Friday, September 25, 2009

Final in Eden

By: Clara

Derap langkah berat itu berdengung ke telingaku. Kulirik sebuah jam tangan kulit berwarna coklat yang kini melingkar di ujung lenganku yang kurus. Pukul lima sore, lebih sedikit. Ia terlambat datang. Lebih dari sepuluh menit yang lalu, kami berjanji bertemu di tempat ini. Di tempat berpijak yang berlapis dengan rumput kering, dedaunan yang rontok dan juga ilalang yang tumbuh di sela-sela akar pohon besar yang menudungi tempat tersebut. Eden kami. Tempat dimana kami merasa bahagia.

Ia muncul dengan raut wajah yang tidak seperti biasa. Meski dengan langkah tenang, namun matanya jelas tidak menyiratkan perasaan tersebut. Ada yang membebani pikirannya, aku tau itu. Tapi aku tidak bertanya. Aku hanya memikirkannya dalam benakku sendiri, memiringkan kepala, sebagai ganti dari pertanyaan yang ingin aku utarakan. Aku tidak berani bersuara. Ia pria tegas. Dan aku tau ia akan bicara hanya dengan menatap isyarat kecil dariku.

Ia tidak langsung duduk di sebelahku. Ia hanya menatapku. “Aku harus pergi untuk waktu yang lama. Dan aku ingin mengakhiri semuanya di sini. Hubungan kita.” Hanya itu kalimat yang meluncur dari bibir tipisnya. Matanya yang dinaungi oleh sepasang alis lebat, menatap tajam ke arahku, seolah menghakimi bahwa keputusan itu muncul atas kesalahanku.

“Kenapa?” Tidak ada kalimat lain yang terpikir. Hanya satu kata yang tidak kumengerti jawabannya itulah yang akhirnya keluar. Dan ia hanya terdiam. Tidak menjawab, tidak berekspresi, bahkan ia hanya terpaku. “Aku salah?” Akhirnya aku memilih menyerahkan diri. Kalau memang itu bisa membuatnya kembali tersenyum bersamaku di tempat itu, aku akan rela dihakimi olehnya. Meskipun aku tidak tau apa kesalahanku.

Ia menggigit bibirnya dan kemudian menghela napas. Sungguh, aku tau napas itu terdengar begitu berat. Tapi aku tidak tau, kenapa ia tidak mau membagi beban itu denganku. Selama bertahun-tahun kami tertawa bersama, tapi hanya tawa yang ia bagi. Ia tidak sudi membagi kesedihannya denganku. Dan aku merasa seperti tidak mengenalnya.

Satu bulir air mataku mengalir. Belum pernah aku menangis di hadapannya, di tempat ini. Di sinilah eden kami, tempat kami berbagi tawa dan kebahagiaan, tetapi kini rusak oleh satu air mata yang mengalir dariku. Dan juga satu rahasia darinya.

“Kita berakhir di sini. Aku tidak bisa bersama denganmu lagi.”

Aku tetap terpaku, sama seperti dirinya. Namun, aku terlalu terkejut untuk kembali membalas perkataannya. Tidak, bukan sekedar perkataannya, tetapi telah menjadi sebuah keputusannya telak. Entah kenapa, aku merasa begitu bodoh karena hanya bisa menunduk, seakan menerima semua perbuatannya yang tidak adil ini.

Aku masih menunduk, saat aku merasa bahwa ia memutar tubuhnya dan mulai melangkah lambat-lambat. Aku mengangkat kepalaku, membiarkan udara menyeka air mataku hingga kering, meski itu mustahil karena ia terus mengalir dan tidak bisa dihentikan.

“Aku…” kataku setengah berteriak. Kuperhatikan, ia menghentikan langkahnya dan memutar tubuh tingginya. Ia kembali menatapku, dengan jarak yang membentang diantara kami. “Bagiku tempat ini adalah kebahagiaanku. Aku tidak ingin kesedihan merusak kenangan tempat ini. Bisakah kau tidak mengatakan perpisahan di sini? Apa salahku sampai kau ingin meninggalkanku?” Aku tak sanggup menahan isak tangis saat mengucapkan rentetan kalimat panjang yang akhirnya mendesak keluar.

Ia terdiam sesaat. Menatapku penuh kesedihan, namun tetap tidak mengatakan apa-apa. Ia memilih diam. Dan kemudian pergi meninggalkanku sendirian, di tempat kebahagiaanku yang kini telah berubah menjadi tempat yang terasa begitu menyakitkan. Dan isakanku semakin menjadi. Tanpa sekalipun ia menoleh. Berusaha untuk menenangkanku, atau paling tidak mengatakan semua penyebab perpisahan yang begitu mendadak ini.

Aku masih mencintainya, masih tetap ingin ia menoleh ke arahku, merengkuh bahuku dan menyuruhku berdiri. Lalu mendekap erat.

Namun kenyataannya, punggung besar itu semakin mengecil. Semakin menghilang. Seiring dengan tangisku yang pecah. Semuanya berakhir di sini. Tidak ada awal di sini. Hanya akhir. Dan akhir itulah yang menutup kebahagiaan yang pernah ada. Yang pernah kupercayai akan menjadi kebahagiaan untuk selamanya.

Edenku, kini semuanya sudah berakhir.

Dan ia telah pergi, tanpa satu patah katapun.

Namun kuharap akan ada penjelasan atas semuanya.

No comments:

Post a Comment