Sunday, December 27, 2009

Her Wedding Dress part 3

Menurut orang, butikku ini cukup sukses. Aku bersyukur untuk semua itu. Mungkin memang banyak orang yang menaruh minat terhadap design yang lahir dari jemari yang memeluk pensil ini dan kemudian menuangkan sebentuk bayangan dalam kepala, pada sebuah kertas putih. Dan itu memang keahlianku. Juga kesibukanku hampir sepanjang hari.

Berada di dalam ruangan, berpikir mengenai potongan-potongan baju yang sedang trend, memperhatikan fashion, kembali membuat sketsa, berpikir mengenai bahan berkualitas baik dan juga membuat sebuah contoh pada patung. Kehidupanku hampir selalu berkutat dalam rutinitas yang sama. Hanya dia—Ethan, yang membuat putaran hidup itu terasa lebih bergairah.

Hari ini, aku sengaja mempersingkat waktu kerjaku. Alasannya? Ethan. Dia. Laki-laki itu. Aku akan dinner dengannya. Dia setuju.

Aku menutup buku yang penuh dengan sketsa baju-baju yang akan segera dimulai pengerjaan jahitnya. Tanganku merogoh tas dan meraih beberapa poto yang sudah kucetak dan rencana akan kuberikan padanya saat makan malam. Poto kami berdua. Kemarin, saat fitting. Kami berpura-pura latihan untuk pernikahan.

Ah, itu sepertinya dia datang! Suara langkah sepatu terdengar semakin mendekat. Buru-buru kumasukkan kembali tumpukan poto itu ke dalam tas. Namun, belum baru saja aku akan bergerak keluar dari balik meja, dia sudah lebih dulu muncul dari balik pintu.

Senyumku melebar.
Begitu cepat.
Secepat saat senyum itu kembali pudar.

Sesosok perempuan muncul dari balik punggungnya. Dengan mesra dia menggandeng lengannya. Satu reaksi pertamaku : bingung! Lalu berangsur jantungku berdegup. Apa-apaan ini? Apa sedang dalam permainan April’s mop? Tapi aku mengingat-ingat, saat itu bahkan bukan bulan April!

”Aku nggak bisa menikah denganmu.” Suaranya segera memecah keheningan yang seperti membuat lorong kematian. ”Aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku lebih mencintainya.”

Aku selalu bersahabat dengan kejujuran. Sungguh, tapi saat itu entah kenapa aku mendadak menjadi musuh besar sebuah kejujuran. Aku benci. Aku ingin muntah. Aku ingin berteriak. Dan semua itu kutujukan untuknya. Dan juga dia—perempuan itu.

Tapi apa yang bisa kulakukan? Hanya menangis.
Semua makian itu tertelan.
Semua kebencian itu hanya menjadi pengiring tangisku.
Dan rasa sakit hati yang akhirnya menjalar di sekujur tubuh, akhirnya malah mengekang suaraku untuk keluar.

Tamparan tidak akan mengembalikan semua keadaan.
Permohonanku pun hanya semakin merendahkan harga diriku.

Hanya satu hal akhirnya kulakukan.
Aku beranjak dari hadapan dua orang yang sangat kubenci itu. Menanggalkan segala pertanyaan kenapa yang hanya dijawab olehnya dengan begitu semu. Membiarkan semua kebencian membuntut di belakang dan sakit hati terus menjadi benalu di hatiku.

Hingga kini.

Dan hingga kini, poto itu hanya bisa menjadi saksi bisu anganku yang sudah pupus.

Satu air mata kembali mengalir saat aku menatap senyum kami berdua yang terekam oleh jepretan lensa. Senyum yang akan selalu abadi di atas hati yang sudah retak. Senyum yang selalu abadi mengisi harapan kosong yang tidak pernah terwujud.

Perlahan, aku melempar poto itu ke dalam kobaran api yang langsung melahapnya dengan ganas.

Thursday, December 24, 2009

Her Wedding Dress part 2

“Menurutmu, gaun pengantin ini bagus?”

Aku kembali mematut diriku yang ada di cermin. Meski dengan wajah polos yang hanya berlapis bedak tipis dan rambut panjang yang dijepit asal, tapi mataku mampu menangkap ada sesuatu yang berbeda saat mengenakan gaun putih bersih yang memamerkan kedua bahu jenjangku ini. Rasa bangga seketika itu juga menyelinap masuk ke dalam tiap rongga dadaku. Angan yang senantiasa ku bangun sejak memulai hubungan dengannya, seperti tengah menanti di pelupuk mata. Rasanya, ingin sekali aku berteriak bahwa aku akan menikah. Dan taukah dunia, siapa perancang pakaian pengantinnya?

Aku sendiri.

”Wow,” sahutnya dengan sorot mata yang menyiratkan kebahagiaan sekaligus sebuah kekaguman. Seulas senyum terlukis di bibir tipisnya. ”Sungguh, kamu cantik banget!”

Aku berdecak ke arahnya, menyimpan semua perasaan malu mendapat pujian semacam itu dari laki-laki yang sudah setahun ini menjadi kekasihku. Dan akan menjadi suamiku—kelak.

”Kamu bisanya gombal,” celetukku sambil kembali memandangi gaun hasil kerja kerasku selama beberapa bulan itu.

Dia tertawa. Tawa yang membuat sudut matanya berkerut. Tawa yang selalu melukiskan kejenakaannya. Tawa yang selalu menggetarkan hatiku. Tawa yang membuatku jatuh cinta padanya.

”’Than, aku bener-bener bahagia,” kataku sambil memandang ke arah mata Ethan melalui pantulan kaca. ”Aku bener-bener bahagia karena akan menikah denganmu.”

Dia....

hanya terdiam. Sementara aku, mencoba membaca hatinya, melalui senyuman penuh makna itu.

Namun, terlalu dalam.

Pelataran Gereja.

Siang hari...

Air mata itu tumpah lagi. Untuk kesekian kalinya.

Aku sudah tidak tau bagaimana kondisi dandananku saat ini. Yang pasti sangat berantakan. Aku tau itu. Tapi aku tidak bisa mengendalikan air mata ini. Aku tidak bisa menghentikan otakku yang terus menendangku kembali pada masa-masa bersama laki-laki brengsek itu.

Aku hanya seperti sebuah pena yang ketika tintanya habis hanya tinggal menjadi sampah!

Laki-laki itu brengsek!

Dan aku teramat bodoh. Seharusnya aku menyadari sikapnya. Seharusnya aku menyadari keberadaan satu-satunya wanita di hatinya. Dan seharusnya aku tau bahwa wanita itu bukan aku. Tapi dia. Perempuan yang sekarang berada bermeter-meter dari tempatku sekarang mengasihani diri sendiri, sedang berdiri di samping laki-laki yang kucintai, dan tersenyum bahagia.

Hatiku kembali merasakan sakit itu. Sakit yang begitu menyiksa, bahkan membuatku harus menekan kuat-kuat ke arah dada. Sakit ini bahkan menjalar ke seluruh tubuh. Membuat tenggorokanku tercekat. Juga membuatk kesulitan bernapas. Dan mata ini, terlalu pedih untuk bisa meneteskan air mata lagi.

Tidak hanya dicampakkan, tapi hakku sebagai seorang designer pun seperti dikoyak.

Ya. Gaun pengantin itu.

Seharusnya. Milikku.

Tuesday, December 22, 2009

Bunda dan Seragam Anyin

Gadis kecil itu gugup. Di satu tangannya, dia memegang sehelai seragam putih yang sudah pudar warnanya. Dengan langkah pelan, hingga tidak menimbulkan bunyi, Anyin--gadis kecil itu, mendekati Bunda yang sedang melipat pakaian kering di ruang tamu rumah kecil mereka.



"Bun," panggil Anyin dengan suara kecil. Jantungnya berdegup kencang.



Bunda pun menghentikan pekerjaannya sejenak. Dengan tatapan sedikit jengah, Bunda menoleh. "Kenapa, Nyin?" tanyanya.



Anyin mengulurkan seragam yang sedari tadi hanya berada di dalam pegangannya. Bunda mengernyitkan kening, namun hanya bergeming. "Seragam Anyin, Bun. Sudah terlalu lusuh dan kuning warnanya. Anyin malu pakenya. Soalnya temen-temen Anyin banyak yang ngeledek Anyin di sekolah," jelasnya agak takut.



Bunda masih terdiam dengan pandangan yang kali ini turun ke atas seragam di tangan Anyin itu. Wajah letihnya semakin memperjelas kerut-kerut tua di bagian kening dan sudut matanya.



"Mau bagaimana lagi, Nyin," sahut Bunda setelah menghela napas. Bunda kembali bekerja. "Bunda nggak punya uang untuk beli seragam baru. Lagipula, dibeli berapa kalipun seragam mu akan tetap terlihat kuning. Yang salah air yang kita gunakan. Sudah dari sananya berwarna kekuningan."



Anyin mengatupkan bibirnya. Dia ingin sekali bicara, bahwa seragam adiknya masih bisa terlihat bagus. Paling tidak, tidak berwarna kuning seperti kepunyaannya. Seragam adiknya mendapat perlakuan khusus dari sang Bunda. Setiap saat, Bunda selalu mencuci seragam adiknya dengan air yang mereka beli khusus untuk dimasak sebagai minuman karena jelas mereka tidak mungkin menggunakan air keran yang berwarna kekuningan itu untuk minum. Sehingga sampai kini pun, seragam adiknya masih tampak bersih.



Anyin menelan semua protesannya itu ketika melihat keletihan di wajah Bunda. Dengan hati yang kecewa, Anyin memilih kembali ke kamar. Berpikir, bagaimana dia bisa mendapatkan seragam baru.



*



Secara diam-diam, Anyin membantu Ibu kantin sekolahnya untuk bersih-bersih kantin selama beberapa hari. Dari pekerjaan itulah, Anyin mendapatkan sedikit uang yang dia kumpulkan hingga paling tidak cukup untuk membeli seragam seharga lima puluh ribu. Dengan dorongan untuk menepis semua rasa malu yang diterimanya dari hinaan kawan-kawan sekolahnya, Anyin pun segera bergerak menuju pertokoan yang menjual seragam. Dia harus membeli seragam itu, supaya tidak ada satu pun orang yang menghinanya lagi.



Hatinya kini dipenuhi semangat yang menggebu-gebu. Bayangan Bundanya yang bangga akan hasil jerih payah Anyin berusaha mendapatkan uang untuk membeli seragam baru, bayangan teman-temannya yang akan tutup mulut saat Anyin menggunakan seragam baru, dan juga bayangan si adik bahwa Anyin juga bisa memiliki seragam sebagus kepunyaannya. Namun, semua bayangan itu luntur, ketika Anyin melintasi sebuah toko perhiasan.



"Bunda ingin sekali punya perhiasan. Kalau sewaktu-waktu kita butuh, kita bisa jual perhiasan itu. Jadi nggak perlu lagi ada kesulitan ekonomi seperti sekarang. Emas itu kan harganya terus naik."

Kata-kata Bunda dulu, terngiang di telinga Anyin. Kata-kata dengungan dalam kepala yang akhirnya membuat Anyin justru melangkah masuk ke dalam toko perhiasan itu.



"Anyin mau beli perhiasan," kata Anyin pada seorang penjaga toko. "Tapi...Anyin hanya punya uang segini." Dikeluarkan semua harta bendanya itu dari saku seragamnya. Semuanya hanya berjumlah lima puluh lima ribu saja.



"Wah kalau segini nggak bisa beli apa-apa, dik." Penjaga toko itu berpikir sejenak. "Tapi kalau adik mau yang imitasi, bisa dapet, nih."



Lalu penjaga toko itu menyodorkan sebuah kalung perak berbandul hati yang tampak sama berkilaunya tapi tentu saja berbeda jauh kualitasnya. Anyin langsung menyukai kalung tersebut. Dia tidak mengerti dengan imitasi atau bukan, tapi dia suka kalung itu. Dan Anyin hanya berpikir bahwa Bunda pasti akan menyukainya.



*



Entah kenapa pada akhirnya Anyin memilih untuk menggunakan uangnya bukan untuk membeli seragam. Anyin sendiri tidak tau. Dia hanya memikirkan Bunda, meskipun perlakuan Bunda terhadapnya sedikit tidak adil. Tapi Anyin tau, Anyin sangat sayang pada Bunda. Dan Anyin juga tau, pengorbanannya tidak sia-sia.



Anyin kehilangan seragam impiannya, namun Anyin tidak akan pernah kehilangan senyum Bunda yang terekam dalam memori hatinya.











Note:


Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika terjadi kesamaan nama tokoh, adalah kesengajaan penulis yang ingin berterima kasih kepada ANYIN atau pemilik dari Nindalicious yang kini blognya juga kekuningan (hihihihi...) atas AWARD yang diberikan untuk blog cerpen. Pesannya supaya saya semangat menulis lagi. Karena itu juga, saya sudah berencana untuk membuat lanjutan dari Her Wedding Dress. Mudah-mudahan nggak terganggu sama penyakit andalan saya : moody. Hehehe... (kepikiran besok buat blog namanya moodilicious kali ye :P *dijitak Anyin)





Dan terakhir, pesan dari author

Selamat Hari Ibu

Sunday, December 13, 2009

Her Wedding Dress

Aneh. Biasanya aku bisa berjalan dengan tegak dan kaki yang kuat menunjang tubuhku di dalam stiletto putih ini. Namun, hari ini aku tidak seperti itu. Dengan jantung yang terus berdegup kencang karena gugup, aku melangkah masuk ke dalam sebuah gereja tua.

Kuedarkan pandangan melihat seluruh tamu yang sudah duduk rapih di sana. Mungkin, hanya aku yang sendiri, berdiri di sini dengan hati yang kacau dan mata bengkak yang sudah kulapisi counselor lebih banyak dari biasanya. Kebimbangan menyergapku, hingga aku masih bergeming di pintu gereja. Sementara mataku terpaku lurus pada altar yang tertata rapih penuh bunga di ujung sana. Aku menundukkan kepala. Aku ingin memutar tubuhku, tapi semuanya mendadak kaku. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Lagipula, aku sudah disini, kenapa aku harus pulang?

Dengan segala kekuatan yang kupunya, akhirnya kakiku bisa kugerakan dan melangkah gontai untuk memilih tempat duduk—di sisi pinggir. Sekilas, kurasakan kelembutan bunga mawar segar berwarna putih susu, yang menghias di sudut bangku kayu. Cantiknya….

Otakku pun mulai disekap oleh sebuah rasa iri.

Sekelibat bayangan akan tawa yang masih sempat mengisi hari-hariku beberapa bulan lalu, melintas dengan cepat bagai kereta api. Mataku kembali panas. Tidak. Aku tidak boleh lemah. Terutama saat aku sudah memantapkan hatiku untuk berada di sini. Ya, aku yang membuat keputusan untuk berada di sana!

Lonceng berbunyi.
Tanda upacara pernikahan akan dimulai.
Semua hadirin berdiri. Aku? Tidak mungkin hanya duduk membatu saja, bukan? Tapi, kakiku begitu lemah. Sungguh. Aku merasa seluruh energiku kembali terserap oleh sesuatu. Hingga aku harus berpegangan pada satu sisi bangku.

Mars pernikahan mulai berdenting, melalui sebuah alunan grand piano yang begitu indah dan lembut. Aku menelan ludah, susah payah. Aku menahan emosi yang membludak di dada, sekuat tenaga. Dan aku, berusaha untuk tidak menumpahkan air mata getir itu di sana.

Mataku menangkap dua sosok mempelai yang melangkah. Sang pengantin laki-laki tampil begitu rapih dan gagah. Dia mengenakan tuxedo yang membuatnya begitu percaya diri. Apalagi dengan satu tangan dari si pengantin perempuan yang menggamit lengan pasangannya. Keduanya berjalan dengan senyum beredar. Penuh kebahagiaan.

Miris sekali. Tapi memang pemandangan itu sangat kontras dengan keadaan hatiku.

Aku terpaku menatap gaun pengantin si perempuan.

Gaun itu….
Indah.
Tapi terlihat tidak begitu pas di tubuhnya.
Karena, lingkar pinggangnya jelas berbeda denganku.
Karena, gaun pengantin itu milikku.
Aku yang membuatnya dan aku yang menyocokkannya dengan ukuran tubuhku. Aku yang kala itu berharap bisa mengenakan gaun pengantin tersebut di dalam pernikahanku nanti. Dengannya. Si laki-laki yang memakai tuxedo itu.

Ya, harusnya aku yang ada di sana!
Aku yang berjalan di sebelahnya. Bukan dia.

Kenyataannya, dia meninggalkanku setelah mencuri design, hasil kerja kerasku akan impian yang sudah kubangun selama satu tahun menjalin hubungan dengannya. Dia mencampakkanku! Dengan mudahnya.

Hatiku kembali berdenyut.
Tapi, aku kuat. Aku harus kuat.

Kurasakan tatapan kami bertemu. Dia mengerutkan keningnya. Pasti heran dengan kehadiran tamu tak diundang ini. Faktanya, aku memang berdiri di sini, untuk perayaan pernikahannya.

Untuk melihat buah karyaku!

Aku benci ini, tapi air mataku justru turun disaat yang tidak diinginkan. Dengan segara kuseka pipiku. Dan ketika kedua mempelai itu tiba di altar suci, aku tidak mampu bertahan. Kakiku langsung melangkah keluar gereja dan menanggalkan sebait ucapan selamat atas pernikahannya, yang jelas tidak akan pernah bisa kusampaikan secara langsung.

Dan juga sisa-sisa dari hati ini, bahwa aku...
Masih mencintainya.

Thursday, December 10, 2009

Let's Making Friend

"Kamu percaya persahabatan dalam dunia maya?"

Kata-kata itu pernah dia tanyakan padaku. Entah apa yang membuatnya mendadak mengajukan pertanyaan tersebut. Tapi yang jelas, tanpa menunggu atau pun berfikir lebih jauh, aku langsung mengiyakannya. Memangnya kenapa dengan persahabatan dunia maya? Apa ada sesuatu yang salah dengan media tersebut?

"Aku percaya," kataku tegas.
Aku percaya bahwa persabatan ada dimana pun, dalam bentuk apa pun, tanpa mengenal media yang mendasarinya.

Dia hanya terdiam.

Lalu aku meraih sesuatu dari dalam tasku. Kukeluarkan sebuah buku dengan gambar spongebob di bagian depannya. Si kuning dengan mata bulat yang tampak ceria itu, seolah menatapku sambil nyengir. Berikutnya, aku menggeser buku tersebut hingga dia bisa melihatnya dengan sangat jelas. Keningnya berkerut. Kemudian dia menatapku dengan matanya yang bening dan dipenuhi aura kebingungan.

Aku tersenyum sejenak. "Kamu tau? Ini hadiah dari sahabatku di dunia maya. Kami belum pernah bertemu tapi dia memberiku hadiah ini sebagai tanda persahabatan."

Dia terpana menatapku. "Aku tetap tidak percaya."

Aku menghela napas. Susah memang menasehati seorang keras kepala. Jadi, aku hanya mengangguk.

"Kamu punya hak untuk nggak percaya. Mungkin memang kamu belom merasakannya."

Aku tidak berharap dia memaksakan diri untuk sependapat denganku. Dia temanku, tapi dia juga punya hak untuk tidak mendukungku. Aku tau, sulit dijelaskan dengan akal sehat bagaimana persahabatan dalam dunia maya itu. Tapi aku selalu percaya.

NOTE:

Postingan cerpen ini saya buat untuk tealovecoffee yang bersedia melirik blog cerpen yang agak-agak terlantar karena saya jarang update cerpen ini, untuk diberikan sebuah award.

Friday, December 4, 2009

All For You, Guys!

“Lo yakin?”


Tanyanya sekali lagi memastikan kondisi gue yang mungkin dimatanya gue udah seperti vampire—pucat. Gue mendangak, lalu mengangguk. Memberikan seulas senyum penuh keyakinan agar keempat orang cowok yang sedang menatap gue dengan pandangan khawatir itu bisa sedikit lebih tenang.


Mereka sobat gue. Mereka peduli sama gue. Dan mereka tau gue nggak dalam keadaan yang sangat fit sekarang. Mereka tau berapa derajat suhu badan gue. Mereka tau ketika selesai makan malam kemaren, gue langsung muntah-muntah. Mereka tau gimana nggak tenangnya gue melewati tidur sebelum hari ini tiba. Tapi gue juga nggak bisa berhenti. Mereka juga nggak bisa menghentikan gue. Hari ini, performance kita harus tetap dilaksanakan. Nggak ada alasan apa pun, meskipun gue lagi nggak enak badan. Ribuan orang yang berharap banyak bisa melihat kita sore ini, sudah menunggu dan berteriak-teriak di depan panggung. Gaungnya kedengeran sampai ke sini—backstage.


Dan gue melakukan ini, semata-mata bukan demi popularitas gue sebagai salah satu anggota boyband yang namanya sedang naik daun. Semua ini gue lakuin demi sobat-sobat gue dan demi orang-orang di luar sana yang berteriak-teriak memberi kita support. Semua pemberian kasat mata itu nggak mungkin gue bayar dengan keegoisan gue.


Oh, lima menit lagi kita tampil.


Gue segera beranjak, sedikit terhuyung, tapi buru-buru menyeimbangkan diri. Jangan sampai sobat-sobat gue melihat gue yang kayak orang mabok. Bisa-bisa mereka lebih mikirin cara ngebatalin perform yang udah di depan mata itu daripada ngebiarin gue sekarat di stage. Yeah, gue juga nggak mau sekarat di depan puluhan orang yang mendukung gue dan teman-teman gue. Gimana pun juga, gue harus tetap berjuang memberikan yang terbaik. Perjuangan mereka dan perjuangan gue, nggak boleh cuma jadi hal yang sia-sia.


Oke. Musik udah mulai diputar.


Mengikuti irama, satu per satu dari kita mulai konsentrasi dengan blocking dan pembagian masing-masing dalam bernyanyi juga dance. Sesekali, gue melihat sobat-sobat gue melemparkan lirikan khawatir, tapi gue yang udah ngerasa mau muntah ini, tetep bertahan. Gue coba pasang senyum.


Shit! Kepala gue, makin berat rasanya. Tapi gue nggak mungkin berhenti di tengah-tengah! Apa yang gue usahakan, sepertinya semakin nggak maksimal. Tenaga gue lama-lama semakin menghilang, kayak ditiup angin.


Jangan... please, jangan sampe gue gagal.


Brengsek! Perut gue mual, diaduk-aduk tiap koreo yang membuat gue harus lompat sesekali. Gue pengin muntah!


Eh....abis ini gue blocking ke mana? Ya ampun! Hampir aja gue lupa! Cuma karena nahan rasa nyeri di kepala dan mual yang semakin ngajak gue untuk berantem. Bisa. Gue harus bisa!

Ya. Gue pasti bisa menyelesaikan tugas gue ini.


Bagian musik ini gue harus ke....Damn! Kok bisa-bisanya gue kepeleset?! Iya! Gue baru aja jatoh! Di depan puluhan orang yang melihat kita! Yang memberi dukungan melalui kata-kata dalam spanduk kecil yang mereka bawa. Tapi tenang, gue harus tenang. Gue buru-buru bangkit perlahan, dengan ekspresi datar. Tau, kan? I’m on stage, masa’ gue masang ekspresi meringis. Nggak akan, deh.


Gue langsung menyamakan koreo dengan sobat gue yang lain, yang sempat memberikan lirikan kaget sekaligus cemas akan keadaan gue yang terlalu memaksakan diri. Gue tau, kalo mereka bisa, mereka pengin langsung melupakan soal perform dan segera menolong gue. Tapi, sebagai penyanyi yang dilatih untuk bersikap profesional, tentu aja masalah seperti kepeleset tadi bukanlah pertanda bahwa perform kita selesai. Detik itu juga. Ya, saat di panggung, semua harus fokus pada apa yang harus mereka tampilkan.


Bukan pada gue yang sakit!


Ah...musik memasuki endingnya. Syukurlah. Gue hanya perlu berpose untuk yang terakhir. Applause meriah bergaung. Teriakan-teriakan pendukung kami bergema kembali.


”Kak, tetap semangat!”

”Kami mencintaimu.”

”Semoga kamu baik-baik saja.”

”Kami selalu mendukungmu.”


Kira-kira itulah kata-kata yang gue denger. See? Itulah alasan kenapa gue sangat nggak pengin mengecewakan mereka. Karena mereka terlalu sayang pada gue dan juga ke-empat sobat gue yang lain. Dan gue menyesal karena apa yang gue tampilin bukanlah sesuatu yang terbaik. Dengan kata lain gue sudah mengecewakan mereka.


Gue dan yang lain membungkukkan badan, memberi hormat sekaligus mengucapkan terima kasih atas dukungan-dukungan yang terasa sangat tulus itu. Dan begitu kita bergerak menuju backstage, tiba-tiba aja, sobat-sobat gue langsung merangkul gue dan membantu gue yang berjalan tertatih-tatih!


”Kan gue udah bilang, harusnya kita ngomong sama manager supaya cancel jadwal kita hari ini.” Satu sobat gue yang bernama Jio memprotes. Dia bukan yang tertua dan juga bukan leader tim ini, tapi perhatiannya sangat luar biasa. ”Paling nggak, manager bisa cancel jadwal lo!”


”Gue nggak mau lo sekarat, tauk!” Kini giliran si leader, Seung Ho.


Satu per satu rekan gue meluapkan rasa sayang mereka dengan memarahi gue. Sementara gue, yang baru aja muntah-muntah, cuma bisa melongo. Tersentuh, tapi gue punya pendapat sendiri.


”Gue maksain diri, untuk kalian juga mereka.” Gue menunjuk ke bagian panggung. Maksudnya siapa lagi kalo bukan para pendukung kita. ”Karena gue pengin selalu tampil bersama kalian dan juga gue nggam mau membuat mereka kecewa.”


Meski kenyataannya, gue telah mengecewakan mereka.



Note:

Cerpen ini dibuat untuk : MBLAQ - Lee Joon yang ternyata terserang virus H1N1 dan sempat melakukan perform nya dengan kondisi yang tidak fit. Get well soon, Jonnie ya!

Tuesday, December 1, 2009

Girl Next Door

Buat gue, dia adalah perempuan yang unik.
Dia—perempuan itu, suka banget yang namanya makan es krim. Pertama kali bertemu, dia sedang menyantap ’makan siang’nya yang adalah sekotak es krim vanila. Wajahnya lucu dan matanya bulat. Pipinya kemerahan.
Dia—perempuan itu, selalu mengenakan pakaian serba hitam. Mungkin seluruh koleksi pakaiannya memang berwarna hitam.
Dia—perempuan itu, suka sekali dengan kegelapan. Baginya, di dalam kegelapan, dia bisa menemukan dunia lain yang jauh lebih luas.
Dia—perempuan itu, selalu menganggap bulan adalah Ibu Peri, matahari sebagai Ksatria, dan bintang sebagai dewi-dewi yang menari.
Ya, dia adalah perempuan yang tinggal di kamar sebelah kamar gue, di rumah susun yang sederhana ini.

Dia perempuan ceria yang memiliki kehampaan.
Gue senang memanggilnya Kiara, tapi dia menganggap dirinya adalah Canis (minor). Dan dia kerap kali memanggil gue dengan sebutan Angkasa, tanpa pernah mencari tau siapa nama gue.
”Karena aku bisa melihat langit di matamu.”
Begitu katanya. Gue sama sekali nggak keberatan. Bagi gue, apalah artinya sebuah nama kalau memang Kiara menyukainya, gue nggak akan keberatan. Dan mungkin juga begitulah menurut Kia.

Dia perempuan bertubuh mungil yang memiliki pandangan jauh hingga luas tak terbentang. Dia—Kiara, sangat mencintai teropong bintangnya dan selalu mengintip di balik lensa, supaya malam itu bisa dilaluinya dengan bergurau bersama para dewi yang menari-nari. Begitulah Kiara, perempuan yang tinggal di sebelah kamar gue. Yang pada akhirnya membuat gue ingin merengkuhnya ke dalam dunia yang lebih dekat dengan gue.
Ya, terkadang, Kiara seperti salah satu dari para dewi itu, begitu jauh untuk dijangkau.

Namun belakangan ini, gue bisa melihatnya begitu gigih bermain-main dengan lensa teropongnya. Setiap malam, dia berusaha keras mencari sesuatu di langit sana. Entah apa. Toh, biasanya Kiara juga selalu mengintip kerlip para penguasa langit. Gue nggak begitu memperdulikannya.

Tapi ketika gue melihatnya menangis malam itu, sementara keputusasaan mengisi wajahnya yang memerah, gue begitu penasaran.

”Canis, kamu kenapa?”

”Ang, bisa kamu tolong aku? Aku harus menemukannya. Aku merindukannya.”

Benak gue bertanya-tanya, siapakah yang dirindukan sang anak langit ini? Bukankah setiap malam dia bisa menyapa Ibu Perinya? Bukankah dia bisa tersenyum kala melihat dewi-dewi mengerling nakal ke arahnya? Lalu siapa yang dia rindukan? Siapa yang tidak hadir di kala dia mengintip dunia luas di sana?

”Apa? Kamu rindu siapa?”

Dengan mata nanar, Kiara, oh bukan, Canis. Maksud gue Canis, karena begitulah dia mau gue memanggilnya. Ya, dia memandang gue dengan matanya yang bulat tetapi penuh kebimbangan dan kesedihan. Ya Tuhan, apa yang membuatnya begitu pilu?

Gue mencoba mendekatinya.

”Orion.”

Gue tergelak. Orion. Gue? Apa maksudnya? Ah benar, gue melupakan hal itu. Dia bahkan belum mengetahui siapa nama asli gue. Dia hanya tau bahwa gue adalah Angkasa. Angkasa-nya. Tapi di balik Angkasa yang melekat pada diri gue, Orion adalah gue yang sebenarnya.

”Maksud kamu?”

”Orion-ku meninggal. Dia pergi dari aku dua tahun lalu. Sekarang aku rindu padanya. Aku ingin menemukan Orion-ku. Tapi dia sama sekali tidak tampak. Kenapa? Kemana dia? Aku kangen.”

Jadi...Orion-nya itu?
Orion-nya yang telah meninggal itu. Gue nggak menyadarinya. Dia pasti merindukan Orion-nya, kekasihnya dulu. Bukan gue.
Dan dia harus menemukan Orion-nya.

Gue nggak tau harus berbuat apa. Gue hanya mengenal Orion-nya melalui kisah-kisah yang diceritakan Kiara. Gue nggak tau wujudnya. Dan bagaimana Orion-nya bisa gue temukan di langit? Gue hanya bisa bergeming dan memperhatikannya kembali berusaha keras, seperti orang gila, mengintip di balik lensa dengan penuh keliaran. Mungkin dia marah karena Orion-nya tidak muncul.

”Canis.” Gue merengkuh pundak perempuan itu. Gue nggak tega melihatnya seperti ini. Dia perempuan yang ceria, yang senang tertawa dan makan es krim, meski harus berbalut pakaian yang selalu mendukung kekosongan dirinya. ”Lihat aku.”

Gue memaksanya untuk melihat ke arah gue. Dia melihat ke mata gue, tapi ternyata matanya semakin sembab.

”Kamu nggak pernah sadar? Setiap malam, Orion-mu selalu menemanimu. Dia selalu memperhatikanmu.”
Kiara hanya terbengong-bengong menatap gue. Sama sekali nggak percaya. Mungkin dia pikir gue gila.
”Orion mu selalu berharap kamu melihat ke arahnya. Bukan ke dalam langit di sana. Orion mu selalu berharap bisa kamu panggil sebagaimana mestinya. Dan Orion-mu itu selalu berdiri di sini.”
Air mata Kiara meleleh.
”Aku adalah Orion.”

Bibir Kiara bergetar.

”Coba lihatlah ke arahku.”

Kiara mematung.

Bisakah Orion yang sekarang menggantikan Orion-nya yang dulu? Bisakah dia melihat gue sebagai Orion?
Karena Orion yang kini sejajar dengan sang Canis, berharap penuh bisa menampilkan cahaya bahagianya bersama.
Karena gue—Orion, mencintainya.