“Menurutmu, gaun pengantin ini bagus?”
Aku kembali mematut diriku yang ada di cermin. Meski dengan wajah polos yang hanya berlapis bedak tipis dan rambut panjang yang dijepit asal, tapi mataku mampu menangkap ada sesuatu yang berbeda saat mengenakan gaun putih bersih yang memamerkan kedua bahu jenjangku ini. Rasa bangga seketika itu juga menyelinap masuk ke dalam tiap rongga dadaku. Angan yang senantiasa ku bangun sejak memulai hubungan dengannya, seperti tengah menanti di pelupuk mata. Rasanya, ingin sekali aku berteriak bahwa aku akan menikah. Dan taukah dunia, siapa perancang pakaian pengantinnya?
Aku sendiri.
”Wow,” sahutnya dengan sorot mata yang menyiratkan kebahagiaan sekaligus sebuah kekaguman. Seulas senyum terlukis di bibir tipisnya. ”Sungguh, kamu cantik banget!”
Aku berdecak ke arahnya, menyimpan semua perasaan malu mendapat pujian semacam itu dari laki-laki yang sudah setahun ini menjadi kekasihku. Dan akan menjadi suamiku—kelak.
”Kamu bisanya gombal,” celetukku sambil kembali memandangi gaun hasil kerja kerasku selama beberapa bulan itu.
Dia tertawa. Tawa yang membuat sudut matanya berkerut. Tawa yang selalu melukiskan kejenakaannya. Tawa yang selalu menggetarkan hatiku. Tawa yang membuatku jatuh cinta padanya.
”’Than, aku bener-bener bahagia,” kataku sambil memandang ke arah mata Ethan melalui pantulan kaca. ”Aku bener-bener bahagia karena akan menikah denganmu.”
Dia....
hanya terdiam. Sementara aku, mencoba membaca hatinya, melalui senyuman penuh makna itu.
Namun, terlalu dalam.
Pelataran Gereja.
Siang hari...
Air mata itu tumpah lagi. Untuk kesekian kalinya.
Aku sudah tidak tau bagaimana kondisi dandananku saat ini. Yang pasti sangat berantakan. Aku tau itu. Tapi aku tidak bisa mengendalikan air mata ini. Aku tidak bisa menghentikan otakku yang terus menendangku kembali pada masa-masa bersama laki-laki brengsek itu.
Aku hanya seperti sebuah pena yang ketika tintanya habis hanya tinggal menjadi sampah!
Laki-laki itu brengsek!
Dan aku teramat bodoh. Seharusnya aku menyadari sikapnya. Seharusnya aku menyadari keberadaan satu-satunya wanita di hatinya. Dan seharusnya aku tau bahwa wanita itu bukan aku. Tapi dia. Perempuan yang sekarang berada bermeter-meter dari tempatku sekarang mengasihani diri sendiri, sedang berdiri di samping laki-laki yang kucintai, dan tersenyum bahagia.
Hatiku kembali merasakan sakit itu. Sakit yang begitu menyiksa, bahkan membuatku harus menekan kuat-kuat ke arah dada. Sakit ini bahkan menjalar ke seluruh tubuh. Membuat tenggorokanku tercekat. Juga membuatk kesulitan bernapas. Dan mata ini, terlalu pedih untuk bisa meneteskan air mata lagi.
Tidak hanya dicampakkan, tapi hakku sebagai seorang designer pun seperti dikoyak.
Ya. Gaun pengantin itu.
Seharusnya. Milikku.
Aw aw aw... Akhirnya dibuat part 2-nya :D
ReplyDeleteseperti biasa, sangat menyentuh
mbacanya sambil berkaca2 *_*
lanjutkan ke part 3-nya ya, Clara ^^
aku penasaran sama akhir ceritanya, apakah happy ending atau sebaliknya hmmmm hanya Clara yang tau :)
ReplyDeletedatarr...........
ReplyDeletebacanya pake hati deh.... beuh!!! unbelievable...
ReplyDelete@Mocca_chi: Wkwkwkwkw... kayaknya komen kamu itu terlalu singkat dan terlalu tajam, Chi. *geleng-geleng kepala*
ReplyDelete@Kurara: Wah, jadi ini lanjutannya tho. Tapi, feelnya agak berbeda dari yang pertama. Jadi seperti perulangan cerita dari sudut pandang yang berbeda. Tapi aku mulai meraba-raba cara kamu bercerita di sini, Kurara. Sepertinya ada maksud tersembunyi, semacam kejutan dalam teknik bercerita kamu. Benar kan? Aku tunggu aja deh "Her Wedding Dress" Part 3-nya :)
malam nian yah nasibnya
ReplyDeletesayang kelewat bag I nya...
ReplyDeletetp baca ini aja udah cukup buat katakan: "Kamu berbakat, Clara!!"
ada part 1 nya juga ya,heh
ReplyDeletemampir bentar mbak...
aku bingung mbak.... kayaknya episode kedua belum bisa menjelaskan pertanyaan dipikiranku... mungkin harus ada episode tiga?
ReplyDeleteclara ada kado untukmu diblogku, ambil yaaa kalau dah liburannya :)
ReplyDelete