Friday, September 25, 2009

Kisah Sepasang Mata bag 1

By : Clara

Keterangan
Noona: panggilan cowok yang lebih muda untuk cewek yang lebih tua


PROLOG

Katamu, bagaimana kebebasan itu?

Dia mengepalkan tangan dengan sangat kuat. Hingga buku-buku jarinya terasa perih dan memerah. Ujung-ujung kukunya pun menancap kuat di telapak tangan. Otot-ototnya turut menegang. Seolah semua emosi dan tenaga mengalir ke satu titik.

Apapun, dia bersumpah, akan dilakukan demi terbebas dari himpitan yang telah menekan setiap aliran darahnya. Bahkan menekan hampir setiap detak jantung dan napas.

Dan saat kebebasan itu hampir menyapa, bukan keinginannya untuk berlalu dari semua itu. Keadaan mendesaknya. Begitu kuat, hingga kepalanya terasa sakit. Bahkan tidak ada lagi akal sehat yang bisa membantunya berpikir dua kali dalam membuat keputusan. Tidak ada yang akan menghalanginya.

Dia sudah bersumpah.

Ketika sebuah kesalahan itu terjadi, keterpurukannya ternyata mampu membawa kepada dua hal : kebebasan dan kebahagiaan orang itu.

Dalam kekalutan yang bahkan uang pun tidak mampu membayarnya, dia berlari seperti orang kesurupan. Dia membiarkan keremangan malam merayapi kesendiriannya, dia juga membiarkan angin malam yang menerpa wajah, mampu membawa pergi seluruh penderitaannya.

Tapi dia tau, bukan angin malam yang akan menghapus semua sakitnya.

Lalu, dengan wajah memelas, dia hanya bisa memohon pada laki-laki itu. Dia hanya bisa berharap kalau laki-laki itu bersedia membantunya. Meski semua telah diaturnya.

Separuh sudut bibirnya terangkat, menghadirkan senyum penuh misteri. Antara kesedihan dan kebahagiaan yang begitu tipis. Tapi dia sungguh berterima kasih pada orang itu.

Dan kini, aku tau apa arti bebas yang sesungguhnya….

****

Kaki berlapis sepatu sport yang sudah kusam itu, berhenti mendadak di depan sebuah rumah yang tampak tidak terawat. Mata sipitnya memicing kala menatap bangunan di hadapannya - menghadirkan sebuah sorot keengganan.

Laki-laki itu menelan ludah. Pahit.

Seandainya ada pilihan lain, tentu dia tak ingin kakinya bergerak memasuki rumah tersebut. Rumah kecil yang bahkan halamannya begitu kotor dengan timbunan daun-daun kering. Sejenak langkahnya kembali tertahan, saat dia menangkap suara-suara tawa ringan dari dalam ruangan. Namun, berpura-pura tidak menyadari apa yang sedang terjadi, dia melangkahkan kaki ke dalam ruangan.

“Hei! Hong Gi!!” seru seorang wanita dengan begitu tajam.

Dengan malas, cowok bernama Hong Gi itu menolehkan kepalanya. Tapi ekspresinya datar dan cenderung dingin. Tidak ada kata-kata yang meluncur dari bibir tipisnya.

“Hei…kenapa kau?! Apa kau bahkan tidak mau menyapa Ibumu sendiri? Apa aku tidak pernah mengajarimu sopan santun?” sindir wanita itu sambil melirik penuh maksud ke arah seorang pria tengah baya di sebelahnya. “Dia yang akan jadi Ayahmu…! Setidaknya….”

“Tak usah belagak pernah mengajariku,” potong Hong Gi acuh.

Hong Gi baru saja hendak melangkah ketika paras wanita yang penuh dengan bedak dan gincu itu memerah karena marah. “Hei!! Anak sial kau!! Jangan harap aku sudi mengakuimu sebagai anak!” Wanita itu hampir saja bertindak seolah kesetanan, seandainya pria tadi tidak mencegahnya. Sementara Hong Gi, berlalu tanpa merasa bersalah.

Baru saja Hong Gi melewati kamar kakak perempuannya, sudut matanya menangkap sesuatu. Hal yang membuat kepala Hong Gi tak tahan untuk menyembul dari balik pintu. Yang akhirnya menyentakkan dirinya hingga ke titik paling bawah. Kebencian.

Si Nae, kakak satu-satunya yang sangat Hong Gi sayang, saat itu sedang meringkuk di sudut ruangan. Wajahnya putih pucat, rambut panjang hitamnya berantakan, dan dia tampak menikmati setiap suntikan yang menembus kulit mulusnya.

Tubuh Hong Gi seakan menegang. Matanya terbelalak hingga terasa perih. Rahangnya pun bergemeletuk menahan emosi yang merayap di seluruh tubuhnya. Dia mengepalkan tangan kuat-kuat, hingga buku-buku jarinya sakit dan kukunya menancap di telapak. Napasnya mendadak tersengal, seakan-akan baru saja menahan napas untuk beberapa menit.

Tergesa-gesa, Hong Gi segera keluar rumah melalui pintu samping dan melompati pagar yang cukup tinggi. Kemudian, Hong Gi berlari. Terus berlari hingga keringat mengucur dan jantungnya berdetak begitu kuat. HIngga Hong Gi merasa seluruh tenaganya habis.

Dan dia berhenti di sebuah pantai.

Hong Gi mengatur napasnya. Mengatur detak jantungnya. Pundaknya naik turun karena kelelahan dan paru-parunya sedang memompa udara lebih banyak untuk bisa bernapas normal. Setelah cukup tenang, Hong Gi menatap ujung laut. Tangannya masih mengepal. Perkiraannya salah. Emosi Hong Gi belumlah hilang. Karena itu Hong Gi berteriak seperti orang kesetanan, memaki-maki dalam gumaman tak jelas, dan kakinya bergerak seperti menendang sesuatu ke segala penjuru.

Kalau boleh ku katakan, sungguh aku membenci kalian. Apakah kalian pantas ku sebut keluarga?

****

Kini, saat malam tengah merayap, langkah Hong Gi terseok seperti tidak tentu arah. Otaknya memerintahkan, kemana saja, asal tidak kembali lagi ke rumah. Paling tidak untuk saat itu. Selebihnya, kepala Hong Gi sama sekali tidak mau berpikir. Sudah cukup otaknya berdenyut kesakitan karena dipaksa bekerja begitu keras. Membuat Hong Gi tampak seperti zombie yang sedang bergerak. Pandangan matanya sayu dan tidak ada semangat.

Hingga akhirnya, kaki itu kembali berhenti. Namun kali ini di depan sebuah undakan di dalam lorong kecil, yang menuju ke sebuah gerbang kayu dimana sebuah rumah mungil yang sangat tradisional berdiri kokoh. Hanya ini satu-satunya harapan. Hanya dia. Hong Gi sungguh tak tau lagi harus berharap pada siapa.

Tapi, begitu buku-buku tangannya beradu dengan gerbang kayu, Hong Gi mengurungkan niat. Dia menatap ujung sepatunya dan mendesah.

Karena, entah kenapa, saat itu aku merasa begitu malu bertemu denganmu….

Berikutnya, Hong Gi memilih untuk duduk di undakan ke dua. Disenderkan kepalanya ke sisi lorong batu. Tampak begitu pucat dan putus asa.

“Hong Gi?” suara itu bagai sangkakala yang bergema merdu. Sungguh, Hong Gi begitu senang bisa mendengarnya. Meski terasa berlebihan pun, Hong Gi tidak mau peduli. Yang dia peduli hanyalah suara itu. Suara lembut yang bayangan pemiliknya terasa semakin mendekat.

Hong Gi mengangkat kepalanya. Wajah datar itu, sedikit banyak menampakkan reaksi penuh syukur.

“Apa yang kau lakukan?”

Hong Gi tak kuasa melemaskan otot wajahnya. Bagai bertemu seorang peri, ingin sekali Hong Gi menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. “Noona…Boa noona…” suara seraknya hilang timbul karena udara dingin yang menusuk.

“Hong Gi…” perempuan bernama Boa itu sepertinya langsung sadar apa yang sedang terjadi, hanya dengan melihat ekspresi Hong Gi. “Bukankah di sini dingin?”

“Noona…” Hong Gi bangkit berdiri. Tanpa banyak kata lagi, dia langsung menarik tubuh Boa hingga menabrak dadanya yang bidang. Dipeluknya kuat-kuat perempuan di hadapannya itu, sesuai dengan keinginannya.

Boa tidak berani bergerak. Dia mengerti apa yang terjadi. Karena itu dia membiarkan tubuh besar itu mendekapnya.

Kau tau? Aku selalu suka memelukmu. Karena aku suka mencium aroma rambutmu….

****

Kalaupun akhirnya Hong Gi harus kembali merepotkan Boa dengan menginap di rumahnya, bukan berarti bahwa Boa harus menyiapkan sarapan untuknya. Kebalikan dengan itu, Hong Gi justru sengaja bangun pagi-pagi buta untuk membelikan sarapan dan menyiapkannya untuk Noona.

Dua buah roti isi kacang merah dan dua gelas susu hangat, berkumpul menjadi satu dalam sebuah kantong plastik, yang kini sedang bergelayut di tangan Hong Gi. Memang bukan makanan mahal, tapi Hong Gi tau, Noonanya itu sangat menyukai roti isi kacang merah. Karenanya, meski Hong Gi tidak begitu suka kacang merah, dia tetap memilih menu yang sama.

Harapan bahwa Boa akan menikmati sarapan bersama dengannya, mendadak sirna begitu Hong Gi melintasi pinggir jalan, yang merupakan arah menuju rumah Boa.

Di hadapannya -perempuan yang di mata Hong Gi memiliki aura yang hampir mirip dengan SI Nae, kakaknya- sedang bersama laki-laki lain. Dan orang itu adalah Jong Hoon, seseorang yang selama ini selalu dianggap musuh oleh Hong Gi.

Darah Hong Gi mendidih, ketika melihat Boa menarik tangan Jong Hoon yang hendak berbalik dan saat laki-laki itu menghentikan langkahnya, Boa langsung merangkul punggungnya.

Dan kali ini kemarahan Hong Gi langsung meledak. Dijatuhkannya kantung berisi makanan itu, sebelum akhirnya dia menghampiri Jong Hoon dan dengan membabi buta memukuli laki-laki itu. Hong Gi seperti kerasukan sesuatu. Dia terus saja menghadiahkan tinju pada Jong Hoon yang kewalahan karena mendapat serangan mendadak. Sementara di belakang sana, Boa menjerit histeris dan sedikit panik. Berharap pertolongan orang-orang di sekitar yang mulai ramai menonton, namuan tidak satu pun yang berusaha melerai.

“Hong Gi!! Hentikan!” jerit Boa. “Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini sungguh bukan salah Jong Hoon….”

Tangan Boa bergerak-gerak di udara, seperti sedang menangkap angin, padahal dia ingin menarik Hong Gi dan menyingkirkan anak itu dari Jong Hoon.

“Hong Gi….”

Namun, berkali-kali pun Boa memanggil, berkali-kali pula suara merdu itu terabaikan. HIngga akhirnya, ketika Boa berhasil menarik baju Hong Gi, laki-laki itu malah menyodorkan sikunya ke dada Boa dan membuat perempuan itu terpental ke belakang. Boa meringis nyeri. Namun, kakinya terserimpat dan menyebabkan Boa kehilangan keseimbangan.

Semuanya sungguh terjadi dengan begitu cepat. Tidak ada yang menyadari antara Hong Gi dan Jong Hoon, kecuali orang-orang yang ada di sekitar.

Suara itu begitu keras. Seperti sesuatu yang terhantam besi.

Dan begitu Hong Gi menoleh, semuanya sudah terlambat.

****

“Dia buta.”

Begitulah kata dokter yang menangani Boa. Dua kata yang langsung membuat Hong Gi dan Jong Hoon yang mendengarnya, seakan membeku.

“Hanya ada satu cara, yaitu operasi apabila ada pendonor mata yang bersedia menyumbangkan mata untuk gadis itu,” kata pria berjas putih itu lagi. “Sayang, hanya orang yang sudah meninggal yang bisa menyumbangkan dan biayanya akan sangat mahal.”

Noona, apakah kau bisa memaafkanku, noona?

Lalu dokter itu berlalu. Meninggalkan kedua remaja yang tampak sebaya dalam kekalutan pikiran masing-masing.

Kisah Sepasang Mata bag 2

Entah apa yang merasuk ke dalam tubuh Hong Gi sehingga dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Langkahnya lebar-lebar, meniti setiap jalanan beraspal dan menembus angin musim gugur, dengan langkah lebar. Tampak tergesa-gesa. Wajahnya tampak diliputi kekalutan. Matanya pun bergerak liar.



Sesampainya Hong Gi di rumah, dia segera melesat menuju kamarnya. Seperti orang yang sedang kalap, Hong Gi membongkar seluruh perabotan kamarnya. Dia tampak mencari-cari sesuatu. Wajahnya diliput kepanikan, kemarahan serta penyesalan yang menjadi satu. Sesekali dia mendesah berat kala tidak mendapatkan apa yang dia inginkan di satu tempat, hingga dia harus mencari ke tempat yang lain.

HIngga akhirnya, ruangan persegi itu pun tampak begitu berantakan dengan segala benda yang terlepas dari tempat asal. Hong Gi terduduk pasrah di sisi tempat tidur dalam diam. Dia menjambaki rambutnya sambil mengerang kesal.

Aku tidak tau, meski aku sungguh ingin menangis untuk melepas emosi, namun aku tidak bisa menangis. Air mata itu tidak akan tumpah. Tapi noona, bukan aku tidak mengkhawatirkan mu. Sungguh….

****

Hong Gi baru saja membeli sekaleng bir. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia sangat sangat ingin mencicipi minuman keras tersebut. Dan sekarang, Hong Gi merasakan satu kepuasan ketika kaleng bir itu berada di tangannya. Meski tenggorokannya terasa panas dan kepalanya agak pusing. Dia tidak sadar kalau pipinya sudah mulai memerah.

Baru saja Hong Gi memutuskan untuk pulang, ketika kakinya melewati sebuah pub. Beberapa orang tampak hilir mudik keluar masuk dari tempat itu.

Hong Gi terpana di tempat, dengan tangan kanan memegang kaleng bir dengan posisi hendak meneguk minuman itu. Perlahan dia menurunkan tangannya dan seolah terpanggil oleh seseorang, kaki Hong Gi bergerak ragu memasuki tempat itu. Karena dia dianggap sudah dapat menunjukkan kartu identitas, maka Hong GI bisa masuk dengan selamat.

Dan reaksi pertamanya adalah : kagum.

Tidak tau siapa yang memulai, siapa yang menghampiri, atau siapa yang pertama melemparkan senyum menyapa, seorang perempuan berpakaian seksi segera mendekati Hong Gi. Dibimbingnya Hong Gi yang sedikit lebih pendek dari perempuan bersepatu hak tinggi itu, menuju sebuah meja.

“Kau…mau mencoba peruntungan? Atau sekedar bersenang-senang dengan kami?” Tanya perempuan itu dengan suara menggoda.

Hong Gi terpana menatap wajah mulus berlapis make up tebal milik perempuan itu. “Aku hanya ingin mendapat uang banyak.”

Perempuan itu menyunggingkan senyum terselubung sambil membalas tatapan Hong Gi dengan tajam. Kemudian dia meraih tangan Hong Gi dengan mesra dan membawanya ke sebuah meja lain yang ramai dikelilingi orang-orang. Asap rokok mengepul dari kerubungan itu.

“Peruntunganmu dimulai dari sana,” kata perempuan itu, menyuruh Hong Gi untuk bergabung dengan pria-pria tengah baya yang sedang terhipnotis dengan permainan Roulette, yaitu sebuah piringan berbentuk bulat yang berputar kencang dan menggunakan dua buah dadu yang dikocok untuk menentukan kemenangan.

Awalnya Hong Gi ragu akan hal tersebut, namun entah kenapa, tidak ada bagian dari dirinya yang memilih untuk mundur dari tempat itu. Sungguh di luar dugaan, ternyata di sanalah memang peruntungan Hong GI. Dalam setengah jam saja, Hong Gi sudah berhasil meraup setumpuk uang. Dan kini, seperti sudah terbiasa bermain Roulette, Hong Gi tampak begitu antusias. Tawa dan teriakannya membahana kala dia memenangkan sejumlah uang.

Perempuan tadi menggelayutkan tangannya yang mulus di leher Hong GI saat dia berdiri karena terlalu bahagia bisa memenangkan permainan yang baru sekali itu dimainkan. Sekejap Hong Gi terkejut dengan sikap mendadak si perempuan tak dikenal itu. Hong Gi bahkan hampir menyingkirkan tangan itu dari lehernya, namun entah kenapa dia mengurungkan niatnya dan berusaha menikmatinya. Hong Gi memberikan senyuman kaku pada perempuan itu.

Aku tidak tau kenapa, tapi aku hanya ingin melupakan kenyataan siapa diriku sebenarnya. Paling tidak untuk beberapa saat itu. Karena anehnya….aku merasa begitu bahagia.

****

Pagi itu, Hong Gi baru keluar dari pub. Dia terlalu menikmati suasana di dalam tempat itu, yang benar-benar bisa membuat dirinya lupa akan segala beban. Hong Gi lupa diri.

Tapi, kebahagiaan di dalam pub itu, berangsur-angsur menguap ketika Hong Gi tiba di rumahnya. Banyak orang berkerumun di depan sana. Semuanya tampak menjulurkan kepala, seperti ingin tau apa yang terjadi di dalam sana. Hong Gi mengedarkan pandangan. Sebuah mobil patroli polisi terparkir tidak jauh dari rumah.

Sama sekali tidak ada bayangan apa yang telah terjadi di rumahnya.

Penasaran, Hong Gi berusaha menerobos orang-orang yang menutupi jalan masuk ke rumahnya. Namun, belum sempat Hong Gi sampai di dalam rumah, dua orang polisi muncul dari dalam sambil menyeret seorang perempuan berambut panjang dengan kulit putih pucat. Perempuan itu berontak, namun tampak lemah. Dia menjerit histeris dan matanya sembab, tanda dia menangis. Tak lama berselang, sepasang pria dan wanita muncul. Dengan wajah panik, dia mencoba menahan polisi itu.

Hong GI langsung membeku di tempat. Tidak mungkin, Si Nae, kakak satu-satunya, akhirnya harus masuk ke dalam sel tahanan. Apa penyebabnya, Hong Gi tak perlu mencai tau. Dia sudah sangat mengerti keadaan SI Nae yang mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

Tangan Hong Gi mengepal kuat-kuat hingga memerah. Kemudian, dia membalikkan badan dan segera berlari dari sana. Kali ini bukanlah pantai yang menjadi tujuan Hong Gi. Tapi dia.

Aku membencinya. AKu benci Si Nae. Dia bukan kakakku. Aku benci keluargaku. Apa aku masih tetap harus bertahan?

****

“Jong Hoon!!” seru Hong Gi seperti orang kesetanan.

Dia tau dimana biasa Jong Hoon menghabiskan waktu. KAlau bukan perpustakaan sekolah, pastilah taman belakang sekolah itu. Dan dugaannya benar. Jong Hoon ada di sana, sedang membaca buku dengan pandangan mata kosong.

Hong Gi mendekati Jong Hoon. DAlam keadaan emosi, Hong Gi langsung menarik leher kaos Jong Hoon hingga laki-laki itu berdiri dengan terpaksa. Buku bacaannya terjatuh begitu saja. Didorongnya tubuh Jong Hoon hingga punggunya menghantam sebuah pohon besar. Namun, wajah Jong Hoon tetap datar.

“KAtakan sejujurnya,” ancam Hong GI tajam. “Apa kau sungguh menyukai noona?”

Jong Hoon terdiam. Ekspresinya masih sama seperti sebelumnya.

“KAtakan!!” seru Hong Gi mulai berteriak.

Jong Hoon menarik napas. “Kalau kukatakan yang sejujurnya, apa kau akan percaya? Apa kau juga mau mendengar penjelasannya?”

Kini giliran Hong Gi yang terdiam. “Katakan…” katanya.

“Aku benci mengakui ini karena pasti aku akan menjilat ludah sendiri, tapi…” Jong Hoon menatap dalam Hong Gi, “…aku masih mengharapkan Sun Ye kembali padaku. Aku minta maaf, karena telah melukai perasaan noona-mu.”

Pegangan tangan Hong Gi mengendur dan tertahan di dada Jong Hoon dengan posisi tangan mengepal. Hong Gi membungkukan sedikit badannya dan menundukkan kepala, menatap sepatu. Dia menggeram dan lama-lama, geraman itu terdengar memilukan. Begitu terasa menyakitkan, hingga akhirnya sedikit air mata tumpah dari kedua bola matanya yang jernih.

“Tolong…” kata Hong Gi serak. “Bunuh aku…” ucapnya dengan hati-hati.

“Kau gila!” refleks Jong Hoon sambil mendorong Hong Gi. “Jangan bercanda dengan nyawamu sendiri, apalagi hanya karena kau merasa menyesal telah salah paham!”

Tubuh Hong Gi masih terbungkuk. Namun, matanya mendongak melirik Jong Hoon dengan tatapan mengerikan. “Kau pikir kau tau semuanya, hah? Kau pikir hanya karena menyesal lantas aku mau mati? Apa yang bisa kau lakukan kalau kau tidak bahagia? Apa yang akan kau lakukan kalau kau terperangkap dalam beban?” Hong Gi menegakkan tubuhnya. “Hanya ada satu kebahagiaan di hidup ini, mencintai dan dicintai. Kalau kau bahkan tidak bisa melakukan keduanya, apa kau tetap ingin hidup? Aku bahkan tidak bisa mencintai noona dengan tulus. Aku hanya teringat pada Si Nae onni ketika bersama noona. Dan kini…dia bahkan bukan kakakku lagi!!” kemudian Hong Gi menggeram. Dia kembali menerjang Jong Hoon dan memukulinya tanpa ampun, seolah Jong Hoon lah yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang menimpanya.

“Tolong…bebaskan aku,” pinta Hong Gi sekali lagi saat dia sudah merasa letih memukuli Jong Hoon yang tak menggubris. “Serahkan mataku, untuk noona. Kumohon.”

Hong Gi menyodorkan sebilah pisau pada Jong Hoon sambil tersenyum licik. Mata itu berkilat penuh kemenangan, ketika Jong Hoon akhirnya menerima pisau tersebut dengan tangan bergetar. Ujung pisau itu sudah terarah pada Hong Gi. Tepat pada jantungnya. Masih dengan senyum mengerikan, Hong Gi meraih tangan Jong Hoon dan membantu menghunuskan pisau tersebut ke jantungnya sendiri.

Jong Hoon membeku. Wajahnya pucat.

Ketika akhirnya cairan kental berwarna merah dan berbau anyar itu perlahan mengalir, Hong Gi mendorong tangan Jong Hoong. Dia menghapuskan jejak tangan Jong Hoon dalam pisau dan tersenyum senang. Tampak sedikit binar di mata jenakanya yang belakangan seolah tertutup kabut.

“Berikan noona kebahagiaan,” kata Hong Gi pelan sesaat sebelum terjatuh.

Kini, akhirnya aku bisa menjangkau kebebasan. Inilah kebahagiaanku. Noona, selamat tinggal. Maaf, kuharap di kehidupan mendatang, aku bisa mencintaimu dengan tulus.

****

Seorang gadis berdiri di depan sebuah nisan. Dia mengenakan pakaian serba putih dan kacamata hitam bertengger manis di tulang hidungnya. Sepasang mata di balik pelindung berwarna gelap itu, menatap nama yang tertoreh di nisan dengan sorot sedih dan kecewa.

“Hong Gi….maaf,” kata gadis itu dengan bibir bergetar.

Sebulir air mata, jatuh ringan di salah satu pipinya. Ada perasaan menyesal yang secara tiba-tiba begitu menyesakkan seluruh rongga dadanya. Perasaan yang sulit diungkapkan, namun terlihat jelas dari ekspresi wajahnya.

Karena tanpa di sadari, Boa sangat membutuhkan keberadaan Hong Gi.

Satu Bintang Yang Terlupa (Re-Posting)

By : Clara

Sebagai seorang siswa SMA, Jong Hoon bukanlah cowok yang suka belajar. Jong Hoon juga bukan cowok yang menyukai keramaian. Jong Hoon lebih menyukai suasana sepi sambil membaca. Dan untuk itu Jong Hoon harus mempunyai sebuah tempat persembunyian.

Tempat itu berada di sudut perpustakaan sekolahnya. Tempat yang tenang dan jauh dari jangkauan hingar bingar kawan-kawan. Tidak ada yang tau soal kebiasaan Jong Hoon ini. Tidak ada, karena Jong Hoon pun nyaris tidak memiliki teman dekat. Sikapnya yang pendiam serta sedikit canggung dan kaku, membuat Jong Hoon popular hanya karena wajah putihnya yang tampan. Karena itu, tidak akan ada yang tau kemana Jong Hoon pergi, jika dia tidak ada di bangku kelasnya.

Tapi dia tau.

Dia, cewek yang setahun ini selalu bersamanya dan sedang berada dalam kepala Jong Hoon, saat ini—saat tangannya sibuk melipat-lipat kertas berkilauan warna warni, menjadi sebuah bentuk bintang yang indah.

Kalau aja ada anak perempuan yang ngeliat apa yang aku lakuin waktu itu, pasti mereka bisa ketawa…

Jong Hoon tersenyum. Bintang-bintang buah tangannya sudah terkumpul sangat banyak di dalam sebuah toples plastik. Yah, target Jong Hoon memang membuat seribu bintang. Katanya, dengan seribu bintang yang kita kerjakan, bisa mengabulkan sebuah permintaan.

Dan Jong Hoon punya permintaan itu.

Semua untuk cewek itu…

Sun Ye…

***

Setelah bel pulang berbunyi, Jong Hoon keluar dari persembunyiannya. Tadi pelajaran Biologi dan Jong Hoon sudah membolos karena tidak suka dengan pelajaran ilmiah tersebut. Jong Hoon lebih memilih sibuk dengan bintang-bintang hasil tangannya, yang ternyata begitu rapih.

Sambil memandangi toples plastik berpita merah muda di tangan kanannya, Jong Hoon melangkah menuju kelas Sun Ye, di lantai dua. Senyum mengembang, membayangkan Sun Ye akan menyukai hadiah kejutan yang sederhana itu.

Sepatu sneakers Jong Hoon berhenti tepat di depan pintu kelas 11.3. Namun, Jong Hoon urung untuk masuk ke kelas, apalagi menghampiri seorang cewek berambut hitam pendek, yang sedang berdiri sambil menempelkan ponsel ke telinganya. Dia membelakangi pintu masuk kelas.

“Kenapa kau menuduhku menyukai Jong Hoon?! Aku dan Jong Hoon tidak pernah lebih dari sekedar teman dan kalian tau untuk siapa aku melakukan ini, kan? Won Bin...teman kalian juga. Orang yang paling kusayang…,” suara lembut itu terdengar sinis.

Senyum Jong Hoon mendadak sirna. Matanya yang sipit berkilat kecewa. Ada rasa marah yang menyeruak di dada. Tangan kirinya mengepal kuat-kuat.

Jong Hoon masih tetap berdiri di balik pintu.

“Ya, tentu saja kalau Jong Hoon tidak memukuli Won Bin hingga babak belur, aku tidak akan sudi berkenalan dengan Jong Hoon…Ok, aku mengerti…Rencana kita pasti berhasil…Ok, kalian tunggu saja…”

Sebelum percakapan itu usai, Jong Hoon buru-buru meletakkan toples plastiknya di depan pintu. Setelahnya, Jong Hoon memilih pergi.

Pikirannya kacau. Hatinya baru saja tersayat begitu perih. Kini dalam kepalanya, masa lalu itu seolah kembali terbuka. Dia harus menenangkan diri. Dan setelahnya, berpura-pura tidak ada yang terjadi.

Semua hanya mimpi buruk.

Aku mungkin pengecut, tapi cukup jelas kalau aku bodoh karena bisa tertipu kamu, Sun Ye. Ah….salah, rasanya aku terlalu bodoh karena kamu satu-satunya yang nggak bisa ku benci...

***

FLASHBACK

Hari itu hujan cukup deras mengguyur kota.

Di sebuah lapangan, tampak enam orang cowok berdiri berhadapan dengan seorang cowok lain, tanpa peduli tetesan air yang membasahi seluruh tubuh mereka.

Dua sisi kubu yang sangat bertolak belakang. Mereka saling menghujam dengan sorot mata yang tajam dan penuh dengki. Seorang cowok yang berdiri sendiri, mengepal kuat-kuat tangannya.

“Kau yang akan bertanggung jawab,” katanya dengan suara dalam yang tertelan bunyi gemuruh hujan. “Kau harus mati.”

“Aku...Oh Won Bin tidak mungkin mati hanya karena satu orang seperti kau,” jawab seorang cowok berambut lurus, yang berdiri paling depan di kubu yang berbeda.

Cowok yang sendirian bernama Jong Hoon itu tersenyum sinis. “Satu lawan satu,” ujarnya.

Won Bin mengangguk pelan. Kemudian, sesaat dia berbalik menghadap kelima temannya dan menyuruh mereka untuk tidak mencampuri perkelahian kali itu. “Ini urusanku dengan bajingan itu,” ujar Won Bin.

Setelahnya, Won Bin mendekati Jong Hoon dan langsung mengarahkan satu tinju tepat ke arah ulu hati cowok itu. Jong Hoon terhuyung tapi tidak terjatuh. Air hujan membuat mata sipitnya kesulitan untuk melihat dengan jelas wajah Won Bin. Tapi Jong Hoon tidak peduli. Segera setelah serangan pertama Won Bin, Jong Hoon melemparkan sebuah pukulan.

Won Bin bertahan dengan satu pukulan itu dan membalas Jong Hoon dengan tinju lain di pipi Jong Hoon. Tidak mau kalah, Jong Hoon kembali membalas Won Bin. Tendangan, tinju ke seluruh bagian tubuh, semua saling dilayangkan. Hingga akhirnya sebuah celah, membuat Won Bin terjatuh.

Kesempatan itu digunakan Jong Hoon untuk duduk di atas perut Won Bin, memukuli wajah cowok itu dengan penuh napsu seperti binatang liar, sampai berlumuran darah dan memar, lalu menginjak-injak perut Won Bin hingga darah yang menyembur dari mulutnya tidaklah sedikit.

Won Bin berada di posisi kalah. Tubuhnya yang kedinginan sudah mulai kelelahan. Air hujan pun semakin terasa menyiksanya.

Kelima teman Won Bin sudah sangat ingin membantu, tetapi Won Bin malah berteriak keras melarang mereka. Saat lengah itu juga, Jong Hoon memanfaatkan kesempatan untuk menginjak perut Won Bin dengan sekuat tenaga. Namun, Won Bin berusaha menahannya. Sayang, tenaga Won Bin sudah habis. Hanya dengan sedikit menambah kekuatannya, Jong Hoon sudah bisa membuat sisa pertahanan Won Bin hancur.

Cowok itu meringis saat perutnya sekali lagi terinjak. Dan kali ini, Won Bin hanya bisa terdiam. Dia meringkuk, menahan sakit. Sungguh tidak berdaya.

Melihat itu Jong Hoon melempar pandangan puas ke arah Won Bin, lalu pergi meninggalkan tempat itu, tanpa peduli dengan kelima teman Won Bin yang memakinya dan berniat mengeroyok Jong Hoon, namun tidak bisa karena Won Bin sudah tergeletak diam.

Ada sedikit kilat rasa puas di sudut bola matanya.

Sungguh, semua itu diluar kendali emosiku...

***

Di belakang sekolah, ada sebuah pohon besar dengan daun yang begitu rindang. Tempat yang sepi dan teduh. Rasanya begitu nyaman berada di sana, berlindung dari teriknya matahari siang.

Jong Hoon berdiri di depan pohon itu dengan tas terselampir di pundak kanannya. Dia tertunduk lesu menatap ujung sepatunya. Ujung sepatu itu mungkin sudah mulai kotor, tapi Jong Hoon merasa dirinya jauh lebih kotor.

Kehidupannya dua tahun lalu, sebelum memasuki jenjang SMA, sungguh bukan sebuah lembaran hidup yang membanggakan. Sebaliknya, Jong Hoon sudah sangat menutup rapat-rapat kotak memori tentang masa lalunya. Jong Hoon selalu berharap tidak ada yang pernah membukakan kotak itu untuknya.

Tapi dia salah.

Sun Ye telah melakukannya.

Dan memori masa lalu yang begitu dibencinya itu mulai berkelebat lagi di kepala. Masa lalu yang telah membuatnya sengsara. Ayahnya pergi bersama seorang janda dengan seorang anak bernama Won Bin, meninggalkan Ibunya yang kemudian memilih untuk bunuh diri.

Jong Hoon mengatupkan bibir tipisnya. Kedua alisnya bersatu, mengkerut. Tiba-tiba dia melayangkan satu tinju ke tubuh pohon tak berdaya itu. Berulang-ulang dan tanpa suara, sampai Jong Hoon merasa emosinya cukup reda.

Pelipisnya berkeringat dan napasnya terengah-engah. Buku-buku jarinya pun terasa perih dan terluka. Tapi dia tidak peduli. Meskipun luka itu berdenyut sakit, namun tidak sesakit perasaannya.

Cewek satu-satunya yang dia sayang, ternyata hanya memanfaatkannya!

Jong Hoon meninju pohon itu lagi untuk yang kesekian kali. Terakhir, dia terduduk lemas dengan satu kaki menopang tangannya yang terluka, sebelum ponselnya bergetar. Melihat tampilan nama pada ponselnya, Jong Hoon menelan ludah.

Ditatapnya sejenak ponsel berwarna putih itu.

Kamu tau, saat itu aku berpikir sebaiknya aku tidak menjawab teleponmu. Tapi aku juga berpikir, mungkin dengan berpura-pura kalau semua tidak pernah terjadi, lama-lama kamu akan lupa bahwa kamu sedang memanfaatkanku…

“Ya?” Jong Hoon menempelkan posel itu ke telinga dengan tangannya yang masih memar, sambil bersender pada tubuh sang pohon.

“Jong Hoon, kamu yang memberiku seribu bintang?”

“Ngng…ya. Aku…buat itu…”

“Makasih, ya. Aku suka. Bintangnya sungguh ada seribu?”

“Ngng…aku rasa…” sahut Jong Hoon tak begitu semangat.

“Jong Hoon? Kamu dimana? Aku…boleh pulang duluan?” suara itu terdengar agak khawatir. Entah kenapa, tidak peduli palsu atau tidak, Jong Hoon tetap menyukainya.

Cowok berambut hitam itu terdiam beberapa saat, sementara sudut bibirnya mencuat sedikit. Tenggorokannya mendadak kering. Rasanya sulit sekali mengeluarkan kata-kata larangan untuk Sun Ye.

“Ya. Ok,” hanya itu yang akhirnya meluncur dari mulut Jong Hoon. Agak sedikit bergetar.

“Jong Hoon, kamu…kenapa?” tanya orang di sana.

“Tak apa. Kamu tak perlu cemas. Hati-hati pulangnya,” kata Jong Hoon serak. “Nanti aku telepon lagi.”

Kemudian Jong Hoon menutup flip ponselnya dan memasukkan ke dalam saku celana seragam sekolah. Entah kenapa baru kali ini dia merasa begitu nelangsa.

Sun Ye, aku hanya ingin tau, apa benar aku sama sekali tidak berarti buat kamu? Paling tidak setelah kita dekat selama satu tahun ini…

***

Tadinya Jong Hoon tidak ingin pulang. Namun teringat Sun Ye yang selalu pulang bersamanya, Jong Hoon pun mendadak mengkhawatirkan cewek itu.

Akhirnya dia memutuskan untuk mengawasi jalan pulang Jong Hoon. Dengan menjaga jarak hingga beberapa meter, Jong Hoon mengikuti tiap langkah Sun Ye. Sesekali Jong Hoon bersembunyi kalau-kalau Sun Ye tampak menoleh ke belakang. Entah mengapa, yang jelas, Jong Hoon tidak ingin Sun Ye mengetahui keberadaannya. Jong Hoon hanya ingin menjaga Sun Ye, meski cewek itu telah secara tak langsung menolaknya mentah-mentah.

Di pertengahan jalan, Sun Ye berbelok menuju sebuah lorong jalan buntu. Di sana Sun Ye bertemu dengan lima orang cowok yang tampak sangar di balik seragam blazer sekolah mereka yang berantakan.

Jong Hoon mengawasi dari tempatnya, di balik tiang. Jong Hoon tampak khawatir. Namun, baru saja hendak melangkahkan kaki bermaksud melabrak lima cowok berandal itu, otak Jong Hoon seolah memerintahkan kakinya untuk tetap diam.

Mungkin saja cowok-cowok dari sekolah lain itu adalah teman-teman Sun Ye yang dimaksud cewek itu dengan “kalian” di pembicaraan telepon beberapa saat lalu.

Mengingat hal itu hati Jong Hoon kembali berdenyut nyeri.

Berusaha menyingkirkan rasa sakit hatinya, Jong Hoon mencoba berpindah tempat persembunyian supaya bisa mencuri dengar apa yang orang-orang itu diskusikan. Kali ini, dari balik tembok sebuah toko roti, cowok jangkung itu bisa mendengar samar perkataan tiap-tiap orang tak dikenalnya.

“Ponselmu?” tanya seorang cowok botak. Tampaknya seperti pemimpin di antara yang lain. Dia menyodorkan telapak tangannya yang terbuka ke arah Sun Ye.

“Menyebalkan,” gerutu Sun Ye yang setengah hati memberikan ponselnya kepada si cowok botak.

“It`s our plan,” kata si cowok itu. “Apa pun yang akan kita lakukan, kau harus ikut membantu. Bukan begitu, Sun Ye? Apa yang kau inginkan? Mati atau sekarat?”

Sun Ye tersenyum sengit. “Mati.”

Kontan jawaban itu membuat kawan-kawannya tertawa. Salah seorang cowok yang berambut panjang diikat, berkacak pinggang. “Kau gila! Won Bin hanya luka memar dan kau meminta nyawa orang?!”

Alis Sun Ye terangkat-tampak tersinggung. “Kamu kira luka Won Bin hanya memar saja? Dia hampir mati kalau si botak ini tidak berinisiatif menolongnya! Kalian sendiri hanya bisa mematung!” ujar Sun Ye sinis sambil menunjuk cowok botak tadi dengan dagunya. “Lagipula…satu ginjal Won Bin mengalami kerusakan,” tambah Sun Ye sambil menahan air mata yang mulai mendesak keluar.

“Aku mengerti,” sahut si cowok berambut panjang. “Sorry.”

Si botak buru-buru menengahi. “Tidak ada yang perlu disesali, bukan? Semua juga kemauan Won Bin. Yang penting, kita akan membalaskan dendamnya. Demi kawan kita, Won Bin.”

Di tempatnya berdiri, Jong Hoon membeku. Rupanya Sun Ye tidak hanya menyilet hati Jong Hoon dan menyirami dengan jeruk nipis, tapi cewek itu telah merajamnya hingga hancur.

Sungguh, kini Jong Hoon benar-benar putus asa, sampai-sampai dia merasa otaknya mengalami kekurangan oksigen untuk berpikir jernih.

Jong Hoon mengepalkan kedua tangan. Dia mengangkat kepala dan memejamkan mata, berharap emosinya bisa mereda dan semua beban bisa terangkat dalam hitungan detik.

Yah, tentu saja bisa.

Dalam hitungan menit.

Jong Hoon hanya tinggal menunggu. Begitu kawanan berandal dan Sun Ye melintas, Jong Hoon buru-buru memasuki toko roti tersebut dan mengawasi mereka sampai menghilang, dari balik pintu kaca.

Sun Ye, wajar kan kalau aku takut saat menanti waktu untuk mati? Tapi aku sayang kamu. Sungguh, ini tulus…

***

Ponsel Jong Hoon bergetar. Inikah saatnya?

Mata Jong Hoon menatap layar ponsel dan melihat nama Sun Ye tertera di sana. Jong Hoon terdiam. Perasaan takut, benci, marah dan kecewa benar-benar telah menyihirnya menjadi seseorang yang mungkin tidak waras.

Tanpa semangat, Jong Hoon mendekatkan ponsel itu ke telinga.

“Ya?” ujar Jong Hoon dengan suara pelan.

“Jong Hoon?” tanya suara di sana. Suara berat dan serak, namun penuh nada sindiran.

“Ya,” lagi-lagi Jong Hoon menjawab singkat. Namun kali ini bernada rendah. Dan dia merasa tidak perlu bertanya karena merasa cukup mengetahui apa yang akan terjadi.

“Kuberitau kau. Kekasihmu, Sun Ye…dia sedang ada bersama kami. Dan kalau kau ingin dia selamat, segeralah datang ke blok lima. Sendiri. Ingat, jangan coba-coba meminta bantuan atau Sun Ye-mu akan celaka. Aku ingin membuat perhitungan denganmu. Atas nama Won Bin!”

Kemudian telepon terputus. Suara pip panjang masih terdengar di telinga Jong Hoon kala dia belum menurunkan ponselnya. Perlahan, tangan Jong Hoon bergerak turun dan ponsel itu terjatuh begitu saja, di depan toko roti.

Sun Ye, karena kamulah, aku memilih jalan ini…

***

Dengan sedikit tegang, Jong Hoon memasuki sebuah ruangan di blok lima, seperti apa yang dikatakan seseorang di telepon tadi.

Ruangan itu cukup luas, namun kotor. Beberapa meja tertata asal dan di atasnya terdapat botol-botol bir. Bau keras alkohol menyapa hidung mancung Jong Hoon. Kedatangan Jong Hoon, langsung mendapat tatapan sinis dari cowok-cowok yang dilihatnya di jalan buntu dekat toko roti tadi.

Di tengah sana, Sun Ye duduk di atas kursi kayu dengan kedua tangan diikat. Jong Hoon menghela napas diam-diam. Dia tidak bicara sepatah kata. Tidak juga berbasa-basi-memohon pada mereka agar melepaskan Sun Ye. Jong Hoon sangat yakin kalau Sun Ye tidak akan tersakiti. Itu sudah cukup.

Jong Hoon benar-benar tidak mengeluarkan sepatah kata dan hanya mengamati mereka, dari sudut matanya. Dia harus bisa menguasai rasa takutnya untuk mati. Dan dia sedang melakukan itu.

“Kekasihmu ini…apa lebih baik aku menorehkan luka di wajahnya atau….?” seruan seseorang membuat suasana yang sempat membeku, berubah menjadi tegang.

“Jangan…Jangan sentuh dia,” sahut Jong Hoon gamang. Tatapan sulit diartikan, terarah pada Sun Ye yang balas menatapnya dengan pandangan memohon yang –tentu saja- dibuat-buat.

“Cih,” si cowok botak membuang ludah. “Kau akan mati, sialan!” serunya.

Kemudian dia memberikan tanda pada teman-temannya untuk menyerang Jong Hoon. Kelabakan mendapat serangan mendadak, Jong Hoon sempat terhuyung. Tapi keseimbangannya segera kembali. Dia hendak meninju cowok botak itu, namun tiba-tiba Jong Hoon berhenti dan membiarkan satu pukulan lagi menghantam perutnya.

Setelah itu, kekuatan Jong Hoon mendadak hilang. Tidak, bukan karena benar-benar hilang, tapi karena Jong Hoon sendiri yang mempersilahkan kekuatannya pergi.

Jong Hoon membiarkan kelima cowok itu menyerangnya sekaligus. Jong Hoon juga membiarkan mereka memukulnya dengan kayu atau besi yang ada. Jong Hoon, bahkan membiarkan darah mengalir dari tiap lukanya dan menahan setiap memar yang begitu menyakitkan.

Bukankah itu yang kamu mau, Sun Ye? Paling tidak, kalau selama setahun kedekatan kita tidak berarti apa-apa untukmu, tentunya nyawaku ini bisa menjadi sesuatu yang berarti untukmu…

Jong Hoon jatuh tersungkur. Bibirnya sudah sobek, seluruh tubuhnya pun memar dan mengeluarkan darah. Jong Hoon meringis kesakitan. Tapi ekor matanya masih tetap mengamati Sun Ye. Ternyata cewek itu juga tengah mengawasinya. Namun, tidak ada kepanikan di sana. Ekspresi Sun Ye tampak begitu datar dan dingin.

Kelima cowok tadi pun semakin membrutal. Sementara Sun Ye masih tetap diam di tempat, mengawasi namun seolah berpesta atas penderitaan Jong Hoon. Sedangkan Jong Hoon, kali ini mulai meringkuk di atas lantai semen dengan kedua tangan berusaha melindungi kepalanya. Karena, Jong Hoon masih ingin melihat Sun Ye.

Semakin lama, Jong Hoon pun semakin tidak berdaya. Hingga kelima cowok tadi merasa cukup puas melihat Jong Hoon yang sudah kesakitan dengan luka di sekujur tubuh. Mereka menghentikan penganiayaan itu dengan sebuah tendangan yang tepat mengenai ulu hati Ben. Darah segar langsung mengalir lebih deras di sudut bibir tipisnya yang merah, menyatu dengan kotoran dan keringat yang sudah menghiasi wajah ovalnya.

Tapi Jong Hoon merasa tidak puas.

Sungguh di luar dugaan, Jong Hoon merasa masih kuat kalau harus mendapat beberapa pukulan lagi hingga nyawanya melayang.

Dengan tenaga yang tersisa, tangan Jong Hoon menjangkau sepatu si cowok botak, yang menjauh hendak melepaskan ikatan Sun Ye.

“Apa yang kau lakukan?!” bentak si cowok botak.

Jong Hoon hanya bisa mendongak, menatap sambil menahan sakit. Tatapan pilu yang seolah menyuruh cowok itu untuk menghabisi nyawanya.

“Kau sungguh ingin mati?!” ujar si cowok botak lagi. Dia lantas melirik ke arah Sun Ye. Cewek itu masih bergeming tanpa ekspresi. “Kau memang gila, tapi temanku bisa membantu menghabisi nyawamu…”

Cowok botak itu kembali mengajak teman-temannya untuk mengeroyok Jong Hoon. Sekali lagi, tubuh lemah Jong Hoon harus terkena pukulan dan tendangan.

Tiba-tiba Sun Ye berdiri. Rupanya ikatan tali itu dibuat sengaja tidak kuat menahan dirinya. “Stop!” jeritnya kaku.

Kelima cowok itu menoleh menatap Sun Ye. Tak terkecuali Jong Hoon, meskipun matanya yang mungkin sudah lebih sipit karena memar dan berdarah, menghalangi pandangannya hingga buram. Sejenak Sun Ye membeku karena tatapan semua orang yang tertuju padanya.

“Kita pergi,” ajak Sun Ye, beberapa detik berikutnya, sambil mengalihkan pandangan dari tatapan Jong Hoon yang begitu memelas.

Si cowok botak meludah. Lalu dia bergerak keluar bersama keempat temannya. Terakhir, Sun Ye mengikuti langkah mereka. Namun, ketika melewati Jong Hoon yang terbaring tak berdaya, kaki jenjang Sun Ye mendadak membeku. Sun Ye menoleh sekilas, lalu berlalu seakan acuh.

“Sun…Ye…” panggil Jong Hoon setengah meringis.

Sun Ye kembali menghentikan langkahnya. Kelima teman premannya juga menoleh, tapi Sun Ye memberi aba-aba supaya mereka pergi lebih dahulu. Sun Ye membalikkan badan. Saat itu, Sun Ye melihat Jong Hoon sedang merangkak dengan susah payah untuk meraih tas selempangnya yang tergeletak di sisi ruangan.

Ketika Jong Hoon berhasil meraih tasnya, tangan penuh luka itu merogoh saku bagian depan. Sebuah benda berkilauan tampak dari sela jari-jari kotor Jong Hoon. Kemudian, Jong Hoon berusaha untuk menyenderkan tubuhnya ke dinding. Punggungnya sempat terasa nyeri, namun Jong Hoon berusaha bersikap seolah luka-luka di tubuhnya bukanlah masalah besar.

Jong Hoon menatap Sun Ye dengan pandangan sayu yang penuh rasa kekecewaan. Susah payah, Jong Hoon menarik kedua sudut bibirnya hingga menghasilkan sebuah senyum tipis yang tampak begitu suram.

“Boleh…ke sini?” pinta Jong Hoon penuh harap.

Di tempatnya berdiri, Sun Ye sudah memantapkan hati untuk tidak mendekati Jong Hoon. Tapi siapa sangka syaraf otaknya tidak bisa bekerja sama dengan hatinya. Kaki Sun Ye tetap melangkah mendekati Jong Hoon dan berjongkok di sebelah cowok itu.

“Ada…satu bintang…yang lupa aku…masukan ke…dalam toples…” katanya sambil meringis. Lalu Jong Hoon mengangkat tangan dan melepaskan sesuatu dari dalam genggamannya. Sebuah kalung berbandul bintang warna perak, kini bergelayut pelan di tangan Jong Hoon. “Ini bintang ke-1000. Kalau kamu…tidak keberatan, aku hanya ingin…kamu memakai kalung ini…supaya bintang ini…selalu dekat dengan hatimu…” Jong Hoon masih berusaha tersenyum, namun yang tampak hanyalah segaris senyum getir, yang sedang berjuang menahan seluruh rasa sakit.

Mata almond Sun Ye menatap kosong kalung di tangan Jong Hoon. Perkataan Jong Hoon yang terbata-bata seolah masuk begitu dalam ke telinganya, hingga terasa bergaung. Dengan perasaan tak menentu dan tangan gemetar, Sun Ye menerima kalung itu.

Jong Hoon menurunkan tangannya dan kemudian berpaling menatap ujung sepatu. Senyumnya masih seperti semula.

“Sun Ye, setelah ini…kita tidak perlu bertemu lagi. Akan lebih baik…jika kita…seolah tidak saling mengenal. Aku…akan pergi jauh dari…kehidupanmu. Aku…tidak ingin…membuatmu menjadi pendendam karena…masalah Won Bin. Ini semua…kesalahanku juga kekhilafanku. Maaf,” Jong Hoon berusaha tersenyum lebih lebar, namun yang terjadi malah Jong Hoon meringis kesakitan. Jong Hoon tertawa kecil. Tepatnya memaksakan diri. “Sakit…Sun Ye…maaf karena aku tidak mati.”

Setelah kalimat itu, Sun Ye berani bersumpah bahwa itu bukan keinginannya, ketika air mata itu menetes dari kedua matanya.

“Pergi…” ujar Jong Hoon pelan sambil memutar kepalanya menjauhi tatapan Sun Ye. Dia tidak mau melihat air mata cewek itu. “Pergi…Sun Ye…”

Mau tak mau, Sun Ye pun berdiri. Sambil tetap menatap Jong Hoon yang terkapar penuh luka, Sun Ye melangkahkan kakinya dengan berat, meninggalkan Jong Hoon sendirian di ruangan pengap tersebut.

Maaf, Sun Ye… karena aku tidak mati, sesuai dengan keiingananmu…

Dan setelahnya, sebulir air mata Jong Hoon menetes.


---fin---

Sayonara bag 1

By : Clara

Ardan duduk termenung di meja belajarnya. Beberapa buku pelajaran terbuka lebar di hadapannya, tapi ia sama sekali tidak sedang membacanya. Matanya memandangi foto yang berdiri tegak di sudut meja. Foto itu diambil ketika dia lulus dari SMP, bersama dengan seorang cewek berambut panjang, kira-kira dua tahun yang lalu. Cewek itu tersenyum manis sambil merangkul Ardan, sementara tangan kanannya memamerkan surat tanda kelulusan. Namanya Rianda.

Cewek ini adalah sahabat Ardan sejak kecil. Ketemu pertama kali waktu di TK dan sejak itu Ardan selalu mendampingi kemana pun Rianda pergi. Soalnya waktu kecil, Rianda itu suka banget diganggu sama anak-anak bandel yang sering ngumpul di gang deket sekolahnya. Walaupun Ardan waktu itu belum bisa berantem, paling enggak dia bisa bantu teriak-teriak kalo udah kepepet.

Setelah beranjak remaja, Ardan jadi cowok yang lumayan sering berantem. Banyak yang mencap dia sebagai tukang berkelahi, padahal itu nggak bener. Dia berantem kalo udah bener-bener kepepet aja. Lagipula, biarpun suka berkelahi, Ardan bisa dibilang cowok yang manis, ramah dan suka bercanda, walaupun kadang emosinya nggak bisa terkontrol. Makanya waktu SMP Ardan cuma punya dua temen baik, Rianda dan Dito, yang sampe sekarang menjadi temen deketnya di SMU. Kecuali Rianda. Soalnya ketika masuk SMU, Ardan nggak sanggup masuk SMU negri yang sama kayak Rianda karena NEM-nya jauh di bawah Rianda.

Awalnya mereka masih mampu membagi waktu untuk saling ketemu di rumah salah satu dari mereka. Biasanya mereka ketemu seminggu sekali. Berbeda dengan sekarang. Setelah Rianda sibuk dengan urusan sekolahnya, waktu ketemu dengan Ardan semakin jarang. Bahkan hampir nggak pernah lagi. Terutama dua bulan belakangan ini. Hal ini yang ngebuat Ardan menjadi kelimpungan. Dia udah berusaha untuk menghubungi Rianda, tapi hasilnya nihil. Otomatis Ardan cuma bisa menunggu Rianda sendiri yang menghubunginya.

Tok...tok...tok...

Suara itu mengagetkan Ardan yang sedang melamun hingga akhirnya ia tersentak kaget. Belum juga disuruh masuk, tiba-tiba pintu terbuka dan munculah seorang cewek mengenakan kaos dan celana pendek. Kulitnya putih, matanya bulat, pendek dan rambutnya dikuncir samping. Dari wajahnya bisa dilihat kalo dia adalah adiknya Ardan. Namanya Gista dan masih duduk di kelas 3 SMP.

“Mas, makan malem `dah siap tuh,” ujarnya sambil bersender di pintu.

“Hmm...” Ardan berpura-pura sibuk sama buku Sejarahnya, padahal jelas-jelas dia tau kalo besok nggak ada pelajaran sejarah sama sekali.

“Emang lagi sibuk banget ya?” Gista mendekati Ardan dan mencoba melihat apa yang dikerjakan kakak satu-satunya itu.

Ardan langsung menutup bukunya dan nyengir ke arah adiknya itu. Gista memicingkan matanya. Seolah-olah nggak peduli, Ardan malah merapihkan buku-buku yang asal berserakan itu dan kemudian menarik tangan Gista untuk keluar dari kamarnya.

***

Malam itu Ardan nggak bisa tidur. Entah kenapa seharian itu dia kepikiran terus sama Rianda. Baru disadari, betapa rindunya Ardan akan sahabatnya yang satu itu. Perasaan yang sama pun juga dirasakan Rianda, malam itu. Dia merasa bersalah karena selama beberapa minggu belakangan ini nggak pernah menghubungi Ardan.

Rianda mengatur posisi duduknya di tempat tidur sementara menunggu telpon disambungkan dengan orang di seberang sana.

“Ardan!” seru Rianda begitu mendengar suara cowok di sebelah sana. “Ini Rian.”

“Rian?! Hai....apa kabar lo?” tanya Ardan dengan nada penuh kerinduan. “Akhirnya bisa nelpon gue juga. Sibuk apa sih? sampe kayak tiba-tiba ilang dari hidup gue.”

“Ngawur banget sih ngomongnya. Gue lagi sibuk latian dance terus nih, soalnya bentar lagi ada Transylvania Cup. Sekolah gue ikutan, sekolah lo ikutan nggak? Kalo nggak dance, basket atau sepak bolanya kek, biar kita bisa ketemuan di sana.”

“Kayaknya enggak deh, soalnya kalo ikutan gue pasti ngeliat anak-anaknya pada latihan. Ngomong-ngomong, kapan nih mau main ke rumah gue lagi? Gista sempet beberapa kali nanyain elo. Dia kira kita udah ‘pisah’.....dasar anak SMP.”

“Hehehehe....gue masih belom tau nih....susah juga ya kalo beda sekolah, apalagi kita kebiasaan main bareng sama Dito juga. Tapi lo enak Dito masih sama elo, gue? Waktu masuk sini kan bener-bener seorang diri.”

“Makanya jangan masuk negri.”

“Makanya elo rajin belajar biar bisa nyaingin nilai gue, terus nemenin gue masuk sekolah yang terkenal.”

“Dasar, nggak mau ngalah....”

Rianda nyengir dikatain begitu. Dia emang anak yang keras kepala dan susah untuk ngalah. Tapi dibalik itu semua, Rianda adalah seorang yang sabar, tenang dan mudah bergaul. Makanya Ardan yakin kalo Rianda nggak bakalan kesulitan menemukan temen baru di SMU.

***

Pagi itu SMU Au Revoir, sekolah Ardan kedatangan seorang murid baru. Seorang cewek. Dia emang nggak sekelas sama Ardan, tapi kelasnya ada di sebelah kelas Ardan. Namanya Aninta. Orangnya mungil banget, tampangnya manis, kulitnya putih dan rambutnya agak ikal.

Kehadirannya nggak cukup menghebohkan soalnya masih banyak cewek yang lebih cantik dari dia. Yah....paling enggak begitulah menurut pendapat anak-anak Au Revoir, yang emang terkenal dengan cewek-ceweknya yang cantik dan juga tajir.

Waktu istirahat, Ardan nggak sengaja ngelewatin kelasnya Aninta. Sepi. Hampir semua anak di dalam kelas itu keluar untuk jajan. Soalnya buat anak-anak Au Revoir hari gini nggak jaman kalo harus bawa bekal makanan dari rumah, toh di kantin mereka semuanya udah tersedia.

Sayangnya harga makanan di kantin bisa dibilang cukup mahal, terutama buat seorang Aninta. Makanya, di saat yang lain ada di luar, cewek itu malahan duduk anteng di kursinya di dalam kelas. Sendirian.

Diperhatikannya cewek itu dari balik jendela. Aninta keliatan asik dengan bekal yang dibawanya. Ardan termangu di tempatnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia putuskan untuk pergi ke kantin karena tuntutan perutnya yang kelaparan. Tepat saat itu Aninta menoleh, dan ia mengantar kepergian cowok itu dengan lirikan matanya dan wajah yang penasaran.

Siang itu terik banget. Tapi itu bukan masalah besar buat anak SMU Au Revoir, soalnya mayoritas dari mereka sudah membawa mobil dan sebagian dijemput sama sopirnya. Walaupun ada beberapa dari mereka yang juga hanya membawa motor. Ardan salah satunya. Dia sih nggak demen bawa mobil soalnya dia itu paling suka sama motor. Liat aja motor Ninja-nya yang selalu mengkilap. Itu menandakan kalo dia sering banget ngelapin tuh motor. Saking sayangnya sama Ninja-nya itu, dia rela nyuci motor itu sendiri.

Beda sama Dito, temen sekelasnya yang paling demen sama mobil. Buat Dito mobil itu pelengkap seorang cowok kalo mau ngecengin cewek cantik nan bohai. Maklum, Dito itu termasuk cowok yang malang yang sering banget ditolak sama cewek. Bukan karena Dito anak berandalan, tapi karena cewek yang Dito incer selalu yang udah punya gandengan, bahkan lebih tajir dari dia.
Ardan mulai menstarter motornya. Sambil sesekali menggeber gas motornya, dia memakai jaket dan helm. Tapi tiba-tiba ia melepaskan helmnya lagi begitu pandangan matanya jatuh ke seorang cewek yang sedang berjalan sendirian ke arah jalan belakang, jalan kecil yang juga sebenernya merupakan rute pulangnya Ardan. Cewek itu adalah Aninta. Tas selempangnya keliatan berat sekali di badannya yang kecil.

Cowok itu hanya menatap Aninta dari motornya sampai akhirnya Aninta keluar dari gerbang sekolah dan berbelok di tikungan.

“Bengong aja lo!” seru Jason, salah seorang temen sekelasnya yang juga sama-sama bawa motor. “Ngeliatin apa sih? Setan? Mana ada setan tengah hari bolong kayak gini.”

Ardan hanya tersenyum kecil sambil mengenakan kembali helmnya. Kemudian ia menepuk pundak Jason. “Gue duluan yah. Buru-buru.”

“Buru-buru tapi kok sempet bengong,” ujar Jason pada dirinya sendiri karena Ardan telah berbelok di tikungan depan.

***

Selain Rianda, orang yang paling sering mengganggu ketenangan Ardan berisitirahat di rumah adalah Dito. Sayangnya setelah beberapa bulan absen mengganggu Ardan, kini dia hadir lagi ke tengah-tengah kamar Ardan yang nggak terlalu luas itu.

“Gila, udah lama nggak main ternyata kamar lo udah banyak dirombak yah?” kata Dito sambil mengamati sekeliling ruangan bernuansa abu-abu itu. Di dindingnya tertempel beberapa poster band-band rock yang cukup ternama. Di seberang tempat tidurnya ada televisi dan meja belajar.
“Nggak banyak kok, cuma ditambah tv aja.”

“Ng....ngomong-ngomong, tadi itu cewek yang pake kaos pink itu siapa?”

“Hah? Lo lupa ingetan ya? Cuma setaon nggak pernah ketemu sama adek gue aja langsung keder sama dia yang sekarang. Itu Gista. Anak yang dulunya lo bilang culun.”

“Gista?? Astaganaga.....mimpi apa gue semalem, setaon nggak ketemu, adek lo jadi tambah manis aja. Salah kalo gue bilang dia culun. Ternyata....”

“Apa? Awas lo macem-macem sama adek gue, gue jadiin bacem lo!!”

“Tenang donk.....eh iya, suruh Rianda ke sini donk, gue dah lama banget kan nggak ketemu sama dia. Gimana kabar tuh anak sih?”

“Sibuk.”

“Jangan sewot donk....gue tau lo pasti nggak pengen Rianda jauh dari lo kan makanya lo nggak suka kalo dia sibuk sama ekskulnya?”

Ardan mencibir. “Ngaco!!”

“Lo masih sering ngumpul sama anak-anak motor lo?”

“Kenapa? Ng....belakangan sih agak jarang. Nggak tau mungkin ntar-ntar kali yah, gue lagi nggak ada mood ngetrack.”

“Mau ngebut aja kudu ada moodnya,” ujar Dito sambil menyalakan PS sementara Ardan mengganti seragam OSISnya dengan kaos putih polos. Setelah itu keduanya sibuk main game, padahal tadinya mau ngerjain tugas, tapi namanya juga anak cowok, yang penting seneng dulu. Alhasil mereka kelabakan waktu jam udah menunjukkan pukul tujuh malam.

Sayonara bag 2

Dito lagi jatuh cinta!! Liat aja tampangnya yang senyam-senyum sendiri. Ke kantin sambil senyum, ke toilet juga senyum, bahkan sewaktu dia mendapat angka merah untuk nilai Akuntansinya, dia tetep tersenyum. Aneh? Nggak juga sih, soalnya si Dito ini kalo lagi jatuh cinta emang suka gitu. Sampe ada satu temen kelasnya yang berpendapat kalo otaknya Dito hari itu sedang dipenuhi dengan berbagai adegan mesum.

Ardan, yang emang duduk sama Dito jadi pusing ngeliat perbedaan temennya hari itu, tapi ketika ditanya kenapa, Dito hanya menjawab, “Semua karena cinta.” Alhasil Ardan jadi merinding untuk nanya-nanya lagi. Tapi Ardan penasaran banget sama cewek yang ditaksir Dito kali ini. Kayak apa sih cewek itu sampe ngebuat Dito kleper-kleper kayak ikan yang ditaro di daratan.

Awalnya Dito nggak mau nagsih tau siapa orangnya, tapi ngeliat kegigihan Ardan yang terus mencari tau dengan mencoba menyebutkan nama beberapa cewek yang dikiranya sesuai dengan selera Dito –dimana cewek itu kudu punya bodi bohai bak gitar spanyol, muka mulus, tajir dan hidung mancung kayak Julia Roberts, terserah mau alamiah atau hasil operasi- yang ternyata nggak ada satu pun yang betul. Maka dari itulah akhirnya Dito luluh juga dan mau ngasih tau siapa cewek itu.

“Kalo gue kasih tau, elo janji untuk jangan kasih tau siapa-siapa dulu. Gue nggak mau berita ini kesebar terus gue jadi ditanyain sama orang-orang soal kebenerannya.....”

“Berisik lo, jadi intinya cewek itu namanya siapa?”

Dito memberi tanda ke Ardan untuk mendekat. Ardan pun menurut. Lima detik kemudian, wajahnya langsung dilanda kepanikkan.

“Apa?? Gista??? Adek gue satu-satunya akhirnya digebet cuma sama elo??”

“Maksud lo? Gue aja baru nyadarnya tuh tadi malem, kalo ternyata selama ini orang yang gue idam-idamkan itu adalah Gista. Bisikan hati gue ternyata menuju ke arah Gista. Gimana donk? Namanya juga cinta, kita kan nggak bisa menghindari datangnya cinta....”

“Sok puitis lo. Basi tau!!”

“Ya udah, gini aja deh bro. Gue nggak minta macem-macem ama elo, gue cuma pengen elo ngerestuin hubungan gue ama adek lo, kalo udah lo restuin gue kan bisa pedekate dengan tenang. Bisa kan? Plis....demi temanmu yang selalu melajang ini.....”

Ardan menoyor kepala Dito dan meninggalkannya sendirian di kantin, sementara dia sendiri, langsung balik ke kelas. Gila juga si Dito berani ngegebet Gista, padahal dulunya dia bilang kalo Gista itu culun karena kaca matanya, tapi semenjak beberapa bulan terakhir ini Gista mencoba memakai kontak lens, penampilannya pun jadi berubah.

Bruk....

Tiba-tiba dia menabrak seorang cewek yang keliatannya emang lagi buru-buru.

“Sory, Na.”

“Ardan!!Elo tuh kalo jalan jangan bengong, liat ke depan donk. Ntar kalo lagi jalan di jalan raya lo bisa dicium mobil, mending kalo Mercy, kalo yang nyium bajaj, rugi berat lo.” Protes Nasya, temen sekelasnya yang agak-agak cerewet. Ardan cuma nyengir sebelum akhirnya Nasya pergi sambil tertawa. Nasya orangnya nggak gampang marah, jadi biarpun tadi dia nyerocos kayak lagi ngomel, tapi sebenernya dia itu orangnya ramah dan seneng bercanda.

Begitu Nasya menjauh, Ardan mendapati Aninta yang lagi menyender di sebuah balkon sedang memperhatikannya, tapi langsung memalingkan muka ketika Ardan tersenyum padanya. Cowok itu menarik napas sebelum akhirnya dia mendekati Aninta.

“Hai,” sapa Ardan sambil ikut bersender di balkon.

“Ng...hai juga.”

“Gue boleh kenalan nggak? Nama lo siapa sih?”

“Ooo, gue Aninta. Biasa dipanggil Ninta.”

“Ninta? Yang buat nulis itu yah?”

Aninta tertawa kecil. “Itu Tinta.....ngomong-ngomong nama lo siapa?”

“Ardan. Biasanya anak-anak manggil gue kayak gitu.”

“Emang nama aslinya siapa?”

“Ardan.”

Aninta keliatan bingung, tapi akhirnya dia hanya mengangguk. Dalam hati Aninta bersyukur karena pada hari keduanya di sekolah elit itu ia bisa juga mendapatkan seorang teman. Pada awalnya dia takut nggak bisa bergaul dengan anak-anak yang rata-rata borju semua itu. Dia mengira semua orang di sekolah itu nggak akan mau bergaul dengan dirinya yang hanya seorang anak yatim piatu dan bisa masuk sekolah itu karena orangtua asuhnya yang akan menanggung semua biaya sekolahnya sampe ia kuliah nanti.

Bisa dibilang Aninta adalah anak yang paling beruntung diantara temen-temennya yang ada di asrama, karena cuma dia yang mendapat orangtua asuh yang kaya raya sehingga bisa sekolah di SMU Au Revoir. Walaupun mendapat santunan biaya sekolah, tapi Aninta nggak tinggal satu rumah dengan orang tua asuhnya itu. Mereka bertemu cuma seminggu sekali untuk jalan-jalan.

***

Sudah seminggu ini Ardan jadi deket sama Aninta. Mereka sering ke kantin bareng atau ngerjain PR bareng. Kedekatan Ardan dan Aninta agak membuat Dito kesel, soalnya Dito serasa dilupakan. Padahal sih Ardan enggak ada maksud kayak gitu. Ardan tuh bukan tipikal orang yang gampang ngelupain temen lamanya, cuma mungkin kali ini dia lagi ngerasa betah aja deket-deket sama Aninta.

“Ninta....” panggil Ardan. Cewek itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke asal suara. “Pulang bareng gue yuk.”

“Ng....nggak usah `Dan, gue udah biasa kok jalan kaki. Lagian nanti gue juga naik bis.”

“Kenapa? Apa karena gue cuma bawa motor sementara yang lain bawa mobil??”

“Bukan....bukan karna itu, tapi....”

Aninta terdiam sejenak. Dia berpikir keras apakah dia harus memberi tahu Ardan tentang dirinya? Dia nggak mau Ardan ngejauhin dirinya cuman gara-gara status anak asrama yang nggak punya apa-apa. Tapi....

“Elo cerita aja sama gue, ada apa. Gue nggak sama kayak anak-anak yang lain, yang kalo temenan musti liat apa dia anak orang kaya atau bukan. Lagian gue sendiri juga bukan orang kaya, terus ngapain gue harus milih temen.”

Cewek itu keliatan mau ngucapin sesuatu tapi dipotong sama ajakan Ardan untuk naik motornya dan mencari tempat yang enak buat ngobrol. Aninta nggak bisa menolak lagi, dan akhirnya dia udah duduk di motor di belakang Ardan.

Mereka berhenti di sebuah taman perumahan yang nggak jauh dari rumah Ardan. Taman itu sering didatenginnya bareng Rianda waktu kecil buat main bareng di sana. Tempatnya enak, banyak pohon yang bikin suasana jadi teduh dan juga banyak berbagai macam permainan untuk anak-anak.

Suasana siang itu masih agak sepi, soalnya anak-anak kecil yang suka main di situ pastinya lagi asik tidur di rumah masing-masing dan baru keluar ditemenin sama pembantunya yang sekalian mejeng diantara abang-abang, kalo udah sore.

Ardan dan Aninta duduk di dalam gazebo yang letaknya di tengah taman itu.

“Gue beda sama anak-anak Au Revoir yang lain. Gue bukan orang kaya. Gue juga udah nggak punya orangtua lagi. Sekarang gue tinggal di asrama soalnya sodara gue semuanya di luar kota, dan rata-rata dari mereka juga nggak mampu. Jadi daripada gue jadi beban mereka mending gue tetep di Jakarta dan nyari tempat tinggal yang layak buat gue. Untungnya gue bisa tinggal di asrama. Setaon yang lalu gue sempet disekolahin ke SMU negri yang kualitasnya nggak bagus. Gue nggak bisa berbuat apa-apa, toh itu pun gue juga dibayarin. Sampe akhirnya beberapa bulan yang lalu ada orangtua yang pengen ngadopsi anak kecil. Tapi nggak tau kenapa, mereka akhirnya mau jadi orangtua asuh gue, padahal mereka udah dapetin anak angkat.

Mereka orang kaya. Dan atas bantuan mereka juga akhirnya gue bisa sekolah di Au Revoir, bener-bener di luar dugaan dan bayangan gue. Temen-temen satu kelas gue tau kalo gue anak asuh, soalnya guru yang waktu itu nganterin gue ke kelas 11.4 bilang sama anak-anak satu kelas kalo gue itu anak asuh yang bisa masuk ke sekolah itu atas bantuan orang lain. Makanya gue menutup diri sama mereka, karna gue takut anak-anak pada ngejelek-jelekin gue. Dan karna itu juga sebenernya gue takut ngasih tau ke elo, gue takut elo bakal nggak mau temenan lagi sama gue.”

“Lo salah Nin. Gue bukan orang yang kayak gitu. Gue nggak peduli lo anak siapa, gimana cara bisa masuk Au Revoir, atau punya uang berapa. Itu nggak penting.”

Aninta menarik napas lega. “Syukur deh.”

“Sebenernya gue udah merhatiin elo dari awal,” ujar Ardan sambil membetulkan posisi duduknya. Sekarang kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sementara ia bersender pada sebuah bangku dan kaki kanannya diangkat. Aninta terperanjat. “Awalnya gue cuma bingung kenapa elo sendirian, padahal gue nggak pernah liat ada anak baru yang sekolah di Au Revoir yang sendirian pas istirahat apalagi pulang jalan kaki.”

“Tapi sekarang elo nggak bingung lagi kan?”

“Yah....tapi gue yakin, kalo elo coba untuk terbuka sama mereka, nggak mikirin status lo, mungkin aja mereka masih ada yang mau main sama elo. Gue....dulunya orang yang tertutup banget. Semua itu karna gue dapet cap sebagai anak yang suka berantem. Tapi gue sadar, gue nggak bisa begitu selamanya. Gue nggak mau cuma punya dua temen seumur hidup gue. Jadi gue berubah.

Gue berusaha untuk jadi orang yang lebih ramah dan yang penting terbuka sama orang lain, nggak peduli mereka tau masa lalu gue atau enggak. Tadinya gue juga sempet pesimis, tapi setelah gue coba.....gue berhasil. Sekarang gue nggak kayak dulu lagi. Gue sekarang lebih terbuka sama orang, makanya temen gue cukup banyak dibanding waktu gue SMP.”

“Apa di SMP lo nggak punya temen sama sekali?”

Ardan menggelengkan kepala kuat-kuat. “Nggak. Gue punya dua sahabat sekarang. Yang satu sahabat dari kecil. Yang satu lagi Dito. Mereka yang ngebuka mata gue.”

“Sahabat dari kecil? Cewek apa cowok?”

Ardan tertawa kecil. “Cewek, namanya Rianda. Sampe sekarang kita masih sahabatan, cuma jarang contact aja. Maklum dia lagi sibuk berat sama urusan ekskulnya. Tapi gue percaya dia bisa jaga dirinya.”

“Oooo...” Aninta mengangguk sambil senyum-senyum. Ada satu hal yang bisa dia ambil dari percakapan panjangnya dengan Ardan siang itu. Keyakinan diri untuk berubah. Mungkin selama ini Aninta terlalu takut akan diejek dengan statusnya itu, karena itu ia bertekad mulai besok nggak akan pernah memikirkan soal statusnya lagi. Dia bakal berusaha untuk bisa membuka diri.

“Nin....” panggil Ardan perlahan tanpa menatap wajah cewek di sebelahnya. “Gue liat lo anaknya baik, kalo.....gue minta lo jadi pacar gue mau nggak?”

Aninta tercengang. Dalam hati, Ardan pun bingung dengan apa yang sudah ia ucapkan. Kenapa dia bisa melontarkan pernyataan sulit semacam itu dengan mudahnya.

“Elo...elo serius `Dan?”

Ardan mengangguk pelan. “Elo mau nggak?”

Sayonara bag 3

“Cie....yang besok tambah tua....” ledek Gista begitu masuk ke kamar kakaknya.

Ardan yang lagi asik nonton tv langsung menoleh kaget. Kemudian gadis kecil itu duduk di sebelah Ardan dengan posisi bersila.

“Gimana? Udah mau 19 tahun masa belum punya cewek juga? Apa mau sama Kak Rianda?”

“Rianda diharepin. Tuh anak udah sibuk ama urusannya, jadi udah lupa sama gue.”

“Mas, berarti pendapatku bener donk, kalo Mas sama Kak Rian udah pisah?”

Ardan melirik Gista. “Denger ya anak SMP....Gue itu sama Rian temenan. Kalo pisah berarti orang itu pernah pacaran. Gue kan sama sekali nggak punya hubungan lebih sama Rianda. Cuma temen. Tau kan?! Sahabat....sahabat....Dan sahabat itu nggak mungkin bisa dipisahin segampang itu.”

“Terus buat nemenin Mas pas ulang tahun besok siapa donk?”

“Ng.....elo aja deh, mau nggak? Ntar dapet first cake dari gue.”

“Ogah. Aku maunya dapet first cake dari gebetan aku.”

“Masih kecil udah suka-sukaan. Lagian first cake dari mana wong kue tartnya aja nggak akan dibeli. Emang pernah gue ultah dirayain?”

Gista mencibir.

“Tapi......” ujar Ardan mulai keliatan seriusnya. “Gue sebenernya baru aja nembak cewek.”

“Beneran Mas? Terus gimana? Diterima nggak?”

“Diterima donk, Ardan...”

“Norak. Kalo gitu kenalin cewek Mas ke aku donk.....aku jadi pengen juga nih punya pacar.”

“Pengen punya pacar? Sama Dito gih....”

“Kak Dito?? Nggak salah tuh??”

“Lah, emang kenapa?”

“Nggak kok, Kak Dito lumayan cakep juga....”

“Dasar anak kecil.....Dito bilang dia tuh suka sama elo.”

“Masa sih???”

Ardan tertawa ngeliat reaksi Gista begitu dikasih tau soal Dito. Cewek itu keliatan kegeeran.
“Malam ini....elo mau nemenin gue tidur?”

“Iih...Mas Ardan kok kayak anak kecil. Biasanya kalo aku masuk kamar, duduk di kasur aja nggak boleh.....eh....sekarang ngajakin aku tidur bareng, Mas Ardan lagi kenapa sih? Sakit ya? Aku bilang sama Ayah-Ibu ya, biar diperiksa dokter aja....”

“Nggak, gue nggak sakit. Gue juga nggak tau kenapa, tapi lagi pengen aja....Mau nggak?”

“Mau, mau, mau....”

Gista langsung mengambil posisi tidur yang paling PW. Sementara Ardan mengamati gerak-gerik adiknya itu sambil tersenyum kecil. Nanti malam jam 12 tepatnya, ia akan berusia 19 tahun. Hal yang paling ditunggunya malam itu adalah telpon dari Rianda, yang dengan suara khasnya akan mengucapkan Selamat Ulang Tahun.

Sementara itu, Rianda baru aja pulang dari acara Transylvania Cup sekitar jam 9 malam. Badannya pegel-pegel banget dan rasanya mata udah nggak bisa dibuka lagi. Makanya ia cepat-cepat membersihkan diri dan kemudian ia siap-siap tidur, soalnya besok harus bangun pagi dan mulai menghabiskan hari minggunya dengan mengerjakan tugas yang udah menumpuk banget.
Jam 12 malem....

Ardan memandangi handphonenya yang ada di tempat tidur sementara adiknya udah tertidur pulas dengan posisi meringkuk kedinginan karna AC. Dia sengaja nggak tidur karena menunggu telpon dari Rianda. Lagian besok juga hari minggu, jadi bangun agak siangan nggak jadi masalah, toh dia juga palingan cuma jalan ke mal bentar buat ntarktir Rianda, Aninta sama Dito, selebihnya dia bakalan di rumah terus.

Udah lewat lima menit, tapi Ardan masih menuggunya. Dia bener-bener menaruh harapan besar sama Rianda. Lima belas menit pun dilaluinya dengan melamun, dan tiba-tiba handphonenya berbunyi. Ardan langsung mengangkatnya tanpa memperhatikan tulisan di layarnya dulu.

“Happy Birthday Ardan.....” ujar Dito. Ternyata itu bukan telpon dari Rianda. Ardan pun langsung lemes seketika. “Pasti gue jadi orang kedua lagi yang ngucapin selamat ke elo. Ya nggak? Kenapa sih gue selalu keduluan terus sama Rianda. Tuh anak sengaja nggak tidur cuma buat elo ya `Dan?”

“Nggak, lo jadi orang pertama malam ini. Rianda nggak nelpon gue juga sampe sekarang.”

“APA?? Yang bener lo? Tapi....mungkin dia ketiduran kali `Dan, kata lo kan dia lagi banyak kegiatan, mungkin besok pagi dia baru bisa telpon elo.”

“Mungkin.” Ardan berkata lemah.

Rianda telat ngucapin aja itu udah bikin dia kecewa, karena selama dia berulang tahun, Rianda selalu menelponnya jam 12 malam dan mengucapkan Happy Birhtday. Besok pagi? Itu mah udah nggak spesial, batin Ardan. Kemudian, mengikuti saran Dito, dia pun akhirnya bersiap-siap tidur. Berharap ketika dia bangun ada sesuatu yang akan membuatnya tersenyum.

***

Ardan akhirnya merayakan ultahnya itu dengan mengajak makan Aninta dan Dito. Cowok itu kaget banget waktu Ardan menceritakan hubungannya dengan Aninta yang sekarang udah resmi pacaran. Awalnya Dito menganggap Ardan lagi bercanda, tapi melihat keseriusan di wajah Ardan, Dito langsung setengah percaya. Dito nggak bisa percaya sepenuhnya kalo Ardan suka sama Aninta, yang bener-bener baru dikenalnya beberapa minggu aja. Dari awal Dito selalu menganggap kalo Ardan tuh sukanya cuma sama Rianda.

Tapi wajah Ardan langsung berubah setiap Dito nggak sengaja melontarkan nama Rianda. Dito sadar kalo Ardan udah kecewa sama sikap Rianda. Dia pun hampir nggak mempercayainya kalo ternyata Rianda bisa-bisanya lupa sama hari ulang tahun Ardan, sahabatnya sendiri.

Hari udah hampir sore, Rianda yang masih terbenam di dalam tumpukkan PRnya tiba-tiba mengernyitkan dahinya.

“Ya ampun.....Bodohnya Rianda!!!” ujarnya memaki diri sendiri. “Ini hari kan Ardan ulang tahun. Bego....kenapa gue bisa lupa begini yah?”

Kemudian ia meraih handphonenya dan mulai memasukkan nomor Ardan. Telpon tersambung. Rianda menunggu telpon diangkat dengan perasaan deg-degan. Dia merasa bersalah banget udah lupa sama ultah sahabatnya sendiri, dan dia yakin Ardan pasti marah dan kecewa banget sama sikapnya itu. Lama Rianda menunggu, akhirnya telpon itu diangkat juga. Nggak ada suara yang terdengar, makanya Rianda memberanikan diri untuk membuka percakapan.

“A, Ardan ya?” tanyanya takut-takut.

“Kenapa?” suaranya jutek banget. Di belakangnya terdengar suara bising khas mall.

“Ha, Happy Birhtday ya....” suara Rianda kagok soalnya dia tau nada bicara Ardan hari itu beda kayak biasanya. Cowok itu sedang menahan kekesalan terhadap dirinya.

“O,iya. Gue ulang tahun ya?!!”

“Sory `Dan....gue semalem ketiduran, soalnya gue capek banget. Abis Transylvania Cup. Elo...marah ya sama gue?”

“Kalo gue nggak marah, itu namanya gue bohong sama diri gue sendiri.”

“Sory `Dan, gue bener-bener minta maaf banget sama elo. Elo mau maafin gue?”

Rianda mendengar Ardan mendengus. “Gue udah kecewa sama elo, tapi....gue juga nggak bisa nggak maafin elo. Nggak tau kenapa, gue emang harus maafin elo. Yah...walaupun nggak gampang untuk ngelupain kalo elo udah ngecewain gue.”

“Ardan....”

“Rian, elo bisa ke mall nggak? Gue mau ntraktir elo makan nih, sekalian gue ngenalin elo ke pacar pertama gue. Dito juga ada di sini, dia juga pengen kan ketemu sama elo. Bisa kan?”

Rianda akhirnya menyanggupi permintaan Ardan. Dengan segera dia berangkat menuju mall yang dimaksud dan janjian untuk ketemuan di food court. Di sana Rianda dikenalin sama Aninta, yang merupakan pacar pertama Ardan. Entah kenapa ada perasaan aneh yang nggak bisa dijelaskan saat Rianda berkenalan dengan Aninta.

Sedangkan Dito keliatan seneng banget bisa kangen-kangenan sama Rianda, yang emang udah jarang banget ngumpul bareng mereka sejak mereka masuk SMU.

Setelah agak malem, keempat anak itu pulang. Rianda yang bawa mobil sendiri, berpisah dengan tiga anak yang lain di tempat parkir. Dito, Ardan dan Aninta naik mobil Dito.

Selama perjalanan pulang, Rianda agak gelisah. Dia masih merasa kalo Ardan nggak sepenuhnya udah maafin dia, walaupun tadi selama bareng-bareng Ardan masih mau ketawa dan bicara sama dia. Tapi....ah, mungkin itu cuma pikiran gue aja kali, batin Rianda.

***

“Kamu mau ke mana `Dan?” tanya ibunya ketika melihat Ardan mengeluarkan motornya tengah malem. “Udah malem gini masih mau pergi?”

“Aku nggak enak sama anak-anak motor, udah janji kalo ultah mau ngumpul-ngumpul sama mereka. Kan aku udah lama nggak ke sana lagi.”

“Besok kamu kan sekolah, ntar kalo besok sakit gimana?”

“Ya enggaklah, aku udah biasa kayak gini.”

“Ya udah. Hati-hati di jalan aja ya.”

Ardan pun langsung melaju menuju daerah tongkrongan anak-anak motornya di daerah Jakarta Selatan. Mereka semua keliatan seneng banget dengan kedatangan Ardan yang udah lama banget nggak pernah ngumpul.

“Udah tambah tua nih sekarang,” ledek Broto, salah satu mekanik motor-motor mereka, sambil mengutak-atik motor di depannya. Ardan tertawa.

“Ngerakit yang baru lagi?”

“Iya nih, buat diturunin minggu depan, tapi mesti di tes dulu.”

“Siapa yang ngetes?”

“Tau, belom ada orangnya.”

“Gue aja deh.” Ardan menawarkan diri.

“Lo yakin? Ini masih agak-agak bahaya sih, tapi....”

“Jangan sampe ntar gue berubah pikiran.”

Broto tertawa sebentar kemudian kembali konsen dengan pekerjaannya. Sementara Ardan menunggu, dia bercanda-canda dengan anak-anak yang lain. Setengah jam selanjutnya, Ardan udah bersiap di garis start dengan motor tersebut.

Semuanya udah siap dan begitu aba-aba mulai dibunyikan, semua motor itu melaju dengan kencangnya. Bising banget, tapi buat mereka itu adalah hal yang biasa. Sebagian motor yang nggak ikut ngebut kebagian menjaga setiap ada per-empatan untuk mencegah adanya motor tak dikenal melintasi daerah ‘sirkuit’ dadakan mereka.

Ardan menikmati angin malam dari motornya. Dia merasa suatu kenikmatan yang udah jarang dia rasain. Kalo dulu hampir tiap minggu dia bisa menikmati itu, tapi setahun belakangan emang dia jarang banget.

Seseorang berteriak ke arah Ardan untuk menambah kecepatan motor. Dan Ardan mengikuti saran itu. Dia menarik kopling dan menekan perseneling. Ardan pun merasakan motornya semakin cepat melaju, tapi tiba-tiba Ardan merasakan sesuatu yang aneh pada motor yang dikendarainya itu. Ketika Ardan mau memperlambat laju motornya, ia sudah terlambat. Motor itu oleng dan kemudian langsung meleset begitu saja, membuat Ardan terlempar beberapa meter, sementara motor itu terus bergesekan dengan aspal.

Semua langsung berhenti. Sebagian orang menghampiri Ardan yang udah terkapar penuh darah. Sebagian lagi berusaha untuk menghubungi ambulance.

“Lo nggak apa-apa `Dan?” tanya seseorang dari kerumunan itu.

“Nggak. Gue nggak apa-apa. Motornya coba di cek ulang, ada yang nggak beres,” Ardan masih sempet-sempetnya memikirkan motor sementara tubuhnya sendiri udah lunglai tak berdaya.

Beberapa saat kemudian ambulance dateng. Ardan pun segera dilarikan ke rumah sakit. Broto langsung menghubungi Dito, temen baiknya Ardan. Dia kenal Dito soalnya anak itu pernah diajak ke bengkelnya Broto.

Rianda tiba-tiba merasakan napasnya sesak. Gelas yang ada di tangannya terjatuh tanpa ia sadari. Andari, kakaknya yang emang belum tidur, langsung panik dan menghampirirnya. Akhirnya karena Rianda nggak bisa tidur juga, dia pun memutuskan untuk ngobrol-ngobrol sama Andari di ruang keluarga.

Sayonara bag 4 -TAMAT-

Orangtua Ardan, Gista, Aninta dan Dito dateng ke rumah sakit satu jam kemudian. Ibunya Ardan yang paling stres karena tadi dia udah mengijinkan anak laki-lakinya itu untuk keluar malam. Seandainya dia nggak ngijinin mungkin kecelakaan itu nggak akan terjadi.

Aninta dan Gista ada di pojokan sedang menangis berdua. Sedangkan Dito berusaha untuk menghubungi Rianda. Cewek itu langsung shock mendapat kabar tentang kecelakaan Ardan dan dengan diantar kakaknya, mereka langsung menuju rumah sakit. Beberapa anak motor temen Ardan yang menunggu di sana, bergabung dengan Dito.

Ruang UGD belum terbuka juga. Ayah-Ibu Ardan, Broto dan yang lainnya, Dito, Andari, Rianda, Gista dan Aninta keliatan nggak sabar menunggu dokter yang menanganinya keluar ruangan. Ya, mereka semua cemas dengan keadaan Ardan.

Setelah setengah jam menunggu, akhirnya lampu UGD padam. Dokternya pun segera keluar dan langsung disambut dengan penuh harap oleh semua orang yang ada di sana.

“Ng....sampai saat ini dia masih bisa sadar, walaupun kritis. Tapi dari tadi dia terus menyebut-nyebut nama Rianda. Kayaknya dia pengen banget ketemu sama Rianda,” ujar Dokter itu.

Aninta kaget,tapi kemudian dia keliatan pasrah.

“Nama saya Dok?” tanya Rianda.

“Iya, saya ijinkan buat yang berkepentingan untuk masuk menjenguk, tapi jangan lama-lama. Pasien masih dalam keadaan kritis. Permisi.”

Dokter itu pun pergi. Rianda, Aninta, Dito, Gista dan nggak ketinggalan orangtua Ardan langsung mesuk tanpa disuruh dua kali. Keadaan Ardan menyedihkan. Banyak selang di sana-sini. Semuanya keliatan membuat Ardan menderita.

“Rianda....” rintihnya dalam suara yang nyaris nggak kedengeran. Cewek itu langsung mendekat. Mata Ardan terbuka. Dia menatap Rianda. Lemah.

“Gue nggak punya banyak waktu. Gue harus bilang semuanya ke elo. Sejujurnya....gue sayang banget.....sama elo. Gue.....sayang sama elo.....lebih dari....sahabat.....gue....cinta sama elo, Nda. Selama ini....gue udah berusaha untuk ngilangin perasaan itu....dari hati gue, tapi gue nggak bisa. Semakin gue pengen ngilangin elo dari hidup gue, semakin gue inget sama elo. Maafin gue, Nda....”

Aninta yang mendengar itu tersentak kaget. Rianda pun nggak kalah kagetnya. Ardan sadar kalo dia udah membohongi Aninta, makanya dia beralih ke cewek yang ada di sebelah Dito.

“Nin....sory, gue nggak bermaksud boongin elo. Jujur gue suka kok sama elo, gue suka ngeliat elo kalo lagi tersenyum, tapi gue suka elo sebagai temen. Gue pengen elo semangat.....inget ucapan gue yang waktu itu. Ok?!”

Aninta mengangguk sambil menahan tangis. Tanpa disadari, dua bulir airmatanya jatuh.

“Ayah-Ibu, aku minta maaf kalo aku banyak salah sama kalian. Aku tau aku suka keras kepala, tapi sebenernya aku sayang banget sama kalian. Gista....elo kalo nggak ada gue, bakal bisa tidur di kamar gue terus, main di kasur gue, sesuka lo. Enak kan?”

“Nggak!! Mending aku nggak usah main di kamar Mas, yang penting Mas bisa pulang lagi ke rumah.”

Ardan berusaha memamerkan senyuman termanisnya dengan susah payah. “Nggak ada gue, masih ada Dito.”

Dito yang dari tadi terdiam mengamati kejadian di depannya itu terperanjat kaget begitu namanya disebutkan. “Gu,gue?”

“Iya, lo nggak boleh macem-macem sama Gista, dia itu adek kesayangan gue satu-satunya.”
Dito hanya mengangguk perlahan.

“Rianda,” Ardan beralih ke Rianda sekarang.
“Pertanyaan terakhir gue buat elo....” Dengan susah payah Ardan mengangkat tangannya, berusaha untuk bisa memegang wajah Rianda. Cewek itu bisa merasakan dinginnya tangan Ardan.

“Lo jangan ngomong kayak gitu donk.”

“Elo mau nggak jadi.....cewek gue?”

Tangan Ardan terjatuh lunglai. Matanya tertutup dan ada air yang menetes di sudut matanya. Monitor yang memantau detak jantungnya kini telah membuat garis lurus panjang, yang menandakan kalau jantung Ardan udah nggak berfungsi lagi. Dia meninggal saat itu juga.

Rianda termangu. Tatapannya kosong. Dadanya terasa sesak. Tanpa disadari, air matanya jatuh saat itu juga, sementara tangis dari yang lainnya makin kuat. Digenggamnya tangan Ardan dengan lembutnya. Kemudian ia berbisik tertahan di telinga Ardan,

“Gue...mau jadi....cewek lo, Ardan...”

***

Pemakaman jenazah Ardan berjalan dengan lancar. Tanpa panas dan tanpa hujan. Setelah upacara selesai, orang-orang mulai meninggalkan tempat itu. Termasuk Ibunya Ardan yang keliatan berat hati saat meninggalkan kuburan anaknya itu, tapi dia mencoba pasrah untuk menerima takdir yang udah digariskan. Dia bersama suaminya pulang terlebih dulu, karena Gista masih pengen berada di kuburan itu lebih lama, bersama teman-teman kakaknya. Ibunya pun nggak bisa menolak karena Dito janji mau mengantar Gista pulang ke rumah.

“Seharusnya gue nggak ngijinin Ardan naik motor itu,” Broto membuka percakapan diantara mereka yang sedang terdiam memandangi gundukan tanah di hadapannya. Rianda melirik Broto.

“Ardan itu kan suka banget sama balapan. Kalo ini bukan takdir, dia pasti masih baik-baik aja. Jadi ini bukan salah lo. Ardan cerita kok sama gue, kalo balapan itu emang selalu ada resikonya. Karna dia udah siap dengan segala resikonya itu makanya dia ngejalanin itu semua dengan senang,” ujar Rianda panjang lebar.

Aninta memandang Rianda. Cewek itu emang pantes disukain sama Ardan, batinnya. Dia banyak ngerti soal Ardan, nggak kayak dirinya yang emang baru beberapa minggu mengenal Ardan.

Dito menghela nafas, memecah keheningan. “Rian, Ninta, pulang yuk. Gue juga kan musti nganterin Gista dulu. Abis itu gue baru nganterin lo-lo pada.”

Rianda bangkit berdiri. Dihapusnya air mata yang jatuh di pipi dengan punggung tangannya. “Istirahat yang tenang ya `Dan. Gue nggak bakal pernah ngelupain elo karena udah menjadi sahabat terbaik buat gue dan sampe kapan pun elo tetep menjadi sahabat terbaik gue. Kenangan sama elo bakal gue simpan di hati gue, untuk selamanya,” ujar Rianda.

“Gue juga `Dan. Gue seneng banget udah bisa jadi sohib lo selama ini. Sebagai gantinya, gue bakal nyayangin Gista kayak elo sayang sama dia. Elo jangan khawatir, gue nggak akan ngecewain Gista,” tambah Dito sambil merangkul pundak Gista. “Elo bisa percaya sama gue kan?”

“Ardan..... Gue merasa beruntung banget bisa kenal sama elo. Gue nggak akan lupa sama elo, juga sama semua nasehat yang udah lo kasih ke gue. Gue bakal berusaha untuk jadi Aninta yang bisa terbuka sama orang. Gue janji,” kata Aninta.

“`Dan, motor itu nggak akan gue benerin dan nggak akan gue buang. Supaya semua anak motor bisa ngenang elo,” ujar Broto.

“Mas Ardan, Gista sayang sama Mas.....Setelah ini Gista janji bakalan jadi anak yang baik, nggak akan nyusahin ayah sama ibu. Gista juga bakalan jaga kamar Mas supaya tetep rapih, tapi....Gista boleh kan tidur di sana dan main di sana lagi??.....Makasih ya Mas. Gista pulang dulu.”

Kemudian kelima anak itu segera meninggalkan tempat tersebut dalam hening. Masing-masing punya kenangan tersendiri bersama Ardan yang akan diingat untuk selamanya. Mereka merasa beruntung karena ditakdirkan untuk bisa mengenal Ardan, walaupun mungkin hanya sebagiannya saja. Tapi, sampai kapan pun Ardan akan selalu menjadi sahabat terbaik mereka.

Kasih

By : Clara

Satu kisah itu, kasih...berangsur pudar, menguap menjadi tak berwarna. Tak ada lagi kelembutan, karena pasir itu telah kamu genggam dengan sekuat tenaga. Kamu membiarkannya tumpah, berserakan, hingga tak satu pun tersisa untuk dirasa. Untuk dimiliki.

Kasih, kisahmu, saya tahu...

Tapi bukan dengan kekuatan, bukan dengan paksaan, untuk bisa membangun saya untuk berada disebelahmu. Ketika saya memilih untuk menghindar, bukan saya tidak memiliki indahnya kisah itu. Bukan saya melupakannya. Bukan pula tanda selamat tinggal.

Kasih, bisakah kita menjadi satu kesatuan yang utuh, tanpa ketidakiklasan.

Kasih, biarkan saya yang menemani langkahmu. Dalam doa. Dalam bayangan. Dalam keremangan. Juga dalam kesendirian. Untuk dirimu, selamanya, tanpa pernah kamu harus tahu. Karena...saya masih tidak kuat berada dalam genggamanmu yang begitu penuh tenaga.

Gelas itu Pecah

By : Clara

Dia adalah sosok Ibu yang kuat. Bukan berotot seperti Xena, bukan bertubuh besar layaknya raksasa, bukan juga bertenaga baja bak petinju profesional. Dia, hanya wanita biasa, dengan raut wajah tua yang tersenyum kuyu. Saya selalu melihatnya berdiri tegap, tampak kokoh meski sebenarnya dia letih. Dan bahkan untuk semua itu, dia tidak pernah meminta imbalan. Jangankan imbalan, semua perhatiannya sudah tersita untuk anak-anaknya dan juga keluarga. Tidak ada waktu untuk memikirkan diri sendiri.

Dia pejuang.

Dalam hati.

Begitu murni.

Kadangkala, sesuatu datang tak terduga. Bagai hujan di tengah musim kemarau. Semua tau, itulah kehidupan. Selalu ada sebuah kejutan di tengah badai pengalaman yang menghadang. Namun selalu ada pelampung untuk itu. Ya, semua orang meyakini itu. Meski saya terkadang ragu. Lihat saja wajah Ibu tua itu. Wajah letihnya, yang terkadang menghadirkan tawa renyah yang menyenangkan, kini tengah tersapu kelabu. Bukan berarti tawa itu hilang, hanya saja bukan berasal dari hatinya. Dia hanya memikirkan kebahagiian orang di sekitarnya. Hingga terpaksa sekuat sisa tenaga untuk bersikap palsu pada seklilingnya. Mengenakan topeng seseorang yang tersenyum lebar.

Tapi mata itu tak tertutup topeng.

Mata itu berbicara, Ibu.

Kekuatanmu sudah habis. Dan saya tau, kau hanyalah manusia biasa. Wanita biasa dengan ketegaran yang luar biasa. Dengan tubuh mungilmu yang mulai linu dimakan usia, kau bertahan begitu hebat. Selayaknya batu karang yang diterjang ombak. Namun, kini batu karang itu mulai keropos. Yah, sudah termakan usia. Dan kau, sudah berusaha segenap jiwa dan kemampuanmu. Saya tau.

Petir itu datang, kilat itu menyambar, dan rodamu kini berada di bawah. Ada ujian yang harus kau lakukan. Ada ujian yang akan mengukuhkan kekuatan hatimu. Ada ujian yang harus membutuhkan air mata dan pengorbanan. Saya tau, kau akan sanggup melewatinya.

Kau adalah wanita perkasa.

Wanita itu, tampak begitu indah. Bagai kristal yang murni, bagai gelas bening berkilau. Tetapi kini gelas itu telah pecah. Saya tau, kau pun juga rapuh. Maka...menangislah. Saat suara hatimu meraung keluar, saya tau kau pun akan merasa lebih ringan.

Karena itu...tak apa jikalau gelas itu pecah...

Kisah Burung Bangau Kertas

By : Clara

Dia tau bahwa burung bangau itu hanya terbentuk dari lipatan kertas. Tapi dia begitu menyayangi rangkaian kertas tersebut. Dia, seorang remaja laki-laki, yang percaya bahwa aka nada keberuntungan dari burung-burung bangau buatan tangannya. Tidak peduli meski hanya terbentuk dari lipatan kertas bekas atau kertas koran yang tak terpakai, yang mungkin dibuang oleh seseorang karena sudah selesai dibaca. Dia tau burung bangaunya tidak indah, tapi dia percaya hasilnya tidak akan mengecewakan.

Dan lipatan burung bangau itu sudah berjumlah sembilan puluhan. Dengan penuh kasih sayang dia menyimpannya di dalam sebuah kardus bekas dan dia letakkan di atas lemari usang yang menjadi satu-satunya tempat penyimpanan pakaian di dalam rumahnya yang sudah bobrok. Yang dihuninya bersama seorang adik perempuannya, yang sangat berharap bisa merasakan nikmatnya sebuah roti isi coklat.

“Katanya kalau membuat seribu burung bangau permintaan bisa terkabul loh,” kata sang kakak. Anak perempuan kecil itu hanya mengangguk-angguk, paham. “Kamu harus percaya. Meski masih jauh dari seribu, kamu harus percaya kalo nanti kita bisa buat sampe seribu.”

Sang adik yang berambut pendek dan kusam, karena sering terjemur matahari namun jarang sekali dicuci, selalu menatap kakaknya yang sudah beranjak remaja itu tetapi masih dengan setia melipati setiap kertas yang dia potong-potong menjadi bentuk dadu, sehingga membentuk sebuah bentuk menyerupai burung bangau. Adiknya pun selalu menyukai setiap bentuk burung bangau yang dihasilkan oleh kakaknya.

“Aku mau bantu, Kak. Ajarin aku buat burung bangau itu.” Pinta sang adik suatu hari. Dengan sabar, kakaknya pun mengajari langkah-langkah melipat burung bangau yang sedikit sulit itu. Namun dia tak pernah mengeluh. Sesulit apa pun, dia tau adiknya pasti bisa. Dia percaya. Dan dia benar. Sang adik pun bisa melakukannya. Hingga keseratus burung bangau akhirnya terkumpul di dalam kardus.

Suatu saat, seorang dari kawan adiknya melihat keseratus burung bangau itu. Dia begitu tertarik, meski burung-burung kertas itu hampir keseluruhannya hanya berwarna hitam putih dengan tulisan-tulisan mesin menghiasi seluruh bagiannya.

“Aku mau semua burung-burung kertas itu,” katanya suatu saat itu.

Kedua kakak beradik itu saling menoleh, agak tidak rela karena kesemua burung kertas itu adalah hasil jerih payah keduanya.

“Aku mau kita tuker. Aku kasih roti coklat ini dan kalian kasih burung-burung itu padaku,” tawarnya pada akhirnya.

Ada binar-binar yang menunjukkan kalau sang adik tergiur oleh tawaran kawannya itu. Sang kakak memperhatikan, dia ingin membiarkan sang adik yang memberikan keputusan. Dia hanya menggeleng, menyerahkan semua jawaban, ketika sang adik menoleh berharap akan bantuan dari kakaknya.

Sang adik menatap sekardus burung kertas.

Dia sadar, keringat dan kerja keras yang harus dibayar ketika membuat burung-burung kertas tersebut. Mungkin burung-burung jelek itu tidak memiliki nominal harga yang mampu membuat mereka bertahan hidup dengan perut kenyang, namun sang adik tau, burung-burung itu yang membuat dia dan sang kakak bisa melewati hari mereka dengan menahan lapar.

Dan dia tau, betapa berharganya burung kertas tersebut.

Final in Eden

By: Clara

Derap langkah berat itu berdengung ke telingaku. Kulirik sebuah jam tangan kulit berwarna coklat yang kini melingkar di ujung lenganku yang kurus. Pukul lima sore, lebih sedikit. Ia terlambat datang. Lebih dari sepuluh menit yang lalu, kami berjanji bertemu di tempat ini. Di tempat berpijak yang berlapis dengan rumput kering, dedaunan yang rontok dan juga ilalang yang tumbuh di sela-sela akar pohon besar yang menudungi tempat tersebut. Eden kami. Tempat dimana kami merasa bahagia.

Ia muncul dengan raut wajah yang tidak seperti biasa. Meski dengan langkah tenang, namun matanya jelas tidak menyiratkan perasaan tersebut. Ada yang membebani pikirannya, aku tau itu. Tapi aku tidak bertanya. Aku hanya memikirkannya dalam benakku sendiri, memiringkan kepala, sebagai ganti dari pertanyaan yang ingin aku utarakan. Aku tidak berani bersuara. Ia pria tegas. Dan aku tau ia akan bicara hanya dengan menatap isyarat kecil dariku.

Ia tidak langsung duduk di sebelahku. Ia hanya menatapku. “Aku harus pergi untuk waktu yang lama. Dan aku ingin mengakhiri semuanya di sini. Hubungan kita.” Hanya itu kalimat yang meluncur dari bibir tipisnya. Matanya yang dinaungi oleh sepasang alis lebat, menatap tajam ke arahku, seolah menghakimi bahwa keputusan itu muncul atas kesalahanku.

“Kenapa?” Tidak ada kalimat lain yang terpikir. Hanya satu kata yang tidak kumengerti jawabannya itulah yang akhirnya keluar. Dan ia hanya terdiam. Tidak menjawab, tidak berekspresi, bahkan ia hanya terpaku. “Aku salah?” Akhirnya aku memilih menyerahkan diri. Kalau memang itu bisa membuatnya kembali tersenyum bersamaku di tempat itu, aku akan rela dihakimi olehnya. Meskipun aku tidak tau apa kesalahanku.

Ia menggigit bibirnya dan kemudian menghela napas. Sungguh, aku tau napas itu terdengar begitu berat. Tapi aku tidak tau, kenapa ia tidak mau membagi beban itu denganku. Selama bertahun-tahun kami tertawa bersama, tapi hanya tawa yang ia bagi. Ia tidak sudi membagi kesedihannya denganku. Dan aku merasa seperti tidak mengenalnya.

Satu bulir air mataku mengalir. Belum pernah aku menangis di hadapannya, di tempat ini. Di sinilah eden kami, tempat kami berbagi tawa dan kebahagiaan, tetapi kini rusak oleh satu air mata yang mengalir dariku. Dan juga satu rahasia darinya.

“Kita berakhir di sini. Aku tidak bisa bersama denganmu lagi.”

Aku tetap terpaku, sama seperti dirinya. Namun, aku terlalu terkejut untuk kembali membalas perkataannya. Tidak, bukan sekedar perkataannya, tetapi telah menjadi sebuah keputusannya telak. Entah kenapa, aku merasa begitu bodoh karena hanya bisa menunduk, seakan menerima semua perbuatannya yang tidak adil ini.

Aku masih menunduk, saat aku merasa bahwa ia memutar tubuhnya dan mulai melangkah lambat-lambat. Aku mengangkat kepalaku, membiarkan udara menyeka air mataku hingga kering, meski itu mustahil karena ia terus mengalir dan tidak bisa dihentikan.

“Aku…” kataku setengah berteriak. Kuperhatikan, ia menghentikan langkahnya dan memutar tubuh tingginya. Ia kembali menatapku, dengan jarak yang membentang diantara kami. “Bagiku tempat ini adalah kebahagiaanku. Aku tidak ingin kesedihan merusak kenangan tempat ini. Bisakah kau tidak mengatakan perpisahan di sini? Apa salahku sampai kau ingin meninggalkanku?” Aku tak sanggup menahan isak tangis saat mengucapkan rentetan kalimat panjang yang akhirnya mendesak keluar.

Ia terdiam sesaat. Menatapku penuh kesedihan, namun tetap tidak mengatakan apa-apa. Ia memilih diam. Dan kemudian pergi meninggalkanku sendirian, di tempat kebahagiaanku yang kini telah berubah menjadi tempat yang terasa begitu menyakitkan. Dan isakanku semakin menjadi. Tanpa sekalipun ia menoleh. Berusaha untuk menenangkanku, atau paling tidak mengatakan semua penyebab perpisahan yang begitu mendadak ini.

Aku masih mencintainya, masih tetap ingin ia menoleh ke arahku, merengkuh bahuku dan menyuruhku berdiri. Lalu mendekap erat.

Namun kenyataannya, punggung besar itu semakin mengecil. Semakin menghilang. Seiring dengan tangisku yang pecah. Semuanya berakhir di sini. Tidak ada awal di sini. Hanya akhir. Dan akhir itulah yang menutup kebahagiaan yang pernah ada. Yang pernah kupercayai akan menjadi kebahagiaan untuk selamanya.

Edenku, kini semuanya sudah berakhir.

Dan ia telah pergi, tanpa satu patah katapun.

Namun kuharap akan ada penjelasan atas semuanya.

Satu Panah

By: Clara

Menggetarkan. Aku mendengar suara itu. Suara yang tanpa pernah ku sadari akan menjadi sebuah penghangat di masa-masa berikutnya, suara yang mengendap dalam lumbung hati ini tanpa bisa dihilangkan. Aku tau, suara itu hanya berasal dari bibir tipis seorang adam. Ya, seorang pria biasa namun memiliki pesona luar biasa. Aku tidak bisa mengelak, meskipun aku berusaha mencoba. Ia terlalu sempurna. Paling tidak di mataku, ia begitu sempurna dengan segala kekurangannya.

Bisakah aku keluar dari jeratannya?
Selalu berusaha untuk bisa menyingkirkan bayang-bayang senyum misteriusnya, tetapi aku selalu gagal. Aku tau, aku bukan berusaha dengan tindakan. Aku hanya berusaha dengan kata-kata yang hanya tertinggal sebagai pengharapan belaka.

Bagiku, dirinya layaknya sebuah rembulan yang jauh dari rengkuhan. Namun kini ia tepat di hadapanku. Berdiri tegak dengan begitu kokoh di atas kedua kaki jenjangnya, bertahan dari rasa dingin di balik tubuh kurusnya, sambil menatapku dari balik jendela matanya yang kecil. Kenapa harus menatapku seperti itu? Aku mencari-cari jawabanku di isyarat bulatan hitam indera penglihatannya itu. Kosong. Aku tidak menemukan apa-apa. Aku hanya menemukan titik keletihan dalam dirinya.

Dan tanganku, seolah tak bisa kutahan untuk bisa menyeka wajah tirusnya, seperti ingin memberikan semangat dan tenaga lain. Hanya karena aku tidak ingin melihat dirinya yang seperti itu. Aku ingin dia yang ceria dan tertawa. Atau terkadang tersenyum malu. Atau juga mungkin saja tertawa begitu lebar hingga ia merentangkan telapak tangannya menutupi barisan gigi yang rapih itu. Aku ingin dirinya yang seperti itu. Karena dengan begitu, aku bisa merasakan lagi suara menggetarkan itu.

"Aku bersama dengannya kini," ia bersuara. Suara yang ingin ku dengar, namun tidak dengan kalimat itu. Kalimat yang kali ini seperti mengiris hatiku.

Aku hanya bisa terdiam.

"Kau tidak pernah memberiku kesempatan," katanya kemudian.

Ah, sekali lagi ia bersuara. Tapi bukan itu yang ingin ku dengar. Sungguh. Adakah kata-kata lain yang tidak membuatku merasakan perih ini?

"Sorry, but if there`s a chance, i`ll change my mind," pintanya.

Aku menunduk. Aku tau aku tidak bisa memberikannya sebuah kesempatan. Meskipun aku tau, jauh di dalam diriku sangat mengharapkan kehadirannya selalu, menjadi pangeranku dan berada di sisiku. Hanya saja, ada bagian diriku yang tidak bisa ku mengerti.
Sebagian diriku itu tidak akan pernah bisa membiarkan ia menjadi pangeranku. Sebagian diriku itu hanya ingin mendengarkan liukan suara indahnya dalam tangga nada.
Sebagian diriku itu juga tidak membiarkannya untuk pergi bersama dengan seorang hawa yang ia kenal entah dimana.
Tapi aku ingin ia tetap di sini.
Membiarkan diriku hanya tetap menatap punggungnya, tanpa harus ia menoleh untuk tersenyum padaku.
Bolehkah?

Aku mencintainya, tapi aku hanya ingin memberikan perasaan ini padanya.
I just wanna love him.
but please, don`t love me.

Dan kemudian, ia masih mematung sementara aku yang terpana menatapnya. Sejenak saja, sebelum akhirnya aku memilih untuk pergi meninggalkan semua hasrat dan keegoisan diriku.

Meski masih tetap memohon, jangan cintai orang lain.

Malaikatku Mati

By: Clara

“Aku adalah malaikatmu, sayang.” Sekali lagi, sebelum tidur, Aris mengucapkan kata-kata itu padaku. Garis wajahnya yang begitu tegas, namun tidak meninggalkan kesan manis, selalu tersenyum padaku. Tak apa jika ia tidak pernah membelaiku, tak apa jika tangannya yang besar tidak merengkuhku ke dalam dadanya yang bidang. Aku tau, kata-katanya adalah ketulusan yang tak sebanding dengan setiap gerak tubuhnya.
Dan hingga mataku terpejam, Aris masih tetap menatapku dari sisi tempat tidur. Ia suka sekali berlutut di sebelahku dan mengembangkan bibir tipisnya yang kemerahan, menungguku terlelap ke dalam alam mimpi yang tak bisa terjangkau olehnya. Meskipun ia mengaku memiliki sayap, namun sayap itu tetap tidak bisa menjangkau jauhnya alam tidurku.
“Sayang, aku selalu mencintaimu,” bisik-bisik kalimat terakhir Aris mengantarku tak sadarkan diri. Terbuai indahnya mimpi, dimana untuk kesekian kalinya aku kembali bertemu Aris. Seperti biasa, Aris mengatakan kalau ia memiliki sayap. Aku tersenyum dan percaya padanya. Aris tak pernah bohong padaku.
Namun tidak untuk hari ini.
“Kamu mau menikah denganku?” tanya Aris saat aku baru saja tersadar dari tidurku. Aris sudah berada di sebelahku. Ia selalu membuatku merasa begitu special.
Aku tersenyum.
Kemudian Aris segera beranjak, “Tunggulah disini. Bersiaplah dengan gaun terindah. Aku akan kembali dengan sekotak cincin. Aku akan melamarmu di tempat terindah di kota ini.” Setelahnya kulihat kaki panjang Aris melangkah meninggalkan kamar kostku.
Gaun sederhana berwarna ungu pastel sudah melekat di tubuhku. Kini aku menunggunya di ruang depan rumah kostku. Beberapa kawan satu kost melirik dan tersenyum ke arahku, tapi wajah mereka melukiskan sebuah kerutan di dahi masing-masing. Aku tak ambil pusing.
“Aku sedang menunggu calon suamiku,” kataku singkat yang malah membuat kedua tetangga kamarku saling berpandangan dengan kerutan di dahi yang masih menempel. Aku tidak peduli. Mereka pasti iri padaku. Aris sangat tampan dan sudah sewajarnya seorang wanita pasti akan melirik takjub melihat fisikknya yang begitu mempesona kaum hawa. Salah satunya aku.
Aris berdiri melambai di seberang jalan. Setengah lingkaran di wajahnya, tercermin begitu sempurna. Aku pun balas melambai dan tetap menanti Aris yang mendekat. Namun ternyata, Aris tidak bisa memenuhi rentetan kalimatnya tadi pagi. Sebuah mobil yang sedang melaju dengan kencang, menghantam tubuh kokoh Aris.
Aku berteriak histeris hingga setiap orang melihat ke arahku, termasuk beberapa kawan kostku. Mereka segera menghampiriku yang sudah terlebih dulu menghambur ke tubuh Aris yang bersimbah darah. Dengan tangan gemetar, kuangkat tubuh itu.
“Malaikatku...jangan mati!!” Aku histeris. Tangisku pecah di tengah jalan, bersamaan dengan bunyi klakson yang membahana. Dan juga, puluhan pasang mata yang menatapku. Aku tak tau pandangan apa itu, tapi kenapa tidak ada yang membantuku? Bahkan si penabrak pun hanya mematung berdiri beberapa langkah dari tempatku!
Padahal di pangkuanku, malaikatku mati. Bersimbah darah.
“Ris! Rissa! Sadar Ris! Yang kamu pegang itu cuma kucing!” pekik Aldo sambil mengguncang bahuku yang terbuka.
Heh! Aldo gila! Aris bukan kucing! Aris malaikatku. Ia calon suamiku dan kini ia sudah tak bernyawa. Aku tak bisa merasakan detak jantungnya lagi. Kubelai kepalanya, kuciumi wajah putih yang sudah memucat itu, dan kurengkuh ia ke dalam pelukan, hingga gaunku penuh darah.
Dan aku mendekatkan bibirku yang bergetar hebat ke telinga Aris, “Aldo, iri padamu karena aku memilihmu, Aris. Ia iri karena kamu malaikatku dan ia hanya orang biasa. Ia sinting, mengataimu kucing.” Aku berbisik begitu lirih. Kuciumi sekali lagi wajah Aris yang sudah pucat, dengan perasaan kalut yang luar biasa. Aku sungguh takut. Aku sedih. Aku seperti kehilangan penopangku.
***
Aldo duduk di hadapanku yang kini seperti tubuh tak berjiwa. Ia tampak begitu serius. Apa dia sudah memenuhi janjinya untuk merawat makam Aris?
“Rissa,” suara Aldo tertahan. Ia tidak berani menatap mataku yang menggantikan isi hatiku, menuduhnya sinting. “Dokter sudah memberitahuku. Ternyata…” Aldo berhenti sejenak. Suaranya agak serak. “Kamu penderita schizophrenic. Dan kamu harus tetap berada di sini, sampai kamu bisa sadar bahwa kamu hidup dalam dunia nyata, bukan dunia khayalan dalam pikiranmu.”
Kemudian kulihat pipi Aldo basah. Aku mengerutkan kening, sama sekali tidak mengerti apa yang pria itu katakan. Scizo…apa? Aku normal. Kalian saja yang menjebloskanku ke dalam penjara aneh ini. Namun, aku memilih bergeming. Aku malas berdebat. Aku masih berduka, karena malaikatku telah mati.
Di hadapanku.
Meski kata mereka, malaikatku adalah kucing.
Aku tak peduli, karena aku percaya, Aris-ku adalah malaikatku. Dan aku sangat mencintainya.