami berdua yang terekam oleh jepretan lensa. Senyum yang akan selalu abadi di atas hati yang sudah retak. Senyum yang selalu abadi mengisi harapan kosong yang tidak pernah terwujud.

Perlahan, aku melempar poto itu ke dalam kobaran api yang langsung melahapnya dengan ganas.

Thursday, December 24, 2009

Her Wedding Dress part 2

“Menurutmu, gaun pengantin ini bagus?”

Aku kembali mematut diriku yang ada di cermin. Meski dengan wajah polos yang hanya berlapis bedak tipis dan rambut panjang yang dijepit asal, tapi mataku mampu menangkap ada sesuatu yang berbeda saat mengenakan gaun putih bersih yang memamerkan kedua bahu jenjangku ini. Rasa bangga seketika itu juga menyelinap masuk ke dalam tiap rongga dadaku. Angan yang senantiasa ku bangun sejak memulai hubungan dengannya, seperti tengah menanti di pelupuk mata. Rasanya, ingin sekali aku berteriak bahwa aku akan menikah. Dan taukah dunia, siapa perancang pakaian pengantinnya?

Aku sendiri.

”Wow,” sahutnya dengan sorot mata yang menyiratkan kebahagiaan sekaligus sebuah kekaguman. Seulas senyum terlukis di bibir tipisnya. ”Sungguh, kamu cantik banget!”

Aku berdecak ke arahnya, menyimpan semua perasaan malu mendapat pujian semacam itu dari laki-laki yang sudah setahun ini menjadi kekasihku. Dan akan menjadi suamiku—kelak.

”Kamu bisanya gombal,” celetukku sambil kembali memandangi gaun hasil kerja kerasku selama beberapa bulan itu.

Dia tertawa. Tawa yang membuat sudut matanya berkerut. Tawa yang selalu melukiskan kejenakaannya. Tawa yang selalu menggetarkan hatiku. Tawa yang membuatku jatuh cinta padanya.

”’Than, aku bener-bener bahagia,” kataku sambil memandang ke arah mata Ethan melalui pantulan kaca. ”Aku bener-bener bahagia karena akan menikah denganmu.”

Dia....

hanya terdiam. Sementara aku, mencoba membaca hatinya, melalui senyuman penuh makna itu.

Namun, terlalu dalam.

Pelataran Gereja.

Siang hari...

Air mata itu tumpah lagi. Untuk kesekian kalinya.

Aku sudah tidak tau bagaimana kondisi dandananku saat ini. Yang pasti sangat berantakan. Aku tau itu. Tapi aku tidak bisa mengendalikan air mata ini. Aku tidak bisa menghentikan otakku yang terus menendangku kembali pada masa-masa bersama laki-laki brengsek itu.

Aku hanya seperti sebuah pena yang ketika tintanya habis hanya tinggal menjadi sampah!

Laki-laki itu brengsek!

Dan aku teramat bodoh. Seharusnya aku menyadari sikapnya. Seharusnya aku menyadari keberadaan satu-satunya wanita di hatinya. Dan seharusnya aku tau bahwa wanita itu bukan aku. Tapi dia. Perempuan yang sekarang berada bermeter-meter dari tempatku sekarang mengasihani diri sendiri, sedang berdiri di samping laki-laki yang kucintai, dan tersenyum bahagia.

Hatiku kembali merasakan sakit itu. Sakit yang begitu menyiksa, bahkan membuatku harus menekan kuat-kuat ke arah dada. Sakit ini bahkan menjalar ke seluruh tubuh. Membuat tenggorokanku tercekat. Juga membuatk kesulitan bernapas. Dan mata ini, terlalu pedih untuk bisa meneteskan air mata lagi.

Tidak hanya dicampakkan, tapi hakku sebagai seorang designer pun seperti dikoyak.

Ya. Gaun pengantin itu.

Seharusnya. Milikku.

Tuesday, December 22, 2009

Bunda dan Seragam Anyin

Gadis kecil itu gugup. Di satu tangannya, dia memegang sehelai seragam putih yang sudah pudar warnanya. Dengan langkah pelan, hingga tidak menimbulkan bunyi, Anyin--gadis kecil itu, mendekati Bunda yang sedang melipat pakaian kering di ruang tamu rumah kecil mereka.



"Bun," panggil Anyin dengan suara kecil. Jantungnya berdegup kencang.



Bunda pun menghentikan pekerjaannya sejenak. Dengan tatapan sedikit jengah, Bunda menoleh. "Kenapa, Nyin?" tanyanya.



Anyin mengulurkan seragam yang sedari tadi hanya berada di dalam pegangannya. Bunda mengernyitkan kening, namun hanya bergeming. "Seragam Anyin, Bun. Sudah terlalu lusuh dan kuning warnanya. Anyin malu pakenya. Soalnya temen-temen Anyin banyak yang ngeledek Anyin di sekolah," jelasnya agak takut.



Bunda masih terdiam dengan pandangan yang kali ini turun ke atas seragam di tangan Anyin itu. Wajah letihnya semakin memperjelas kerut-kerut tua di bagian kening dan sudut matanya.



"Mau bagaimana lagi, Nyin," sahut Bunda setelah menghela napas. Bunda kembali bekerja. "Bunda nggak punya uang untuk beli seragam baru. Lagipula, dibeli berapa kalipun seragam mu akan tetap terlihat kuning. Yang salah air yang kita gunakan. Sudah dari sananya berwarna kekuningan."



Anyin mengatupkan bibirnya. Dia ingin sekali bicara, bahwa seragam adiknya masih bisa terlihat bagus. Paling tidak, tidak berwarna kuning seperti kepunyaannya. Seragam adiknya mendapat perlakuan khusus dari sang Bunda. Setiap saat, Bunda selalu mencuci seragam adiknya dengan air yang mereka beli khusus untuk dimasak sebagai minuman karena jelas mereka tidak mungkin menggunakan air keran yang berwarna kekuningan itu untuk minum. Sehingga sampai kini pun, seragam adiknya masih tampak bersih.



Anyin menelan semua protesannya itu ketika melihat keletihan di wajah Bunda. Dengan hati yang kecewa, Anyin memilih kembali ke kamar. Berpikir, bagaimana dia bisa mendapatkan seragam baru.



*



Secara diam-diam, Anyin membantu Ibu kantin sekolahnya untuk bersih-bersih kantin selama beberapa hari. Dari pekerjaan itulah, Anyin mendapatkan sedikit uang yang dia kumpulkan hingga paling tidak cukup untuk membeli seragam seharga lima puluh ribu. Dengan dorongan untuk menepis semua rasa malu yang diterimanya dari hinaan kawan-kawan sekolahnya, Anyin pun segera bergerak menuju pertokoan yang menjual seragam. Dia harus membeli seragam itu, supaya tidak ada satu pun orang yang menghinanya lagi.



Hatinya kini dipenuhi semangat yang menggebu-gebu. Bayangan Bundanya yang bangga akan hasil jerih payah Anyin berusaha mendapatkan uang untuk membeli seragam baru, bayangan teman-temannya yang akan tutup mulut saat Anyin menggunakan seragam baru, dan juga bayangan si adik bahwa Anyin juga bisa memiliki seragam sebagus kepunyaannya. Namun, semua bayangan itu luntur, ketika Anyin melintasi sebuah toko perhiasan.



"Bunda ingin sekali punya perhiasan. Kalau sewaktu-waktu kita butuh, kita bisa jual perhiasan itu. Jadi nggak perlu lagi ada kesulitan ekonomi seperti sekarang. Emas itu kan harganya terus naik."

Kata-kata Bunda dulu, terngiang di telinga Anyin. Kata-kata dengungan dalam kepala yang akhirnya membuat Anyin justru melangkah masuk ke dalam toko perhiasan itu.



"Anyin mau beli perhiasan," kata Anyin pada seorang penjaga toko. "Tapi...Anyin hanya punya uang segini." Dikeluarkan semua harta bendanya itu dari saku seragamnya. Semuanya hanya berjumlah lima puluh lima ribu saja.



"Wah kalau segini nggak bisa beli apa-apa, dik." Penjaga toko itu berpikir sejenak. "Tapi kalau adik mau yang imitasi, bisa dapet, nih."



Lalu penjaga toko itu menyodorkan sebuah kalung perak berbandul hati yang tampak sama berkilaunya tapi tentu saja berbeda jauh kualitasnya. Anyin langsung menyukai kalung tersebut. Dia tidak mengerti dengan imitasi atau bukan, tapi dia suka kalung itu. Dan Anyin hanya berpikir bahwa Bunda pasti akan menyukainya.



*



Entah kenapa pada akhirnya Anyin memilih untuk menggunakan uangnya bukan untuk membeli seragam. Anyin sendiri tidak tau. Dia hanya memikirkan Bunda, meskipun perlakuan Bunda terhadapnya sedikit tidak adil. Tapi Anyin tau, Anyin sangat sayang pada Bunda. Dan Anyin juga tau, pengorbanannya tidak sia-sia.



Anyin kehilangan seragam impiannya, namun Anyin tidak akan pernah kehilangan senyum Bunda yang terekam dalam memori hatinya.











Note:


Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika terjadi kesamaan nama tokoh, adalah kesengajaan penulis yang ingin berterima kasih kepada ANYIN atau pemilik dari Nindalicious yang kini blognya juga kekuningan (hihihihi...) atas AWARD yang diberikan untuk blog cerpen. Pesannya supaya saya semangat menulis lagi. Karena itu juga, saya sudah berencana untuk membuat lanjutan dari Her Wedding Dress. Mudah-mudahan nggak terganggu sama penyakit andalan saya : moody. Hehehe... (kepikiran besok buat blog namanya moodilicious kali ye :P *dijitak Anyin)





Dan terakhir, pesan dari author

Selamat Hari Ibu

Sunday, December 13, 2009

Her Wedding Dress

Aneh. Biasanya aku bisa berjalan dengan tegak dan kaki yang kuat menunjang tubuhku di dalam stiletto putih ini. Namun, hari ini aku tidak seperti itu. Dengan jantung yang terus berdegup kencang karena gugup, aku melangkah masuk ke dalam sebuah gereja tua.

Kuedarkan pandangan melihat seluruh tamu yang sudah duduk rapih di sana. Mungkin, hanya aku yang sendiri, berdiri di sini dengan hati yang kacau dan mata bengkak yang sudah kulapisi counselor lebih banyak dari biasanya. Kebimbangan menyergapku, hingga aku masih bergeming di pintu gereja. Sementara mataku terpaku lurus pada altar yang tertata rapih penuh bunga di ujung sana. Aku menundukkan kepala. Aku ingin memutar tubuhku, tapi semuanya mendadak kaku. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Lagipula, aku sudah disini, kenapa aku harus pulang?

Dengan segala kekuatan yang kupunya, akhirnya kakiku bisa kugerakan dan melangkah gontai untuk memilih tempat duduk—di sisi pinggir. Sekilas, kurasakan kelembutan bunga mawar segar berwarna putih susu, yang menghias di sudut bangku kayu. Cantiknya….

Otakku pun mulai disekap oleh sebuah rasa iri.

Sekelibat bayangan akan tawa yang masih sempat mengisi hari-hariku beberapa bulan lalu, melintas dengan cepat bagai kereta api. Mataku kembali panas. Tidak. Aku tidak boleh lemah. Terutama saat aku sudah memantapkan hatiku untuk berada di sini. Ya, aku yang membuat keputusan untuk berada di sana!

Lonceng berbunyi.
Tanda upacara pernikahan akan dimulai.
Semua hadirin berdiri. Aku? Tidak mungkin hanya duduk membatu saja, bukan? Tapi, kakiku begitu lemah. Sungguh. Aku merasa seluruh energiku kembali terserap oleh sesuatu. Hingga aku harus berpegangan pada satu sisi bangku.

Mars pernikahan mulai berdenting, melalui sebuah alunan grand piano yang begitu indah dan lembut. Aku menelan ludah, susah payah. Aku menahan emosi yang membludak di dada, sekuat tenaga. Dan aku, berusaha untuk tidak menumpahkan air mata getir itu di sana.

Mataku menangkap dua sosok mempelai yang melangkah. Sang pengantin laki-laki tampil begitu rapih dan gagah. Dia mengenakan tuxedo yang membuatnya begitu percaya diri. Apalagi dengan satu tangan dari si pengantin perempuan yang menggamit lengan pasangannya. Keduanya berjalan dengan senyum beredar. Penuh kebahagiaan.

Miris sekali. Tapi memang pemandangan itu sangat kontras dengan keadaan hatiku.

Aku terpaku menatap gaun pengantin si perempuan.

Gaun itu….
Indah.
Tapi terlihat tidak begitu pas di tubuhnya.
Karena, lingkar pinggangnya jelas berbeda denganku.
Karena, gaun pengantin itu milikku.
Aku yang membuatnya dan aku yang menyocokkannya dengan ukuran tubuhku. Aku yang kala itu berharap bisa mengenakan gaun pengantin tersebut di dalam pernikahanku nanti. Dengannya. Si laki-laki yang memakai tuxedo itu.

Ya, harusnya aku yang ada di sana!
Aku yang berjalan di sebelahnya. Bukan dia.

Kenyataannya, dia meninggalkanku setelah mencuri design, hasil kerja kerasku akan impian yang sudah kubangun selama satu tahun menjalin hubungan dengannya. Dia mencampakkanku! Dengan mudahnya.

Hatiku kembali berdenyut.
Tapi, aku kuat. Aku harus kuat.

Kurasakan tatapan kami bertemu. Dia mengerutkan keningnya. Pasti heran dengan kehadiran tamu tak diundang ini. Faktanya, aku memang berdiri di sini, untuk perayaan pernikahannya.

Untuk melihat buah karyaku!

Aku benci ini, tapi air mataku justru turun disaat yang tidak diinginkan. Dengan segara kuseka pipiku. Dan ketika kedua mempelai itu tiba di altar suci, aku tidak mampu bertahan. Kakiku langsung melangkah keluar gereja dan menanggalkan sebait ucapan selamat atas pernikahannya, yang jelas tidak akan pernah bisa kusampaikan secara langsung.

Dan juga sisa-sisa dari hati ini, bahwa aku...
Masih mencintainya.

Thursday, December 10, 2009

Let's Making Friend

"Kamu percaya persahabatan dalam dunia maya?"

Kata-kata itu pernah dia tanyakan padaku. Entah apa yang membuatnya mendadak mengajukan pertanyaan tersebut. Tapi yang jelas, tanpa menunggu atau pun berfikir lebih jauh, aku langsung mengiyakannya. Memangnya kenapa dengan persahabatan dunia maya? Apa ada sesuatu yang salah dengan media tersebut?

"Aku percaya," kataku tegas.
Aku percaya bahwa persabatan ada dimana pun, dalam bentuk apa pun, tanpa mengenal media yang mendasarinya.

Dia hanya terdiam.

Lalu aku meraih sesuatu dari dalam tasku. Kukeluarkan sebuah buku dengan gambar spongebob di bagian depannya. Si kuning dengan mata bulat yang tampak ceria itu, seolah menatapku sambil nyengir. Berikutnya, aku menggeser buku tersebut hingga dia bisa melihatnya dengan sangat jelas. Keningnya berkerut. Kemudian dia menatapku dengan matanya yang bening dan dipenuhi aura kebingungan.

Aku tersenyum sejenak. "Kamu tau? Ini hadiah dari sahabatku di dunia maya. Kami belum pernah bertemu tapi dia memberiku hadiah ini sebagai tanda persahabatan."

Dia terpana menatapku. "Aku tetap tidak percaya."

Aku menghela napas. Susah memang menasehati seorang keras kepala. Jadi, aku hanya mengangguk.

"Kamu punya hak untuk nggak percaya. Mungkin memang kamu belom merasakannya."

Aku tidak berharap dia memaksakan diri untuk sependapat denganku. Dia temanku, tapi dia juga punya hak untuk tidak mendukungku. Aku tau, sulit dijelaskan dengan akal sehat bagaimana persahabatan dalam dunia maya itu. Tapi aku selalu percaya.

NOTE:

Postingan cerpen ini saya buat untuk tealovecoffee yang bersedia melirik blog cerpen yang agak-agak terlantar karena saya jarang update cerpen ini, untuk diberikan sebuah award.

Friday, December 4, 2009

All For You, Guys!

“Lo yakin?”


Tanyanya sekali lagi memastikan kondisi gue yang mungkin dimatanya gue udah seperti vampire—pucat. Gue mendangak, lalu mengangguk. Memberikan seulas senyum penuh keyakinan agar keempat orang cowok yang sedang menatap gue dengan pandangan khawatir itu bisa sedikit lebih tenang.


Mereka sobat gue. Mereka peduli sama gue. Dan mereka tau gue nggak dalam keadaan yang sangat fit sekarang. Mereka tau berapa derajat suhu badan gue. Mereka tau ketika selesai makan malam kemaren, gue langsung muntah-muntah. Mereka tau gimana nggak tenangnya gue melewati tidur sebelum hari ini tiba. Tapi gue juga nggak bisa berhenti. Mereka juga nggak bisa menghentikan gue. Hari ini, performance kita harus tetap dilaksanakan. Nggak ada alasan apa pun, meskipun gue lagi nggak enak badan. Ribuan orang yang berharap banyak bisa melihat kita sore ini, sudah menunggu dan berteriak-teriak di depan panggung. Gaungnya kedengeran sampai ke sini—backstage.


Dan gue melakukan ini, semata-mata bukan demi popularitas gue sebagai salah satu anggota boyband yang namanya sedang naik daun. Semua ini gue lakuin demi sobat-sobat gue dan demi orang-orang di luar sana yang berteriak-teriak memberi kita support. Semua pemberian kasat mata itu nggak mungkin gue bayar dengan keegoisan gue.


Oh, lima menit lagi kita tampil.


Gue segera beranjak, sedikit terhuyung, tapi buru-buru menyeimbangkan diri. Jangan sampai sobat-sobat gue melihat gue yang kayak orang mabok. Bisa-bisa mereka lebih mikirin cara ngebatalin perform yang udah di depan mata itu daripada ngebiarin gue sekarat di stage. Yeah, gue juga nggak mau sekarat di depan puluhan orang yang mendukung gue dan teman-teman gue. Gimana pun juga, gue harus tetap berjuang memberikan yang terbaik. Perjuangan mereka dan perjuangan gue, nggak boleh cuma jadi hal yang sia-sia.


Oke. Musik udah mulai diputar.


Mengikuti irama, satu per satu dari kita mulai konsentrasi dengan blocking dan pembagian masing-masing dalam bernyanyi juga dance. Sesekali, gue melihat sobat-sobat gue melemparkan lirikan khawatir, tapi gue yang udah ngerasa mau muntah ini, tetep bertahan. Gue coba pasang senyum.


Shit! Kepala gue, makin berat rasanya. Tapi gue nggak mungkin berhenti di tengah-tengah! Apa yang gue usahakan, sepertinya semakin nggak maksimal. Tenaga gue lama-lama semakin menghilang, kayak ditiup angin.


Jangan... please, jangan sampe gue gagal.


Brengsek! Perut gue mual, diaduk-aduk tiap koreo yang membuat gue harus lompat sesekali. Gue pengin muntah!


Eh....abis ini gue blocking ke mana? Ya ampun! Hampir aja gue lupa! Cuma karena nahan rasa nyeri di kepala dan mual yang semakin ngajak gue untuk berantem. Bisa. Gue harus bisa!

Ya. Gue pasti bisa menyelesaikan tugas gue ini.


Bagian musik ini gue harus ke....Damn! Kok bisa-bisanya gue kepeleset?! Iya! Gue baru aja jatoh! Di depan puluhan orang yang melihat kita! Yang memberi dukungan melalui kata-kata dalam spanduk kecil yang mereka bawa. Tapi tenang, gue harus tenang. Gue buru-buru bangkit perlahan, dengan ekspresi datar. Tau, kan? I’m on stage, masa’ gue masang ekspresi meringis. Nggak akan, deh.


Gue langsung menyamakan koreo dengan sobat gue yang lain, yang sempat memberikan lirikan kaget sekaligus cemas akan keadaan gue yang terlalu memaksakan diri. Gue tau, kalo mereka bisa, mereka pengin langsung melupakan soal perform dan segera menolong gue. Tapi, sebagai penyanyi yang dilatih untuk bersikap profesional, tentu aja masalah seperti kepeleset tadi bukanlah pertanda bahwa perform kita selesai. Detik itu juga. Ya, saat di panggung, semua harus fokus pada apa yang harus mereka tampilkan.


Bukan pada gue yang sakit!


Ah...musik memasuki endingnya. Syukurlah. Gue hanya perlu berpose untuk yang terakhir. Applause meriah bergaung. Teriakan-teriakan pendukung kami bergema kembali.


”Kak, tetap semangat!”

”Kami mencintaimu.”

”Semoga kamu baik-baik saja.”

”Kami selalu mendukungmu.”


Kira-kira itulah kata-kata yang gue denger. See? Itulah alasan kenapa gue sangat nggak pengin mengecewakan mereka. Karena mereka terlalu sayang pada gue dan juga ke-empat sobat gue yang lain. Dan gue menyesal karena apa yang gue tampilin bukanlah sesuatu yang terbaik. Dengan kata lain gue sudah mengecewakan mereka.


Gue dan yang lain membungkukkan badan, memberi hormat sekaligus mengucapkan terima kasih atas dukungan-dukungan yang terasa sangat tulus itu. Dan begitu kita bergerak menuju backstage, tiba-tiba aja, sobat-sobat gue langsung merangkul gue dan membantu gue yang berjalan tertatih-tatih!


”Kan gue udah bilang, harusnya kita ngomong sama manager supaya cancel jadwal kita hari ini.” Satu sobat gue yang bernama Jio memprotes. Dia bukan yang tertua dan juga bukan leader tim ini, tapi perhatiannya sangat luar biasa. ”Paling nggak, manager bisa cancel jadwal lo!”


”Gue nggak mau lo sekarat, tauk!” Kini giliran si leader, Seung Ho.


Satu per satu rekan gue meluapkan rasa sayang mereka dengan memarahi gue. Sementara gue, yang baru aja muntah-muntah, cuma bisa melongo. Tersentuh, tapi gue punya pendapat sendiri.


”Gue maksain diri, untuk kalian juga mereka.” Gue menunjuk ke bagian panggung. Maksudnya siapa lagi kalo bukan para pendukung kita. ”Karena gue pengin selalu tampil bersama kalian dan juga gue nggam mau membuat mereka kecewa.”


Meski kenyataannya, gue telah mengecewakan mereka.



Note:

Cerpen ini dibuat untuk : MBLAQ - Lee Joon yang ternyata terserang virus H1N1 dan sempat melakukan perform nya dengan kondisi yang tidak fit. Get well soon, Jonnie ya!

Tuesday, December 1, 2009

Girl Next Door

Buat gue, dia adalah perempuan yang unik.
Dia—perempuan itu, suka banget yang namanya makan es krim. Pertama kali bertemu, dia sedang menyantap ’makan siang’nya yang adalah sekotak es krim vanila. Wajahnya lucu dan matanya bulat. Pipinya kemerahan.
Dia—perempuan itu, selalu mengenakan pakaian serba hitam. Mungkin seluruh koleksi pakaiannya memang berwarna hitam.
Dia—perempuan itu, suka sekali dengan kegelapan. Baginya, di dalam kegelapan, dia bisa menemukan dunia lain yang jauh lebih luas.
Dia—perempuan itu, selalu menganggap bulan adalah Ibu Peri, matahari sebagai Ksatria, dan bintang sebagai dewi-dewi yang menari.
Ya, dia adalah perempuan yang tinggal di kamar sebelah kamar gue, di rumah susun yang sederhana ini.

Dia perempuan ceria yang memiliki kehampaan.
Gue senang memanggilnya Kiara, tapi dia menganggap dirinya adalah Canis (minor). Dan dia kerap kali memanggil gue dengan sebutan Angkasa, tanpa pernah mencari tau siapa nama gue.
”Karena aku bisa melihat langit di matamu.”
Begitu katanya. Gue sama sekali nggak keberatan. Bagi gue, apalah artinya sebuah nama kalau memang Kiara menyukainya, gue nggak akan keberatan. Dan mungkin juga begitulah menurut Kia.

Dia perempuan bertubuh mungil yang memiliki pandangan jauh hingga luas tak terbentang. Dia—Kiara, sangat mencintai teropong bintangnya dan selalu mengintip di balik lensa, supaya malam itu bisa dilaluinya dengan bergurau bersama para dewi yang menari-nari. Begitulah Kiara, perempuan yang tinggal di sebelah kamar gue. Yang pada akhirnya membuat gue ingin merengkuhnya ke dalam dunia yang lebih dekat dengan gue.
Ya, terkadang, Kiara seperti salah satu dari para dewi itu, begitu jauh untuk dijangkau.

Namun belakangan ini, gue bisa melihatnya begitu gigih bermain-main dengan lensa teropongnya. Setiap malam, dia berusaha keras mencari sesuatu di langit sana. Entah apa. Toh, biasanya Kiara juga selalu mengintip kerlip para penguasa langit. Gue nggak begitu memperdulikannya.

Tapi ketika gue melihatnya menangis malam itu, sementara keputusasaan mengisi wajahnya yang memerah, gue begitu penasaran.

”Canis, kamu kenapa?”

”Ang, bisa kamu tolong aku? Aku harus menemukannya. Aku merindukannya.”

Benak gue bertanya-tanya, siapakah yang dirindukan sang anak langit ini? Bukankah setiap malam dia bisa menyapa Ibu Perinya? Bukankah dia bisa tersenyum kala melihat dewi-dewi mengerling nakal ke arahnya? Lalu siapa yang dia rindukan? Siapa yang tidak hadir di kala dia mengintip dunia luas di sana?

”Apa? Kamu rindu siapa?”

Dengan mata nanar, Kiara, oh bukan, Canis. Maksud gue Canis, karena begitulah dia mau gue memanggilnya. Ya, dia memandang gue dengan matanya yang bulat tetapi penuh kebimbangan dan kesedihan. Ya Tuhan, apa yang membuatnya begitu pilu?

Gue mencoba mendekatinya.

”Orion.”

Gue tergelak. Orion. Gue? Apa maksudnya? Ah benar, gue melupakan hal itu. Dia bahkan belum mengetahui siapa nama asli gue. Dia hanya tau bahwa gue adalah Angkasa. Angkasa-nya. Tapi di balik Angkasa yang melekat pada diri gue, Orion adalah gue yang sebenarnya.

”Maksud kamu?”

”Orion-ku meninggal. Dia pergi dari aku dua tahun lalu. Sekarang aku rindu padanya. Aku ingin menemukan Orion-ku. Tapi dia sama sekali tidak tampak. Kenapa? Kemana dia? Aku kangen.”

Jadi...Orion-nya itu?
Orion-nya yang telah meninggal itu. Gue nggak menyadarinya. Dia pasti merindukan Orion-nya, kekasihnya dulu. Bukan gue.
Dan dia harus menemukan Orion-nya.

Gue nggak tau harus berbuat apa. Gue hanya mengenal Orion-nya melalui kisah-kisah yang diceritakan Kiara. Gue nggak tau wujudnya. Dan bagaimana Orion-nya bisa gue temukan di langit? Gue hanya bisa bergeming dan memperhatikannya kembali berusaha keras, seperti orang gila, mengintip di balik lensa dengan penuh keliaran. Mungkin dia marah karena Orion-nya tidak muncul.

”Canis.” Gue merengkuh pundak perempuan itu. Gue nggak tega melihatnya seperti ini. Dia perempuan yang ceria, yang senang tertawa dan makan es krim, meski harus berbalut pakaian yang selalu mendukung kekosongan dirinya. ”Lihat aku.”

Gue memaksanya untuk melihat ke arah gue. Dia melihat ke mata gue, tapi ternyata matanya semakin sembab.

”Kamu nggak pernah sadar? Setiap malam, Orion-mu selalu menemanimu. Dia selalu memperhatikanmu.”
Kiara hanya terbengong-bengong menatap gue. Sama sekali nggak percaya. Mungkin dia pikir gue gila.
”Orion mu selalu berharap kamu melihat ke arahnya. Bukan ke dalam langit di sana. Orion mu selalu berharap bisa kamu panggil sebagaimana mestinya. Dan Orion-mu itu selalu berdiri di sini.”
Air mata Kiara meleleh.
”Aku adalah Orion.”

Bibir Kiara bergetar.

”Coba lihatlah ke arahku.”

Kiara mematung.

Bisakah Orion yang sekarang menggantikan Orion-nya yang dulu? Bisakah dia melihat gue sebagai Orion?
Karena Orion yang kini sejajar dengan sang Canis, berharap penuh bisa menampilkan cahaya bahagianya bersama.
Karena gue—Orion, mencintainya.

Monday, November 30, 2009

S.I.G.N

by : Clara

Kata orang kematian itu indah. Benarkah?
Bagaimana kalau justru berada diantara kematian dan kehidupan?

Aku lelah. Sungguh.
Seluruh tenagaku telah larut bersama emosi yang telah kuluapkan. Habis. Puas? Tidak. Aku belum puas. Aku masih mencari apakah masih ada saksi bisu yang mengawasiku dengan tatapan mereka yang dingin, yang bisa kuhancurkan, untuk mengakhiri amarahku yang tersisa? Satu per satu mataku menjelajah ke seluruh ruangan bernuansa serba putih ini, dengan tatapan nanar. Semua terlihat porak poranda, tanpa menyisakan satu pun keutuhan.

Tolong…
Suara lolonganku yang seperti anjing kesakitan, tetap hanya tertinggal sebagai suara rintihan yang tidak akan didengar oleh siapapun. Suaraku hanya memunculkan gelembung-gelembung yang bisa didengar oleh mahluk bersirip di dunia yang berbeda denganku. Bahkan suaraku tidak bisa merambat sampai ke ujung ponsel yang tergeletak lesu, beberapa meter dari gapaianku.

Aku mengirimkan sinyal-sinyal hampa.
Tapi bisakah kau merasakan sinyal dariku?

Tolong…
Aku kesakitan. Aku menderita. Aku ingin bernafas.
Dan aku berpacu dengan waktu, menuju kematiankukah? Atau sekali lagi aku harus kembali pada semua kenyataan pahit yang menimpaku?

Kau duduk di sebuah bangku, dengan kaki yang menyilang begitu angkuhnya, serta pandanganmu yang merendahkanku, seolah aku ini adalah perempuan berpenyakit kusta yang harus kau hindari. Bibirmu yang menyunggingkan senyum sinis. Senyum yang tajam dan menggores hatiku. Kau diam seribu bahasa hanya untuk menghakimiku dengan tatapan membunuhmu.
Kau mencampakkanku!
Hanya untuknya. Demi dia.
Haruskah aku memohon seperti budak yang membutuhkan makanan di kala sang majikan tidak memberinya makan?
Haruskah aku mencium ujung kakimu hanya supaya kau tidak berpaling padanya?

Kau berbahagia di atas penderitaanku.
Kau menginjak seluruh tubuhku hingga kesakitan dengan sikapmu.
Kau menganggapku hanya, ya, seperti perempuan hina yang kotor yang telah berbusuk badannya.

Lihatlah siapa yang lebih kotor?
Aku yang perempuan hina ini, yang mencintaimu secara tulus, ataukah dia, yang seorang laki-laki yang mencintaimu karena kamu juga sakit?
Dan sungguhkah? Kau akan mengusirku seperti anjing betina liar yang bulunya rusak tapi sudah mengabdi bertahun-tahun, hanya demi dia, anjing jantan yang melenggok dengan bulunya yang berkilau?

Pergilah…
Setelah kau puas dengan membuat luka di hatiku.
Setelah lebam di tubuh ini juga kau tinggalkan sebagai kenangan atas kekejian sikapmu yang seperti binatang.
Setelah sesuatu yang paling berharga dari dalam diriku kau rampas penuh nafsu bejat dan liar.

Tik … tok … tik … tok …
Aku masih berpacu dengan waktu. Tanganku semakin terkulai, juga semakin dingin seakan-akan ada yang memberikan es batu ke dalam tempatku berendam. Mataku masih terbuka sedikit, bersama dengan harapan itu. Aku ingin kau mendengar sinyal dariku. Aku ingin kau berada di sini sekarang. Apakah ponselku tak cukup mengirimkan sinyal-sinyal itu?

Aku lelah. Sungguh.
Aku ingin memejamkan mata.
Aku membiarkan darah menetes perlahan, membuat nada indah yang merambat pelan ke telingaku, dari pergelangan tangan ini.

Tolong…
Apakah kau tidak mendengat sinyal-sinyal dariku?
Tik. … tok … tik … tok …


Note: Percikan kisah ini ditulis karena terinspirasi oleh lagu SIGN by Brown Eyed Girls dan sama sekali tidak ingin menyinggung siapapun
Just enjoy ^^

Thursday, November 26, 2009

Harum yang Abadi

Lihat hujan turun lagi dengan derasnya!
Uhhh, rasanya badanku kaku. Aku sama sekali tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Aku ingin tetap berada di balik selimut. Aku malas pergi ke sekolah. Lagipula, hujan kali ini, entah kenapa terasa begitu memilukan. Aku tidak suka. Sepertinya dia sedang menangisi seseorang. Siapa hujan? Siapa yang kau tangisi sampai terasa begitu pilu?

Bunda membuka pintu kamarku.
Dengan tegasnya, beliau segera menyuruhku berangkat sekolah. Buatnya, tidak boleh ada kata membolos. Apapun alasannya. Termasuk waktu aku demam.
"Ah, cuma demam 37 derajat saja. Kamu juga masih bisa bergerak, kan? Sebaiknya sekolah. Jangan sia-siakan ilmu." Begitulah kata Bunda. Intinya dia paling anti dengan sesuatu yang menyebabkan aku tidak berangkat ke sekolah. Kadang aku merasa keterlaluan, kadang aku merasa Bunda benar. "Karena setiap harinya akan ada ilmu yang bisa berguna untuk hidupmu kelak. Kalau kamu membolos, kamu melewatkan satu kesempatan emas." Itulah alasan Bunda.

Aku pun segera teringat dengan seorang guruku. Beliau sudah memasuki usia lanjut, tapi aku suka sekali cara mengajarnya yang sabar dan terlihat selalu tulus mendidik setiap muridnya untuk bisa menguasai materi Bahasa Indonesia yang begitu dicintainya. Oh, guruku. Hanya untukmulah, akhirnya aku menanggalkan selimut ini dan bertarung dengan udara dingin yang menggerogoti kulitku perlahan-lahan.

Akhirnya aku pun bergegas bersiap-siap dan ternyata Bunda sudah merapihkan semua kebutuhanku pagi itu. Mulai dari sarapan hingga payung yang harus kugunakan untuk menempuh jarak ke sekolah yang selalu kulewati dengan berjalan kaki.

Perjalanan dari rumah menuju sekolahku tidak terlalu jauh. Hanya cukup menempuh beberapa meter melalui jalan tembus, pematangan sawah. Tapi aku selalu suka dengan suasananya. Saat banyak bapak Tani mulai sibuk dengan pekerjaannya menanam pagi. Biasanya aku menyapa mereka. Hanya saja kali ini hujan menghentikan semua kegiatan rutin yang aku lihat itu.

Gedung sekolahku sudah mulai kelihatan!
Akhirnya, aku bisa bebas dari jalanan becek yang membuat kakiku kotor. Untung aku mengikuti saran Bunda untuk mengenakan sandal alih-alih sepatu hitam butut yang biasanya selalu menjadi pasangan setia dari seragam putih merahku. Sampai di kelas, aku merapihkan sandalku dan segera memakai sepatu itu. Hingga tak berapa lama bel berbunyi. Ahhh, aku sudah tidak sabar bertemu dengan guruku. Pak Harum namanya. Ya, namanya memang benar-benar harum karena beliau selalu menebar serbuk kebajikannya. Tanpa pernah sekalipun mengharapkan ada balasan.

Lalu, hari ini, Pak Harum akan mengajarkan apa ya?
Mungkin tentang bagaimana membuat kalimat yang baik? Atau adakah pelajaran mengarang lagi dari beliau? Aku selalu rindu dengan pelajaran mengarangnya.
Suatu ketika, aku mendapat pujian dari beliau, karena katanya tulisanku membuatnya tersentuh. Aku yang hanya seorang anak kecil, pastinya merasa bangga mendapat pujian seperti itu. Padahal aku menyusun kata-kata dengan kacau. Dan hanya bercerita apa adanya tentang Ayahku yang meninggal di perantauan negri orang. Namun, rupanya Pak Harum menyukainya.

Seorang guru tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas.
AKu langsung mendesah. Bukan Pak Harum. Apa karena beliau terlalu tua untuk menembus hujan yang cukup deras mengguyur pagi itu?

Guru itu berdiri di depan kelas. Dengan wajahnya yang tampak lelah.
"Anak-anak, Pak Harum baru saja meninggal. Subuh tadi."

Kabar itu seperti petir di siang bolong! Aku langsung shock!
Pak Harum, guru kesayanganku yang selalu memiliki dedikasi yang tinggi untuk sekolah bobrok ini beserta seluruh anak muridnya yang senantiasa berharap bisa menjadi lebih pintar dari waktu ke waktu. Pak Harum tidak pernah mengeluh baik panas terik membakar kulitnya atau pun hujan deras mengguyur tanah. Ya. Dia melewati semua rintangan itu hanya untuk memberitau pada kami mengenai apa arti dari kemerdekaan.

Kini guru dengan tawa khas yang hangat itu telah tiada.
Selamat jalan Pak Harum.
Namamu terlalu berharga untuk dicampakkan begitu saja.
Selamat jalan guruku sayang.
Jasamu akan selalu membekas di hatiku. Dan ilmu yang telah kau berikan, akan selalu kupakai di kehidupanku.

Sampai sekarang. Ketika kesuksesanku sebagai seorang sastrawati telah mendampingiku.
Pak Harum adalah penanam benih dari semua ini.

Note: Selamat Hari Guru
kisah tak seberapa ini dihadiahkan untuk kawan-kawan dan mungkin juga blogger yang berprofesi sebagai guru

Saturday, November 21, 2009

Hadiah Dari Sang Guru

Laki-laki itu duduk terdiam, di atas kursinya. Dia menatap keluar jendela, meskipun setumpuk buku berada di hadapannya. Senyum yang tak lekang dari wajahnya, membuat siapapun tau bahwa dia adalah seseorang dengan dedikasi tinggi atas sebuah kata bernama pendidikan. Dia rela bangun pagi, hanya untuk membagi ilmu dengan murid-muridnya. Dia bahkan tak mengeluh ketika harus tidur terlalu larut, ketika harus memeriksa tulisan murid-murid didikannya. Dia tau, apa yang terbaik untuk murid-muridnya.

Pandangannya menoleh ketika enam belas orang siswa, masuk ke dalam kelas. Dia masih mengukir senyum itu, dan melontarkannya kepada para siswa. Tidak ada yang tidak membalas senyum itu. Mereka tau, laki-laki yang sedang duduk itu adalah guru sekaligus sahabat yang tidak akan bisa digantikan dengan apapun. Terlalu berharga, lebih dari apapun.

"Hari ini ladang saya panen," guru itu memulai percakapan kepada enam belas siswa ini. "Karena itu," dia merogoh kolong mejanya dan mengeluarkan sekeranjang apel merah yang begitu ranum. "Sebagai lambang persahabatan yang tak lekang oleh waktu dan tak terbatas hanya karena profesi, saya ingin membagi apel yang saya petik sendiri ini untuk kalian."
Dengan perasaan penuh haru sekaligus bangga yang membuncah, satu per satu siswanya mulai maju dan menerima apel itu. Apel istimewa yang diberikan oleh orang yang memiliki jasa begitu besar dalam memberantas kebodohan.

---

Sebagai salah satu dari siswa itu, saya juga mau memamerkan 'apel ranum' yang diberikan oleh guru bernama Bang Munir.

Award backlink


Heartfelt Blogger Award

Blogger Award Comunity

Terima kasih untuk award terhadap blog cerpen ini ^^
semoga dengan award yang diberikan, bisa membuat saya tetap berkarya dalam membuahkan imajinasi-imajinasi lainnya yang masih tertinggal di dalam kepala

Sunday, November 15, 2009

One Shoot!

Rambut panjang perempuan itu berkibar-kibar tertiup angin, sehingga tampak seperti helaian sutra yang beterbangan lembut. Mata sipit itu menatap sinis laki-laki yang ada di hadapannya, menambah aura dingin yang terpancar dari gurat wajahnya yang tirus. Langit gelap yang membungkus padang rumput dimana ia berpijak, bukan halangannya untuk beradu pandang, seolah saling menghujam pisau hanya dengan tatapan mata.

“Satu misi terakhirmu.”

Rahang laki-laki itu menegang. Kini, seluruh isi bola matanya hanya terpusat pada perempuan itu. Ia mengangguk, menurut perintah si perempuan.

Sejenak suasana menegang. Angin malam yang bertiup tiada ampun, membuat suasana semakin terasa seperti es. Beku. Juga dingin. Tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu diantara mereka harus menjadi penghangat ditengah-tengah. Seolah-olah, sekat kebencian telah menjadi jendela bagi keduanya untuk berhadapan. Padahal hati mereka berkata sebaliknya.

Si laki-laki mempererat pegangan senjata apinya yang berada di samping pahanya yang kokoh menopangnya berdiri. Ia siap dengan misi apa pun yang diperintahkan si perempuan!
Diluar perkiraan si laki-laki, alih-alih memberi perintah perempuan berlapis tank top hitam itu melangkah maju, mendekatinya. Dengan tatapan yang masih sama. Menghujam! Tapi tunggu…mata itu berkata sebaliknya!

Perempuan itu berjinjit sedikit saat sudah berada di dekat si laki-laki. Bibirnya di dekatkan pada telinga laki-laki itu, dan suaranya mendesisi membisikkan perintah yang harus dilakukan. Tidak boleh dilanggar, atau ditawar. Misi ini adalah pekerjaannya. Membunuh adalah tugasnya.

Kill yourself,” desisnya. Tajam. Penuh kebencian. Sinis.

Hembusan nafas perempuan itu membuat bulu kuduk si laki-laki merinding. Bukan hanya pada nafasnya yang begitu dekat dengan tengkuknya, tapi juga karena perintah itu…begitu sulit!
Laki-laki itu menelan ludah.

“Kenapa?”

“Karena kau mencintaiku.”

Perempuan itu menyeringai. Bahkan kau sudah membunuhku dengan tatapanmu! Batin laki-laki itu memberontak.

“Ini misimu.” Perempuan itu mundur beberapa langkah dan berkata dengan suara yang lebih lantang, namun dalam. “Kau perlu membuktikan loyalitasmu pada Ayahku. Bukankah kau sudah terbiasa membunuh orang?”

Mendadak laki-laki itu diliputi ketakutan. Membunuh orang tidak sama dengan membunuh diri sendiri. Bahkan adrenalinnya pun berbeda. Laki-laki itu tertawa dalam kegetirannya. Haruskah ia melepaskan perempuan itu dengan cara yang seperti ini?

Perempuan itu menatap si laki-laki semakin jauh lebih dalam. Seakan bisa menghipnotisnya.
Angin semakin berhembus kencang. Menggoyangkan rumput-rumput setinggi betis yang tumbuh liar di sana, membuat suara-suara gesekan halus. Bersamaan dengan itu, tangan si perempuan yang jarinya kebiru-biruan karena menahan dingin, menyentuh pipi laki-laki itu. Menyapunya dengan sentuhan penuh hasrat. Namun juga membius.

Ibu jari laki-laki itu menekan hammer senjata rakitannya sendiri. Bunyi klik, membuat perempuan itu melebarkan seringaiannya.

Kalau memang perempuan itu yang mengharapkan jenazahnya, ia tidak boleh takut. Kalau perempuan itu bisa berbahagia dengan nyawanya yang melayang, ia harus melakukan perintah itu.

Dan bunyi letusan membahana di padang rumput itu.

Perempuan tadi berdiri dengan tubuh kaku, seolah-olah dialah yang mati. Seluruh wajahnya terkena cipratan darah merah yang membuat hidungnya bisa merasakan bau anyar. Dan bersamaan dengan itu, air mukanya berubah drastis. Kakinya perlahan seperti tidak bertulang. Ia pun terjatuh berlutut di depan laki-laki itu. Dengan air mata yang menetes satu-satu.

Friday, November 13, 2009

Kapan Kamu Besar, Nak?

Bola mata wanita itu bergerak awas di dalam bingkai yang digelayuti kantung berwarna kelabu kusam, sesekali memandangi anaknya yang masih tergeletak di sebuah sofa, sesekali pula mengawasi sekeliling. Giginya yang rata dan putih, menyeringai, membentuk senyuman yang sama sekali jauh dari ramah. Satu per satu nada serak dari tenggorokannya mengalir dengan tersendat, mendendangkan lagu nina bobo. Bocah itu tidur. Tenang. Begitu tenang, hingga desahan nafas memburu wanita itu tidak dihiraukannya.

Beberapa kali ia menepuk pantat sang anak dengan begitu lembut penuh keibuan. Dan ia tidak sekali pun beranjak dari sana. Tetap dengan daster batiknya yang terus menempel sejak beberapa hari terakhir. Tapi guratan cantik itu masih bisa terlihat, meskipun wajahnya pucat.

”Kapan kamu besar, Nak?” gumamnya pelan.

Sekali lagi, didendangkannya lagu nina bobo. Ia tidak ingin anaknya terbangun karena ia berhenti menyanyikan lagu tersebut.

”Mama...” suara bocah perempuan yang lain muncul dari balik pintu.

Mata wanita itu langsung liar sebagaimana seekor binatang buas siap menerkam siapa saja yang mengganggu tidurnya, berkilat tajam dan meruncing di sudutnya. Anak itu tersenyum lugu, lalu berhambur masuk dan mendekat sang Bunda. Namun wanita itu segera berlutut di sisi kursi dan menelungkupkan tangan serta kepalanya ke atas kursi—ke atas bocah yang sedang tertidur. Ia berusaha untuk melindunginya, supaya si anak perempuan tidak mengambil adiknya. Aku tidak mau kejadian lalu terulang, gumamnya. Aku tidak ingin anakku jatuh hingga menangis keras gara-gara dia.

Namun, si anak perempuan tidak sadar dengan kesalahan sebelumnya. Dengan tangan kecilnya yang tak seberapa terisi tenaga, ia berusaha menarik Ibunya untuk mau memperlihatkan apa yang sedang disembunyikan sang Ibu. Anak perempuan itu tertawa-tawa kala sang Ibu tetap menolak untuk menyingkir. Baginya ini hanya sebuah permainan.

Ya, ini hanya permainan, bukan? Anakku?

Dengan gerakan kasar, wanita itu mendorong tubuh anak perempuan itu hingga terjerembab ke samping, sedangkan wanita berambut pendek yang berantakan, langsung melesat ke belakang dengan langkah terseok-seok—penuh ketakutan. Anak perempuan itu hampir saja menangis kalau ia tidak menemukan mainan baru yang selama ini disembunyikan Ibunya. Ia sangat menginginkan mainan baru itu. Harta ibunya. Dengan senyum sumringah, anak perempuan tadi mendekati sosok yang sedang terlelap itu.

Ia mengangkat tubuhnya ke atas.

Dengan senyum lebar. Inilah mainan barunya.

Si anak perempuan tampak begitu senang. Hingga tak sadar bahwa ia bisa saja menjatuhkan apa yang ada di tangannya itu. Juga tak sadar bahwa di belakangnya wanita tadi sudah membelalak ketakutan, dengan satu pisau dapur teracung di udara. Matanya melebar, hingga garis-garis ototnya terlihat kemerahan. Ia luar biasa takut. Seakan sedang berada di bawah cekaman seorang pembunuh.

”Jangan sentuh!” serunya galau.

Si anak menoleh kaget, dan kejadian itu kembali terulang.

Tanpa berpikir lagi, wanita itu segera menarik tangan kurus si anak perempuan supaya menjauhi anaknya yang sudah menangis karena terbentur lantai. Di dorongnya tubuh yang hanya setinggi pahanya itu, dan membentur dinding. Si anak perempuan meringis. Dan berujung pada tangisan.

Bising. Sungguh memekakkan telinga.

Wanita itu harus menutup kedua telinganya karena mendengar kedua anaknya menangis. Dan emosi itu pun membuncah, naik ke ubun-ubun. Mendidih, hingga titik tertinggi. Mengendalikan seluruh urat syaraf dan mencegah bergeraknya arus logika.

Tangan wanita itu kembali terangkat, mengacungkan benda tajam berkilau yang dibawanya. Tidak ada perasaan khawatir, bingung, atau bersalah. Yang ada hanyalah luapan emosi yang berbondong-bondong meledak dan mengeluarkan kemarahan yang dasyat.

Tapi ia belum puas.

Tangannya masih bergerak-gerak memainkan pisau, di atas tubuh sang anak. Ia sangat menikmati setiap gerakannya. Memotong bagian ini, lalu meotong bagian itu. Sudah selesai. Wanita itu menjilati darah yang masih menempel di tangannya, sambil menatap sinis bocah yang kini sudah tidak berbeda dengan puzzle.

Pintu menjeblak terbuka.

Seorang lelaki penuh keringat dan nafas satu-satu, muncul di antara daun pintu. Matanya melotot—kaget. Tapi juga panik dan marah.

”Kau gila!” sentaknya.

Wanita itu tak peduli. Ia hanya memikirkan anak dalam pelukannya—masih menangis.

*

Laki-laki itu duduk di samping ranjang, dengan senyum tanpa sinar mata. Ditatapnya anak satu-satunya yang kini terbaring lemah.

”Kapan kamu besar, Nak?” tanyanya datar.

Dibelainya rambut bocah itu.

Ada bau busuk yang mengisi ruangan itu. Kerumunan lalar hijau pun tak jarang mampir ke dalamnya. Tapi laki-laki itu sama sekali tidak terganggu. Ia tetap duduk tenang di sana, sambil menatap anaknya yang sudah nyaris tidak bisa dikenali. Beberapa bagian tubuhnya pun sudah hancur termakan usia. Sesekali laki-laki itu membasuh anaknya yang terbaring.

*

Seorang wanita sedang menggendong bayinya di dalam kamar serba putih. Didendangkan lagu nina bobo, lagu kesukaan anak itu. Kalau ia berhenti, ia takut anaknya akan bangun. Maka ia nyaris tidak pernah berhenti. Kecuali untuk mengajak anaknya bicara, ”kapan kamu besar, Nak?”

”Sudah setahun dia terus saja menyanyikan lagu itu. Tidakkah sadar bahwa anaknya hanyalah boneka?” begitulah orang-orang berbicara mengenai dirinya.

Saturday, November 7, 2009

Kidung Surga Sang Pengantin

Kau…berdiri di sana.

Seperti mimpi, aku menatapmu dari jarak terbentang. Alas beludru berwarna merah darah yang melambangkan kebahagian, siap ku lintasi, hanya demi menggapai sosokmu. Tinggi tegap, tersenyum dengan begitu tulus. Sinar matamu berkata padaku bahwa kau tidak sabar menungguku, berdiri di sampingmu. Untuk selamanya. Dengan janji yang akan mengikat kita, dalam lambang sebuah benda berkilau yang akan kau sematkan pada jari manisku.

Kau dan aku, akan selalu bersama.

Aku menghirup dalam-dalam aroma menyegarkan dari rangkain bunga berwarna-warni dalam genggamanku. Ya, aku tidak sedang bermimpi. Aku bisa mendengar dengan jelas kidung merdu selembut nyanyian surga, bergaung di dalam ruangan bergaya roma itu. Nyanyian indah para malaikat mengiringi langkahku untuk maju. Dengan senyum yang tidak akan bisa luntur, aku melangkah mantap di atas high heels putih bersih yang sangat kau sukai. Aku berjalan di belakang sepasang mungil malaikat cinta, yang sibuk menaburkan kerlap-kerlip cinta kita.

Katamu, aku sangat pantas berdiri dalam rengkuhan atribut serba putih yang menempel di tubuhku. Katamu, aku seperti peri kecil yang dikirim untuk menjagamu dengan kedua sayapku. Dan, katamu, supaya aku menjadi peri kecilmu untuk selamanya.

Aku mengiyakan, waktu itu.

Dan kini, aku masih mendengar suara-suara kidung itu. Menjamah manis telingaku, dan juga telingamu. Menebarkan serpihan manis kebahagiaan, tidak hanya pada kita, tapi juga pada seluruh manusia yang bersedia tersenyum untuk kita. Pada diriku yang merasakan seluruh getar cinta surgawi, inilah hari dimana surga bisa menjadi milik kita, kaum duniawi.

Kau…berdiri di sana. Semakin tampak jelas di mataku.

Tahukah kau, bahwa buket bunga warna-warni dalam genggaman tanganku yang berlapis sarung tipis berbahan spider ini juga memberikan ucapan selamat? Mereka turut berbahagia, hingga warna mereka merekah lebih indah daripada ketika hanya tumbuh di dalam tempatnya, tanah.

Senyumku, senyummu, semakin merekah. Kau menjemput satu tangan yang kuulurkan padamu, dengan begitu lembut. Kau mengajakku untuk bersanding denganmu di atas puncak surga. Hei, mataku nyaris tidak bisa berkedip karena tidak ingin melewatkan satu detik momen penting ini dalam hidupku. Kau benar-benar membiusku, jauh dan semakin jauh.

“Bersediakah kalian menjadi pasangan suami istri untuk selamanya?”

Aku, kau dan seluruh umat manusia seolah-olah menghentikan napas sesaat, hanya untuk menanti sebuah kata ‘iya’ yang meluncur dari mulut kita. Dan kini janji itu sudah tersemat manis di dalam jariku.

Kau dan aku. Bersama selamanya.
Dan aku, tidak akan pernah melepaskanmu.

Monday, November 2, 2009

Piano Dalam Sebuah Lukisan



Ia hanyalah seorang anak perempuan biasa, dengan seulas senyum yang selalu tersaji di wajah manisnya yang bulat kecil. Dan akan selalu tersenyum dalam keheningan meskipun ujung matanya yang sedikit meruncing, mengeluarkan sebuah kristal bening yang tidak kunjung tumpah. Bibirnya akan selalu tertutup rapat, sementara hatinya menjerit meminta sebentuk perhatian kecil atas ketidakmampuan jari-jarinya menari di atas tuts-tuts hitam putih piano.


Ia hanyalah seorang anak kecil, yang mampu memindahkan alam nyata menjadi sebuah bentuk goresan kuas yang begitu indah. Satu-satunya kemampuan yang ia miliki dan juga ia cintai dengan sepenuh hati, tetapi seolah mendapat penolakan dari seseorang yang telah mengirimkannya ke dunia.


Ia tidak mampu menguasai not balok, meskipun otaknya sudah mati-matian bekerja keras mendalami alat musik yang dinilai orang begitu indah lantunan nada-nada suaranya.
Anak kecil itu terdiam memandangi seorang yang seusia dengannya, namun, jari-jari tangan mungil itu mampu bergerak lincah di atas piano dan menghasilkan suara yang memabukkan seorang wanita yang duduk di sisinya. Pandangan wanita itu begitu menyakitkan hati sang anak, tetapi ia tetap tersenyum. Dengan jarak yang terbentang, anak perempuan itu berdiri dari kejauhan hanya untuk merekam semua momen indah itu ke dalam memori otaknya yang penuh. Setelah ia menyimpan setiap detail apa yang dilihatnya, kemudian anak itu kembali memutarnya di dalam alam khayalnya sendiri. Ruang hampa yang tidak akan terjangkau oleh siapapun, dimana ia bisa menjadi segala yang ia harapkan namun tidak terwujud di dalam dunia nyata.


Dan ia begitu menikmati semuanya.


Senyuman Ibunya untuknya.


Tidak ada lagi celaan karena bakat musik yang tidak ada dalam dirinya.


Anak perempuan itu senang.


Beberapa menit saja, cukup baginya untuk meraih semua kenikmatan kosong itu. Kini ia sudah siap menuangkannya ke dalam kanvas kosong, yang seperti lembaran baru dalam hidupnya yang siap ia jalani. Tangannya bergerak dengan lincah, memainkan kuas dan tinta-tinta minyak yang tersedia dalam palet. Matanya dengan jeli mengukir semua kejadian yang telah direkam dalam otaknya.


Ketika sampai pada hasil akhir, anak perempuan itu tersenyum puas. Meski ia bukan pelukis terkenal yang akan mengadakan sebuah pameran, tetapi kali itu ia merasa benar-benar puas dengan kerja kerasnya yang dilalui hanya dalam beberapa jam. Hatinya tidak sedang dalam kondisi baik, tapi mengerjakan lukisan itu, ia seperti tengah mengobati luka hatinya sendiri.
Tidak tahu harus berbuat apa dengan lukisan itu, ia membawa hasil karya yang dianggapnya hasil yang paling baik ke dalam ruangan yang tadi digunakan si pemain piano memamerkan kemampuannya pada Ibu si anak perempuan.


Matanya meneliti seluruh ruangan, namun hanya tertumbuk pada satu tempat. Diletakkan dengan hati-hati lukisan kanvas itu di atas sebuah piano hitam metalik, seolah khawatir kalau-kalau ujung kanvasnya mampu melukai sang piano yang berdiri gagah. Lalu ia pergi membawa senyuman yang sudah ia simpan untuk dirinya sendiri.


Tak berapa lama, sang Ibu masuk dan mendapati lukisan tersebut.


Lama, dipandanginya goresan tangan anak yang ia lahirkan sepuluh tahun yang lalu itu. Ada sesuatu yang seperti berlarian di kepalanya. Momen dalam lukisan itu, wajahnya, dan juga wajah anaknya yang sedang bermain piano, alih-alih wajah si pemain piano yang bukanlah anak kandungnya.


Tiba-tiba air matanya meleleh.


Dan wanita itu sadar bahwa anaknya sampai kapan pun tidak akan mampu mewujudkan obsesinya untuk bisa menjadi pianis. Anak perempuannya telah menentukan jalan dengan pikirannya sendiri. Yaitu menjadi seorang pelukis, bukan pemain piano.

Monday, October 26, 2009

Bulan di Ujung Labirin

Paras wanita itu pucat, terlukis dalam sebentuk wajah oval. Matanya yang bulat dan dinaungi bulu mata lentik, tidak menampakkan sinar kehidupan, telah reduplah semangat untuk bisa memikirkan kejutan apa yang akan menanti di hidupnya esok, tengah memandang hampa ke satu-satunya ventilasi yang ada di ruang tersebut. Dia seperti boneka mati yang teronggok terlupakan di sana. Di ruangan persegi yang sempit, dengan keempat sisi berupa dinding bambu reyot yang lapuk, dipenuhi udara pengap dan angin memain-mainkan sekumpulan titik debu hingga menari di udara.

Bagaimanakah rasanya menjadi seekor burung?

Hanya itu yang selalu melintas di benak yang saraf-saraf otaknya telah rusak karena terlalu lama dikubur dalam kehampaan yang begitu lama. Lima belas tahun. Terpasung. Dalam ruangan dingin.

Sang kakak, seorang laki-laki yang dikenal wanita itu sebagai seorang pangeran yang baik hati karena hanya dialah yang selalu mengantarkan makanan untuknya, selalu berdenyut hatinya ketika melihat keadaan adik satu-satunya. Kasihan. Namun, adiknya itu selalu dianggap gila oleh orangtuanya hingga berujunglah pada keputusan pemasungan tersebut. Padahal wanita itu tidak gila. Jiwanya hanya terperangkap dalam dunia kosong, sehingga selalu merasa ketakutan dan akan panik begitu melihat orang banyak, sehingga timbullah penyerangan-penyarangan kecil terhadap orang sekitar. Hanya karena dia takut, lalu berusaha melindungi diri sendiri. Namun hal ini justru memicu rasa malu orangtuanya karena ulah wanita itu yang sejak kecil selalu membuat para tetangga merasa was-was.

Tetapi ada satu keputusan lain yang dibuat sepihak oleh sang kakak laki-laki. Pria berusia dua puluh delapan tahun yang rela tidak menikah karena pandangan miring mengenai adiknya itu memastikan kalau di hari ulang tahun adiknya yang ke-25, dia akan mendapat sebuah kejutan yang tidak akan pernah dia duga. Kejutan yang bahkan tidak pernah datang, karena bagi wanita itu, harinya seperti sebuah ruang hampa. Hatinya pun sama. Tidak pernah ada sejumput harapan tersempil di kepalanya.

Subuh menjalang. Sang adik masih terlelap dalam mimpi yang entah apa isinya, sementara sang kakak diam-diam membuka pengunci rantai besi yang melilit di pangkal kakinya yang kecil. Digendongnya tubuh mungil itu ke punggung si pria. Pelan-pelan sekali, hingga nyaris tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan sang adik dari dunia bunga tidur. Tubuh itu terasa ringan, hingga sang kakak yakin, berapa jauh pun melangkah, dia akan sanggup menopangnya.

Kaki panjang dan berotot kokoh itu terus melangkah, melewati pematangan sawah yang licin, sungai-sungai kecil, hingga sampailah mereka pada sebuah padang rumput yang luas. Banyak sekali bunga buntut kucing yang menari dengan gemulai karena tertiup angin segar pagi hari. Semburat keunguan gradasi dari biru pekat mulai tampak di langit, menggantikan kegelapan yang diterangi oleh sang putri malam. Dengan lembut ditepuknya pipi sang wanita yang masih tenang di pundak pria itu.

Mata itu bergerak berat. Namun udara lembut yang membelai setiap kulit wanita itu, akhirnya ikut membuat wanita itu benar-benar terjaga dari tidur lelapnya. Sekali lagi matanya mengerjap, ketika kepalanya terangkat dan biji mata berbentuk almond itu menangkap siluet keindahan alam yang tidak pernah dia temukan dalam hidupnya. Bibir yang tidak meluncurkan kata-kata itu, tertarik ke samping kanan dan kiri. Senyum lebarnya, memamerkan gigi yang berantakan dan agak kekuningan. Matanya…mata kosong itu kini memancarkan satu percikan cahaya gairah kehidupan yang tidak pernah tampak. Pesonanya lumer bersama dengan mlai munculnya matahari di ufuk barat.

Dan dia hidup.

Direntangkan kedua tangannya seperti seorang burung yang siap terbang, dihirup dalam-dalam aroma kebebasan yang ada di hadapannya itu. Dia menengadahkan kepala. Sekelompok burung tampak berenang di langit, mengepakkan sayap dengan semangat.

Kini, wanita itu mulai memahami menjadi seekor burung.

Saturday, October 24, 2009

Surat Untuk Seseorang (Dalam Kenangan)

SURAT UNTUK SESEORANG DALAM KENANGAN

Ketika aku menyadarinya, semua sudah terlambat. Dan setiap detik yang kulalui, penyesalan itu terasa menyesakkan.
Berjuta kata maaf, apakah sanggup membuatmu memaafkanku?

Kebodohanku, adalah melepasmu.
Tapi aku bukan keledai yang akan mengulang kesalahan yang sama. Ketika perasaan itu kembali datang, bolehkah aku mengulang semuanya sekali lagi?

Rasanya aneh. Aku begitu naïf telah menyangkal perasaanku sendiri. Mati-matian berkata tidak, sementara hati begitu menginginkanmu kembali untukku.
Bolehkah kamu menemani hari-hariku lagi? Bolehkah kamu yang menjadi bayangan di saat aku berjalan tegak maupun di saat aku jatuh? Bolehkah hanya kamu yang menopang diriku?

Jika satu bulir air mata ini jatuh, semua karena usahaku menahan rasa cinta yang ingin kusampaikan, namun tak kunjung terucap karena ketidakmampuanku.
Jika satu senyuman ini mengembang, semua karena teringat akan kebersamaan denganmu.

Karena itu, bisakah kita bersama lagi? Selamanya.

Yang selalu menantimu.

Friday, September 25, 2009

Kisah Sepasang Mata bag 1

By : Clara

Keterangan
Noona: panggilan cowok yang lebih muda untuk cewek yang lebih tua


PROLOG

Katamu, bagaimana kebebasan itu?

Dia mengepalkan tangan dengan sangat kuat. Hingga buku-buku jarinya terasa perih dan memerah. Ujung-ujung kukunya pun menancap kuat di telapak tangan. Otot-ototnya turut menegang. Seolah semua emosi dan tenaga mengalir ke satu titik.

Apapun, dia bersumpah, akan dilakukan demi terbebas dari himpitan yang telah menekan setiap aliran darahnya. Bahkan menekan hampir setiap detak jantung dan napas.

Dan saat kebebasan itu hampir menyapa, bukan keinginannya untuk berlalu dari semua itu. Keadaan mendesaknya. Begitu kuat, hingga kepalanya terasa sakit. Bahkan tidak ada lagi akal sehat yang bisa membantunya berpikir dua kali dalam membuat keputusan. Tidak ada yang akan menghalanginya.

Dia sudah bersumpah.

Ketika sebuah kesalahan itu terjadi, keterpurukannya ternyata mampu membawa kepada dua hal : kebebasan dan kebahagiaan orang itu.

Dalam kekalutan yang bahkan uang pun tidak mampu membayarnya, dia berlari seperti orang kesurupan. Dia membiarkan keremangan malam merayapi kesendiriannya, dia juga membiarkan angin malam yang menerpa wajah, mampu membawa pergi seluruh penderitaannya.

Tapi dia tau, bukan angin malam yang akan menghapus semua sakitnya.

Lalu, dengan wajah memelas, dia hanya bisa memohon pada laki-laki itu. Dia hanya bisa berharap kalau laki-laki itu bersedia membantunya. Meski semua telah diaturnya.

Separuh sudut bibirnya terangkat, menghadirkan senyum penuh misteri. Antara kesedihan dan kebahagiaan yang begitu tipis. Tapi dia sungguh berterima kasih pada orang itu.

Dan kini, aku tau apa arti bebas yang sesungguhnya….

****

Kaki berlapis sepatu sport yang sudah kusam itu, berhenti mendadak di depan sebuah rumah yang tampak tidak terawat. Mata sipitnya memicing kala menatap bangunan di hadapannya - menghadirkan sebuah sorot keengganan.

Laki-laki itu menelan ludah. Pahit.

Seandainya ada pilihan lain, tentu dia tak ingin kakinya bergerak memasuki rumah tersebut. Rumah kecil yang bahkan halamannya begitu kotor dengan timbunan daun-daun kering. Sejenak langkahnya kembali tertahan, saat dia menangkap suara-suara tawa ringan dari dalam ruangan. Namun, berpura-pura tidak menyadari apa yang sedang terjadi, dia melangkahkan kaki ke dalam ruangan.

“Hei! Hong Gi!!” seru seorang wanita dengan begitu tajam.

Dengan malas, cowok bernama Hong Gi itu menolehkan kepalanya. Tapi ekspresinya datar dan cenderung dingin. Tidak ada kata-kata yang meluncur dari bibir tipisnya.

“Hei…kenapa kau?! Apa kau bahkan tidak mau menyapa Ibumu sendiri? Apa aku tidak pernah mengajarimu sopan santun?” sindir wanita itu sambil melirik penuh maksud ke arah seorang pria tengah baya di sebelahnya. “Dia yang akan jadi Ayahmu…! Setidaknya….”

“Tak usah belagak pernah mengajariku,” potong Hong Gi acuh.

Hong Gi baru saja hendak melangkah ketika paras wanita yang penuh dengan bedak dan gincu itu memerah karena marah. “Hei!! Anak sial kau!! Jangan harap aku sudi mengakuimu sebagai anak!” Wanita itu hampir saja bertindak seolah kesetanan, seandainya pria tadi tidak mencegahnya. Sementara Hong Gi, berlalu tanpa merasa bersalah.

Baru saja Hong Gi melewati kamar kakak perempuannya, sudut matanya menangkap sesuatu. Hal yang membuat kepala Hong Gi tak tahan untuk menyembul dari balik pintu. Yang akhirnya menyentakkan dirinya hingga ke titik paling bawah. Kebencian.

Si Nae, kakak satu-satunya yang sangat Hong Gi sayang, saat itu sedang meringkuk di sudut ruangan. Wajahnya putih pucat, rambut panjang hitamnya berantakan, dan dia tampak menikmati setiap suntikan yang menembus kulit mulusnya.

Tubuh Hong Gi seakan menegang. Matanya terbelalak hingga terasa perih. Rahangnya pun bergemeletuk menahan emosi yang merayap di seluruh tubuhnya. Dia mengepalkan tangan kuat-kuat, hingga buku-buku jarinya sakit dan kukunya menancap di telapak. Napasnya mendadak tersengal, seakan-akan baru saja menahan napas untuk beberapa menit.

Tergesa-gesa, Hong Gi segera keluar rumah melalui pintu samping dan melompati pagar yang cukup tinggi. Kemudian, Hong Gi berlari. Terus berlari hingga keringat mengucur dan jantungnya berdetak begitu kuat. HIngga Hong Gi merasa seluruh tenaganya habis.

Dan dia berhenti di sebuah pantai.

Hong Gi mengatur napasnya. Mengatur detak jantungnya. Pundaknya naik turun karena kelelahan dan paru-parunya sedang memompa udara lebih banyak untuk bisa bernapas normal. Setelah cukup tenang, Hong Gi menatap ujung laut. Tangannya masih mengepal. Perkiraannya salah. Emosi Hong Gi belumlah hilang. Karena itu Hong Gi berteriak seperti orang kesetanan, memaki-maki dalam gumaman tak jelas, dan kakinya bergerak seperti menendang sesuatu ke segala penjuru.

Kalau boleh ku katakan, sungguh aku membenci kalian. Apakah kalian pantas ku sebut keluarga?

****

Kini, saat malam tengah merayap, langkah Hong Gi terseok seperti tidak tentu arah. Otaknya memerintahkan, kemana saja, asal tidak kembali lagi ke rumah. Paling tidak untuk saat itu. Selebihnya, kepala Hong Gi sama sekali tidak mau berpikir. Sudah cukup otaknya berdenyut kesakitan karena dipaksa bekerja begitu keras. Membuat Hong Gi tampak seperti zombie yang sedang bergerak. Pandangan matanya sayu dan tidak ada semangat.

Hingga akhirnya, kaki itu kembali berhenti. Namun kali ini di depan sebuah undakan di dalam lorong kecil, yang menuju ke sebuah gerbang kayu dimana sebuah rumah mungil yang sangat tradisional berdiri kokoh. Hanya ini satu-satunya harapan. Hanya dia. Hong Gi sungguh tak tau lagi harus berharap pada siapa.

Tapi, begitu buku-buku tangannya beradu dengan gerbang kayu, Hong Gi mengurungkan niat. Dia menatap ujung sepatunya dan mendesah.

Karena, entah kenapa, saat itu aku merasa begitu malu bertemu denganmu….

Berikutnya, Hong Gi memilih untuk duduk di undakan ke dua. Disenderkan kepalanya ke sisi lorong batu. Tampak begitu pucat dan putus asa.

“Hong Gi?” suara itu bagai sangkakala yang bergema merdu. Sungguh, Hong Gi begitu senang bisa mendengarnya. Meski terasa berlebihan pun, Hong Gi tidak mau peduli. Yang dia peduli hanyalah suara itu. Suara lembut yang bayangan pemiliknya terasa semakin mendekat.

Hong Gi mengangkat kepalanya. Wajah datar itu, sedikit banyak menampakkan reaksi penuh syukur.

“Apa yang kau lakukan?”

Hong Gi tak kuasa melemaskan otot wajahnya. Bagai bertemu seorang peri, ingin sekali Hong Gi menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. “Noona…Boa noona…” suara seraknya hilang timbul karena udara dingin yang menusuk.

“Hong Gi…” perempuan bernama Boa itu sepertinya langsung sadar apa yang sedang terjadi, hanya dengan melihat ekspresi Hong Gi. “Bukankah di sini dingin?”

“Noona…” Hong Gi bangkit berdiri. Tanpa banyak kata lagi, dia langsung menarik tubuh Boa hingga menabrak dadanya yang bidang. Dipeluknya kuat-kuat perempuan di hadapannya itu, sesuai dengan keinginannya.

Boa tidak berani bergerak. Dia mengerti apa yang terjadi. Karena itu dia membiarkan tubuh besar itu mendekapnya.

Kau tau? Aku selalu suka memelukmu. Karena aku suka mencium aroma rambutmu….

****

Kalaupun akhirnya Hong Gi harus kembali merepotkan Boa dengan menginap di rumahnya, bukan berarti bahwa Boa harus menyiapkan sarapan untuknya. Kebalikan dengan itu, Hong Gi justru sengaja bangun pagi-pagi buta untuk membelikan sarapan dan menyiapkannya untuk Noona.

Dua buah roti isi kacang merah dan dua gelas susu hangat, berkumpul menjadi satu dalam sebuah kantong plastik, yang kini sedang bergelayut di tangan Hong Gi. Memang bukan makanan mahal, tapi Hong Gi tau, Noonanya itu sangat menyukai roti isi kacang merah. Karenanya, meski Hong Gi tidak begitu suka kacang merah, dia tetap memilih menu yang sama.

Harapan bahwa Boa akan menikmati sarapan bersama dengannya, mendadak sirna begitu Hong Gi melintasi pinggir jalan, yang merupakan arah menuju rumah Boa.

Di hadapannya -perempuan yang di mata Hong Gi memiliki aura yang hampir mirip dengan SI Nae, kakaknya- sedang bersama laki-laki lain. Dan orang itu adalah Jong Hoon, seseorang yang selama ini selalu dianggap musuh oleh Hong Gi.

Darah Hong Gi mendidih, ketika melihat Boa menarik tangan Jong Hoon yang hendak berbalik dan saat laki-laki itu menghentikan langkahnya, Boa langsung merangkul punggungnya.

Dan kali ini kemarahan Hong Gi langsung meledak. Dijatuhkannya kantung berisi makanan itu, sebelum akhirnya dia menghampiri Jong Hoon dan dengan membabi buta memukuli laki-laki itu. Hong Gi seperti kerasukan sesuatu. Dia terus saja menghadiahkan tinju pada Jong Hoon yang kewalahan karena mendapat serangan mendadak. Sementara di belakang sana, Boa menjerit histeris dan sedikit panik. Berharap pertolongan orang-orang di sekitar yang mulai ramai menonton, namuan tidak satu pun yang berusaha melerai.

“Hong Gi!! Hentikan!” jerit Boa. “Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini sungguh bukan salah Jong Hoon….”

Tangan Boa bergerak-gerak di udara, seperti sedang menangkap angin, padahal dia ingin menarik Hong Gi dan menyingkirkan anak itu dari Jong Hoon.

“Hong Gi….”

Namun, berkali-kali pun Boa memanggil, berkali-kali pula suara merdu itu terabaikan. HIngga akhirnya, ketika Boa berhasil menarik baju Hong Gi, laki-laki itu malah menyodorkan sikunya ke dada Boa dan membuat perempuan itu terpental ke belakang. Boa meringis nyeri. Namun, kakinya terserimpat dan menyebabkan Boa kehilangan keseimbangan.

Semuanya sungguh terjadi dengan begitu cepat. Tidak ada yang menyadari antara Hong Gi dan Jong Hoon, kecuali orang-orang yang ada di sekitar.

Suara itu begitu keras. Seperti sesuatu yang terhantam besi.

Dan begitu Hong Gi menoleh, semuanya sudah terlambat.

****

“Dia buta.”

Begitulah kata dokter yang menangani Boa. Dua kata yang langsung membuat Hong Gi dan Jong Hoon yang mendengarnya, seakan membeku.

“Hanya ada satu cara, yaitu operasi apabila ada pendonor mata yang bersedia menyumbangkan mata untuk gadis itu,” kata pria berjas putih itu lagi. “Sayang, hanya orang yang sudah meninggal yang bisa menyumbangkan dan biayanya akan sangat mahal.”

Noona, apakah kau bisa memaafkanku, noona?

Lalu dokter itu berlalu. Meninggalkan kedua remaja yang tampak sebaya dalam kekalutan pikiran masing-masing.