Thursday, January 10, 2013

AMIRA






Sabtu sore.

Hujan dan kemacetan Jakarta, menjadi pasangan serasi yang membangkitkan geliat malas dalam dada saya. Seluruh otot rasanya berat untuk bergerak, tapi denyut di otak menyampaikan pesan ke jemari saya untuk meraih ponsel yang berada di meja nakas—sebelah tempat tidur. Dari sana, kepala saya dipaksa untuk ingat pada janji yang sudah saya buat untuk seseorang. Teman saya. Teman baik saya selama masih berseragam abu-abu.

Namanya Amira.

Kami selalu bersama untuk menghabiskan istirahat dengan jajan di kantin, lalu bergosip di tangga menuju ruang aula, mengambil waktu senggang pergantian pelajaran untuk melempar canda tak penting, atau bahkan bertukar catatan. Di saat gundah, kami tak segan-segan untuk saling berbagi, baik tangis juga cerita.

Saya tidak tahu apa yang bisa membuat kami menempel selama berjam-jam. Saya tidak tahu jembatan apa yang terbangun di antara kami untuk membuat pembicaraan terasa menggebu-gebu. Padahal saya menyukai L’arc-en-Ciel, dia menyukai White Shoes and The Couple’s Company. Saya butuh lima menit untuk berkaca, dia perlu setengah jam untuk merapihkan diri. Saya memilih mendengar, dia tidak bisa dihentikan saat sedang bicara.

Tiga tahun serasa tiga hari. Tiga tahun berguling secepat badai menyapu. Kami pun lulus. Kami masuk ke Universitas yang berbeda. Saya tahu, minat dan bidang kami memang berseberangan.

Ahhh, kenangan itu telah merenggut setengah jam saya berada lebih lama di bawah selimut.

Saya melihat jam di ponsel. Kalau lima menit lagi saya belum juga mandi, saya yakin akan terlambat dari janji yang sudah kami sepakati. Maka dengan garang, saya melempar selimut. Dingin air conditioner bercampur udara hujan, berlomba menggigit kulit saya. Saya menggigil—sedikit. Tapi, kaki ini saya gerakkan lebih cepat menuju kamar mandi. Hanya bermodal handuk. Lalu, saya melesat ke dalam kamar mandi. Dengan secepat kilat, saya basuh tubuh ini. Seketika hangat menjalar. Sehangat kenangan manis masa SMA yang tidak bisa dikembalikan lagi.

Ya, sehangat persahabatan kami waktu itu.

Ya, kan, Amira?



Saya mengetuk-ngetuk high heels ke kaki meja—tak sabar. Berkali-kali kepala saya menoleh ke jendela. Tapi, Amira masih tak terlihat batang hidungnya. Tak sabar, saya mengambil ponsel dan mencari nomornya.

Saya menelepon.

“Kamu dimana, Mira?” tanya saya segera.

“Aku di rumah, Ka. Kenapa dengan suaramu?” Amira bertanya polos di sana.

Dada saya bergelombang.

“Loh, kamu lupa dengan janji kita untuk menghabiskan akhir pekan ini di cafe? Cafe baru yang waktu itu aku tawarkan padamu.” Tak pakai tedeng aling-aling, saya langsung melempar bola.

Amira terdiam sejenak. Saya seperti mendengar suara napas tertahan.

“Aku lupa! Astaga Erika. Aku benar-benar lupa. Padahal kemarin aku sudah mencatatnya di papan jadwal supaya aku tidak melewatkan hari ini.” Amira seperti ditimpa dosa besar yang dia sesali. “Aku minta maaf. Apa kamu sudah di cafe itu?”

“Ya. Sejak satu jam yang lalu.” Entah kenapa suaraku berubah sinis. Tanpa aku sadari.

“Erika, aku sungguh minta maaf. Aduh, aku harus bagaimana...?”

Saya mendesah. “Kamu tetap tidak mau ke sini?”

“Aduh..., maaf. Maaf sekali. Aku tidak bisa. Aku membuat janji lain karena aku pikir tidak ada janji apa pun untuk hari ini.” Suara Amira memelas. Saya kesulitan menelaahnya. Apakah dia jujur? Ataukah dia hanya mencari cara untuk membuat saya memaafkannya? Saya kecewa. Terlebih pada diri saya. Hal ini membuat saya tiba-tiba menjadi curiga pada sahabat sendiri.

Saya menelan ludah. “Baiklah. Tak apa. Kalau begitu aku pulang saja.”

“Erika,” Amira mencegat saya memutus telepon. “Aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku..., aduh..., bagaimana kalau aku ganti harinya? Bagaimana dengan..., ngng, besok? Kali ini aku janji, aku tidak akan lupa. Aku akan segera mencatatnya sepulang dari sini.”

Amira terdengar begitu memohon. Saya tak tahu harus bagaimana bersikap. Karena, jujur saja, hati saya meragukan ketulusan permintaan maaf darinya. Amira terlalu banyak mengobral janji. Janji dalam waktu, juga janji untuk bertemu. Ah, saya sendiri menjadi benci pada diri saya. Kenapa harus meragukan sahabat baik saya?

“Baiklah. Besok, ya? Kita cari tempat lain? Tempat yang lebih dekat dengan lokasimu, bagaimana?” Saya mengusulkan dengan suara yang disetel seolah saya sudah memaafkannya.

“Ada cafe Lovely. Aku pernah ke sana satu kali. Tempatnya nyaman. Kamu mau coba?”

“Ok.” Saya memang tidak ada masalah dengan mencoba sebuah cafe yang baru.

“Ok. Deal. Aku akan ingat baik-baik, Ka.”

Saya tak berani banyak bicara. Saya hanya memegang kata-kata yang meluncur melalui sambungan telepon itu. Kata-kata yang diucapkan oleh Amira. Kata-kata, yang ternyata untuk kesekian kali hanya menjadi tong kosong belaka. Karena keesokannya pun, Amira berkelakuan yang sama. Dan, beralasan yang sama.

Dia lupa.



Enam bulan pun berganti. Tanpa saya tunggu. Saya tidak menghubunginya lagi.

Saya percaya, jika saya berarti untuknya, Amira tidak akan segan-segan menghubungi saya.

Kenyataannya, justru pedih. Tak satu kali pun Amira menghubungi saya.

Tiga bulan berikutnya, Bram, kekasih Amira, menghubungi saya. Dia tahu saya adalah sahabat Amira. Saya pernah bertemu dengannya hanya dua kali. Amira mengenalkan Bram pada saya waktu itu. Memang tak ada angin, tak ada hujan. Saya sama sekali tidak punya ide kenapa Bram mengajak saya bertemu. Dan, cukup mengejutkan, ternyata dia datang sendiri ke cafe yang saya usulkan padanya.

“Saya kaget,” ujar saya membuka permulaan.

Sore itu Bram terlihat rapih. Dia mengenakan kemeja dan celana pipa. Tapi, penampilannya menipu. Matanya tidak serapih penampilannya. Mata Bram, menyimpan gumpalan asap kelabu.

“Saya juga kaget karena tiba-tiba terpikir untuk menghubungimu.” Bram bersuara agak serak. Nadanya sendu. Tidak seperti awal-awal ketika saya dan dia bertemu.

“Ada apa? Kelihatannya penting?”

Saya berusaha menyelidik. Saya masih tak punya firasat apa pun.

Alih-alih bicara, Bram mengeluarkan sesuatu dari tas ransel yang memang terlihat begitu besar untuk ukuran orang yang hanya bekerja sebagai karyawan biasa. Ternyata tas itu menyimpan sebuah pigura. Bram menidurkan pigura itu di depan meja sehingga saya bisa melihat dengan jelas.

Saya tertegun. Foto-foto itu bukan foto sembarangan. Foto itu membingkai wajah dan senyum saya bersama Amira. Kala SMA.

Ada tulisan kecil di bagian bawah setiap foto. Namun, yang paling mencolok hanya satu. Sebaris kalimat besar : ERIKA ADALAH SAHABAT AMIRA. Kalimat itu hanya kalimat biasa. Kalimat itu, tampak tidak begitu spesial. Tapi, entah kenapa mata saya tidak bisa lepas dari sana.

“Saya mewakili Amira, ingin minta maaf sama kamu. Amira tidak pernah bermaksud mencampakkan kamu. Karena itu saya berharap, kamu tidak akan berpikiran sesempit itu.” Bram menatap saya, lirih. Saya makin mengernyitkan kening—makin bingung.

“Saya tidak mengerti. Ya..., saya akui, saya kecewa pada sikap Amira..., tapi serius saya tidak mengerti dengan kata-katamu.” Tiba-tiba saya merinding. Sesuatu seperti mengelus tengkuk saya. “Apa terjadi sesuatu pada Amira?” Suara saya mengecil. Nyaris mencicit. Saya tidak ingin mendengar berita buruk. Tidak. Amira pasti masih berada di satu tempat, pasti masih tertawa-tawa gembira, sesuai dengan karakternya yang tidak pernah enggan untuk bercerita.

Bram diam. Saya mulai dicengkeram ketakutan.

“Amira..., masih hidup, kan?” Pertanyaan tolol itu membuat kepala Bram terangkat Matanya menatap tajam ke mata saya. Seketika itu saya tahu, Amira masih hidup.

Saya bernapas lega.

“Tapi, dia..., sakit. Dia berusaha keras melawan penyakitnya. Segala cara dia lakukan, tapi dia tetap tidak berdaya. Dia tidak bisa melawan penyakit yang menggerogoti dirinya.” Bram berhenti bercerita. Suaranya semakin serak. Dan, saya yakin itu bukan karena alamiah, melainkan karena dia menahan air mata sekuat tenaga.

Saya beranikan diri buka mulut. “Sakit apa...?”

“Maafkan dia, Erika. Maafkan Amira karena bagaimana pun dia berusaha mengingat kenangan diantara kalian, Amira tetap tidak mampu. Secara perlahan, kenangan itu akan terhapus dari ingatannya. Semua karena penyakit itu.”

Mulut saya bergerak-gerak tanpa suara.

“Alzheimer.” Bram yang menggantikan saya menyebut dengan vokal yang jelas untuk nama penyakit yang sudah menjadi pengetahuan umum bagi saya. “Amira terkena penyakit itu. Bukan hanya kamu. Saat ini, dia pun sudah mulai melupakan saya. Melupakan kenangan di antara saya dan dirinya. Saya..., saya..., tak menemukan cara lain selain membantunya mengingat kembali kenangan yang dia punya.”

Bram tampak putus asa. Tangannya mengepal di atas meja. Saya sendiri syok.

Saya tatap pigura itu—lirih. “Apa kamu yang membuatnya?”

“Bukan.” Kepala Bram naik lagi. “Foto-foto itu Amira sendiri yang membuatnya. Ketika dia ingat, dia buru-buru menempel foto itu di pigura. Ketika dia tidak ingat, dia akan memandangi pigura itu selama berjam-jam. Saya bahkan melihat sendiri bagaimana putus asanya Amira ketika dia berusaha mengingat apa yang terjadi diantara kalian, sementara dirinya tidak mampu mengingat sejauh itu saat penyakitnya menyerang.”

Tubuh saya bergetar tanpa bisa saya kendalikan.

Seketika itu juga air mata saya jatuh.

“Saya mau ketemu Amira...,” suara saya berubah menjadi bisikkan.



Keinginan saya terkabul. Akhirnya hari ini tidak ada lagi alasan-alasan yang membentengkan pertemuan kami. Tidak soal kerjaan, tidak karena lupa. Saya yang mendatangi Amira. Di rumahnya.

Betapa saya merindukan sahabat saya itu.

Amira memandang saya. Rasanya, kami dua sahabat yang akhirnya terjebak dalam reuni. Kami saling tatap. Saya menatap penuh kangen. Amira menatap dengan bingung.

Dan, ketika saya menyebut namanya, dia hanya membalas singkat.

“Kamu siapa?”

Saat itu juga, saya ingin terbang bersama waktu, kembali ke masa lalu.





Jakarta, di sebuah Rumah Sakit. 2012.




@kura_jjang

kaniza_16@yahoo.co.id

Wednesday, January 25, 2012

Disappear

Terinspirasi dari lagu Disappear-nya Royal Pirates.

Berapa spasi yang terbentang antara kita?
Memandangimu dari tempatku berpijak, melihatmu dihentak oleh irama musik, seakan-akan Tuhan sedang bermain-main dengan karya cipta-Nya yang luar biasa. Suaramu mungkin kalah merdu dibandingkan Josh Groban. Kemasanmu juga mungkin tak sehebat Linkin Park. Tapi, kau berdiri di sana, dengan segala semangat yang kau tampilkan secara penuh. Aku melihat kau berlomba dengan kobaran api yang seolah menyala di sekitar tubuhmu. Dan, ketika bola matamu berhasil menyentuh pandangku, aku seperti ikut terbakar dalam pesonamu.

Kau tersenyum.

Sementara bibirmu membuka-tutup, mengurutkan setiap kalimat yang sudah menjadi bagian dari masing-masing nada yang ada.

Aku tau, kau tak pernah mau salah melafalkan lirik.

“Would you disappear?”

Itu hanya bagian dari apa yang harus kau katakan di panggung sederhana itu. Setidaknya begitulah, seharusnya. Sampai akhirnya satu rentetan kalimat tanya itu menjadi berbeda makna bagiku. Sementara semua orang masih menikmati kerasnya hentakan gitar, drum dan suaramu, air mataku meleleh. Satu demi satu, lalu membanjir di sepanjang pipiku.

Tak aku lihat lagi kobaran semangat itu. Matamu kini tengah membakarku secara nyata. Perlahan, kau mentransferkan seluruh energi kebencian yang bisa kau hasilkan di setiap nadamu, padaku. Kau sukses. Dan, akan selalu begitu. Terutama ketika perasaanmu itu telah berubah menjadi sesuatu yang jujur, yang ingin kau utarakan padaku secara terang-terangan.

Apa yang bisa kulakukan dengan panjangnya spasi diantara kita?

Bukan saja jarak yang jelas-jelas bisa kau lihat, tetapi kau juga telah menarik hatimu. Kau memilih untuk terus berlari, meski aku berusaha mengejarmu.

Aku tertunduk, takut dengan pandangan matamu, sementara musikmu semakin menghentak keras. Seolah musik itu menjadi pengantar amarah yang ingin kau tujukan hanya untukku.

Kemudian, bisikkan maafku hanya akan tenggelam diantara rentetan bunyi gitar dan drum. Bahkan meski kau bisa membaca gerakan bibirku seperti orang bisu, kau tak membiarkan udara menyampaikannya padamu. Semua itu seperti luka yang ditaburi garam, begitu kau melengoskan wajahmu. Penampakkanku seperti tidak diharapkan. Tapi, melihatmu membuatku seakan menjelajah lagi pada masa yang sudah lewat. Dimana akhirnya aku seperti melihat diriku bersama lelaki lain yang paling kau benci.

Musik berhenti mengejutkan. Kau menghilang dari panggung saat aku berusaha menjangkaumu.

Dan, ketika aku berhasil menemukan sosokmu dari belakang, ketika akhirnya aku memaksakan kakiku yang terasa berat ini untuk melangkah mendekatimu, aku justru menyesal. Karena pada akhirnya aku melihatmu sudah bersamanya. Perempuan itu.

Perempuan yang paling kubenci.

Sunday, January 22, 2012

Jangan Cuma Tersenyum

Dari tempat tidur, aku bisa mengamati punggungnya—tegap. Dia sibuk menyiapkan sesuatu. Ketika tubuhnya berbalik, dia sedang meletakkan satu per satu mangkuk di atas meja. Kemudian, dia beralih padaku. Dan, tersenyum.

Dengan sabar, dia menghampiriku dan membimbingku untuk menikmati sarapan pagi ini. Pagi ke-duaku berada di rumah sederhana yang sama sekali asing buatku. Dengan seseorang yang juga baru pertama kali kulihat wujudnya. Bahkan aku tidak mengetahui namanya. Sejak aku sadar kemarin sore, bibir kami sama sekali terkatup. Tak ada satu kalimat pun yang menjadi jembatan antara otak kami yang mungkin dipenuhi sejuta pertanyaan. Matanya hanya menatapku, sambil tersenyum, seakan itu adalah mantera yang mampu membaca apa isi hatiku sekaligus membeberkan semua kalimat yang muncul seperti balon di atas kepalanya. Tapi, dia benar. Sinar di tatapannya yang tulus itu seolah mewakili puluhan ribu susunan huruf abjad. Aku tau dia orang baik.

Kalau tidak, pasti sejak kemarin dia sudah memperkosaku.

Aku menikmati bubur buatannya. Dengan uap yang masih mengepul, bersama segelas teh kental yang sama menghadiahkan uap hangat ke arah wajahku. Rasanya nikmat. Senikmat kala dia memandangiku.

“Kenapa kamu memandangiku?”

Itu adalah pertanyaan pertama, seumur aku mengenalnya. Wajahnya terlihat berubah. Mungkin kaget, mungkin senang. Mungkin bersyukur karena aku tidak bisu.

Tapi, aku yang tersudut kemudian.

Dia hanya menggerakkan tangan, membentuk seperti bahasa isyarat. Aku mengernyitkan kening. Jujur, aku sama sekali tak paham dengan sandi-sandi yang dia kirimkan padaku melalui bentuk visual. Aku payah dalam masa pramuka.

Akhirnya dia memilih mencari kertas dan pulpen. Dia menorehkan sesuatu dengan tangan kirinya. Tulisannya rapih.

AKU SENANG KARENA KAU SUDAH BANGUN DAN SEHAT.

Begitu tulisnya.

“Jadi, kenapa kau menolongku?” tanyaku setengah kecewa. Andaikan dia tidak menolongku waktu itu, pasti aku sudah bahagia. Di surge. Kalau tidak salah ingat, harusnya aku tidak berbuat dosa banyak sebelum memutuskan untuk menenggak baygon di pinggiran jalan itu.

Tapi, dia cuma tersenyum. Tangannya diam, tak menorehkan ujung tinta pada kertas putih yang masih tersisa itu. Bibirnya terus melengkung, membuatku gemas. Apa maksudnya?

Sampai akhirnya jawaban itu seperti datang sendiri ke hadapanku.

Wajah, bentuk tubuh, dan tatapan mata yang sama persis itu hadir di depanku. Membuatku nyaris menyangka bahwa ada kerusakan dalam penglihatanku. Tapi, tidak. Sosok itu benar-benar ada. Mereka…, sama persis.

“Dia adik kembarku. Tidak bisa bicara sejak kecil.” Cowok itu memulai tanpa pernah aku tanyakan lebih dahulu. “Aku yang membawamu ke sini. Dia hanya merawatmu.”

Dan, pagi ini aku benar-benar seolah mengalami gangguan otak.

Wednesday, August 17, 2011

Ingatan Terakhir

“Belikan aku bunga, ya. Aku suka sekali. Terutama mawar putih.”

Gisel menatap kamarnya. Penuh dengan isi bunga mawar putih. Ada yang sudah layu, ada yang masih fresh—usia beberapa hari. Tapi, ada juga yang palsu. Setiap yang asli berubah layu dan terpaksa dibuang, mawar putih yang lain akan menempati posisinya. Entah apa yang harus dia lakukan dengan semua bunga-bunga itu. Mawar putih, mendadak menjadi sesuatu yang membuatnya mual.

”Gisel!” panggil kakaknya—Rendi. Dia melongok dari balik pintu kamar. ”Ryan datang.”

Gisel cuma mengangguk. Tak ada kebahagiaan. Terbersit sekilas, dia meminta tolong kakaknya untuk berbohong. Dia muak pada semua ini.

”Hai, Gisel. Mawar putih untuk kamu.”

Ryan berdiri dengan sebuket mawar putih yang cantik. Tak akan ada satu pun cewek yang bisa menolaknya. Kecuali Gisel. Ya, dia muak dengan mawar putih. Semua koleksi mawar putih yang ada di kamarnya adalah pemberian Ryan—cowok yang sangat dicintainya.

Gisel nyengir tak iklas.

”Mawar putih kesukaan kamu.” Ryan tersenyum.

Tapi, suara Ryan selalu terbata-bata. Wajahnya penuh jahitan dan luka tonjolan. Berdirinya pun pincang.

”Aku selalu mau kasih kamu mawar putih karena kamu suka mawar putih.”

”Ryan!” Gisel membuat Ryan tersentak. Cowok itu terkejut. Kentara sekali dia kaget. ”Cukup. Aku muak. Aku minta maaf. Kecelakaan itu karena salahku. Tapi, cukup dengan semua ini. Aku mohon.”

”Kecelakaan?” Ryan seperti orang bodoh.

Gisel makin larut dalam kegundahannya. Andai kata dia tak menyuruh Ryan datang cepat, hingga cowok itu ngebut di jalanan yang diguyur hujan, kecelakaan itu tak terjadi. Ryan tak mengalami benturan di kepala yang mengakibatkan memorinya cuma terpaku pada satu hal. Dan, Ryan masih akan normal seperti Ryan yang dulu, penuh canda dan hangat.

Sejak itu Gisel tak pernah mau menemui Ryan lagi. Tapi, sebagai gantinya, satu tangkai mawar putih kerap kali bertengger di depan pagar rumah, saat Gisel hendak berangkat kerja.



PS : cerita pendek ini merupakan hasil spontanitas ketika melihat twit dari nulisbuku (sebuah selfpublishing) yang mengajak followers-nya untuk membuat cerita sependek satu halaman~~

Thursday, April 29, 2010

Merry Go Round

Langit senja menghadirkan segurat warna pucat. Seorang pria bertubuh jangkung, dengan rambut mencuat ke segala arah—tanda ia belum menyisir hari ini dan mungkin kemarin—serta wajah kuyunya yang berantakan karena janggut yang belum dicukur berjalan lunglai di tengah keramaian. Ia mendekati sebuah arena permainan yang penuh dengan kuda-kuda plastik. Bayangan tipisnya merangkak di atas batako, mengikuti kemana si pemilik tubuh bergerak.

Merry go round. Itulah namanya.

Mendekati pagar-pagar besi yang mengelilingi merry go round, lelaki yang bernama Devon itu menekankan perutnya ke sana.

Cahaya matanya redup. Kosong. Hampa. Namun, bola mata berbentuk biji almond itu terus mengarah ke salah satu kuda plastik bewarna putih. Dan siapapun yang melihatnya, bisa menduga kalau lelaki itu sedang berusaha untuk tegar. Memang begitulah keadaannya.

Tempat ini penuh kenangan. Sulit sekali menginjakkan kaki di sana. Namun, demi mendapat jawaban dari apa yang selama ini ia cari, Devon menguatkan hatinya. Dan nyatanya, ia bisa sampai di sana.

Devon menunggu. Meski tidak tau apa yang ditunggunya.

Kemudian, merry go round berputar. Sebuah iringan musik lembut, menyertainya. Devon masih termangu menatap kuda putih tadi. Kuda yang begitu disukai Biyan. Kuda yang sangat mengingatkannya pada sosok gadis tomboy itu.

“Bi…apa yang membuatmu menyukainya?”

Bersamaan dengan merry go round itu berputar, seluruh kenangan Devon pun ikut berkelebat di kepala. Berputar dengan sangat mulus, sehingga tidak satu menit pun hilang dari ingatannya.

Semua tentang Biyan.

*

Pagi itu, Devon tidak pergi ke rumah sakit. Ia sedang ambil cuti. Di dalam kariernya sebagai seorang dokter bedah umum, Devon memang cukup sibuk. Oleh karena itu, Devon harus bisa mengatur waktu untuk menemani istrinya, Biyan, yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa.

Dan hari itu, Devon ingin mengajak Biyan pergi ke taman wisata. Tapi ketika ia bangun, hanya secarik kertas dan secangkir kopi yang ia temukan di samping tempat tidur. Tulisan di atas kertas itu adalah tulisan Biyan, yang mengatakan kalau Biyan sedang pergi ke pasar dan akan segera kembali.

Sambil menanti istrinya, Devon menyibukkan diri dengan membuat sarapan untuk Biyan. Sepiring nasi goreng dan segelas coklat hangat yang masih mengepul. Setelah meletakkan di atas meja makan, Devon mengisi waktu dengan menonton acara televisi.
Ketika beranjak siang dan Biyan masih belum kembali, Devon mulai tidak sabar. Di tengah perasaan yang galau, ponselnya berbunyi kencang. Ia segera menyambar dan menempelkan benda itu ke telinga.

Semenit kemudian, tangan Devon langsung gemetar. Napasnya tertahan. Dan jantungnya seakan berhenti berdenyut.

Seseorang mengabari bahwa Biyan mengalami kecelakaan parah bersama sepeda dan barang belanjaannya.

Ponsel terjatuh. Devon pun melesat meninggalkan rumah dan berlari seperti orang kesetanan menuju rumah sakit. Perasaan galaunya berubah menjadi tidak menentu. Keringat dingin membanjir. Dan otaknya seperti mengalami pembekuan. Air mata yang mengalir di sudut, terbang bersama angin yang menerpa wajahnya kala ia berlari sekuat tenaga. Tapi satu hal yang diharapkannya.

Semoga ia masih bisa melihat Biyan tersenyum.

Sampai di rumah sakit, Devon bertemu dengan Frans, rekannya sesama dokter. Setengah emosi dan terkejut, ternyata mampu membuat Devon hilang kendali. Ia merenggut ujung jubah Frans dan menuntut dokter berkacamata itu untuk memberikan kabar baik. Sayang, raut wajah Frans tetap menyiratkan adanya berita buruk.

“Sulit sekali Devon. Istrimu banyak mengeluarkan darah dan aku menduga ada kerusakan parah pada kepalanya karena dalam kecelakaan itu kepala Biyan yang pertama kali membentur jalanan,” kata Frans tidak merasa tidak enak memberitau kenyataan itu.

Semula Devon mengira kalau perkataan Frans hanyalah dugaan sementara. Tetapi melalui hasil pemeriksaan, kenyataannya memang begitu. Batang otak Biyan rusak cukup parah. Batang otak adalah sumber semua saraf. Dan jika batang otak mengalami kerusakan…, sungguh Devon tidak tau lagi harus bagaimana. Devon ingin sekali berteriak, memaki Frans, atau menghantam dinding. Tapi dia tidak berdaya. Baru kali ini dia merasa begitu lemah, seolah semua tenaga sudah habis tersedot perasaan sedihnya.

Devon hanya bisa menangis pilu di sisi tempat tidur Biyan.

*

Tiga bulan pun berlalu.
Tanpa ada perkembangan dari diri Biyan. Gadis itu masih tergeletak lemah tak berdaya di atas tempat tidur rumah sakit. Selang-selang infus dan peralatan lain menempel di tubuh Biyan. Hanya melalui selang-selang itulah hidup Biyan bisa bertahan.

Namun Devon selalu berharap kondisi Biyan membaik.

Kenyataannya, kondisi Biyan masih koma.

Setiap hari, Devon menunggui Biyan. Barangkali saja tiba-tiba tangan dingin Biyan bisa bergerak. Dan jika itu terjadi, Devon harus ada di sana.

Semua pemeriksaan Biyan pun harus dilakukan oleh Devon dengan bantuan Frans. Semua obat yang masuk melalui selang infus, selalu berada di bawah pengawasan Devon. Tapi tetap saja belum menampakkan hasil yang memuaskan.

Di tengah-tengah pekerjaannya, Devon juga selalu menyempatkan diri mengunjungi Biyan dan membawakan sekuntum bunga chrysanthemum berwarna pink sebagai penghias tempat tidur Biyan. Setiap hari, satu kecupan di kening diberikan pada Biyan, dengan harapan gadis itu akan bangun karena tau ada seseorang yang menantinya.

Orangtua kedua belah pihak datang bergantian. Mereka paham betul dengan perkembangan Biyan. Mereka juga berharap sama dengan Devon, namun kenyataan tidak seperti itu.

Suatu hari, di dalam lorong rumah sakit yang sepi, saat menginjak empat bulan Biyan terbaring tak berdaya, Ibunya Biyan berdiri di hadapan Devon. Keduanya sama-sama tegang.

“Mama, tidak tega melihat putri Mama seperti ini terus, Dev,” sebulir air mata jatuh saat wanita tua itu memulai apa yang ingin diutarakannya. “Mama pikir, kalau ada satu cara yang bisa menghilangkan sakitnya Biyan…”

Devon menelan ludah dengan susah payah. Agaknya ia mengerti maksud Ibu mertuanya itu, tapi hatinya menolak untuk percaya. “Maksud Mama?”

Wanita tua itu menyerosot ingusnya. “Apapun caranya, Devon… Mama ingin penderitaan Biyan berakhir,” ia terdiam sejenak dan menatap Devon dalam-dalam. “Kau tau, Nak.”
Tangan Devon mengepal kuat-kuat di kedua sisi jubahnya.

Sungguh, Devon marah dalam hati. Namun dia menahannya. Sekuat tenaga menahannya, hingga seluruh energi tersalur pada telapak tangan yang tertancap kuku-kukunya. Sepicik itukah pikiran Ibu mertuanya? Semudah itukah dia menyerah? Devon benci pikiran wanita itu!

Sampai kapanpun, Devon tidak akan melepaskan Biyan!

Tidak! Dia tidak akan membiarkan keinginan Ibunya itu tercapai! Biyan akan hidup. Biyan akan bangun dari koma. Karena itu, Devon akan berusaha keras lagi untuk pengobatan Biyan.

Kenyataan memang sulit sekali disesuaikan dengan keinginan menusia. Sekuat apapun Devon berusaha, namun kondisi Biyan tetap tidak membaik.

Bulan pun berganti, tanpa sesuatu yang berarti. Beranjak pertengahan tahun, Biyan masih tetap berbaring koma. Kondisinya malah menurun sehingga beberapa selang harus ditambahkan ke tubuhnya.

Keadaan Biyan terlihat mengenaskan. Tidak ubahnya dengan seorang mayat. Kulitnya pucat, tubuhnya kurus dan cekungan di pipinya kian tampak.

Ibunya semakin sering menangis ketika melihat keadaan Biyan. Wanita tua itu pun semakin bertekad untuk menghilangkan penderitaan Biyan. Dengan meminta persetujuan keluarga, Devon kembali dibujuk. Hanya ini satu-satunya cara agar Biyan bisa bebas dari penderitaan.

Di sisi lain, Devon masih bersikeras menolak. Ia masih yakin pada kemampuannya untuk bisa menyembuhkan Biyan. Apalagi, ia sangat tidak rela kalau harus kehilangan Biyan, secepat ini. Biyan sungguh berarti bagi hidupnya. Hingga kalau harus kehilangan gadis itu, Devon tidak tau lagi pada hidupnya.

*

Di hari itu, Devon sedang duduk di sisi Biyan. Ia baru saja mengganti sejumlah bunga berwarna pink lembut itu dengan bunga yang baru. Harum segar merebak di ruangan tersebut.

Sambil menatap wajah kuyu Biyan yang mulai cekung, Devon menggenggam tangan Biyan. Pikirannya berkutat dengan kejadian belakangan ini. Tentang semua desakan keluarga akan masalah Biyan.

“Aku…tidak akan melepaskanmu, Biyan,” gumam Devon begitu lirih.

Setetes air mata kembali jatuh di pipi Devon. Tapi pria itu tidak peduli. Yang diperhatikan hanya gadis yang tampak begitu tak berdaya di hadapannya.
Tiba-tiba saja, air mata lain menetes dari sudut matanya.

Sudut mata Biyan.

Devon terperangah. “Bi…kau mendengarku?” Hening. Tak ada jawaban. “Apa…air mata itu, tanda bahwa kau begitu menderita?”

Hanya suara denyut jantung dari mesin yang terdengar.

Devon menundukkan kepala sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Hatinya terasa dirajam. Begitu perih. Tapi, apa pun yang terbaik akan dilakukannya untuk Biyan. Apa pun, untuk membuat gadis itu tidak menangis.

*

Akhirnya Devon menyerah. Ia menyerah pada keadaan, Biyan dan juga desakan keluarga. Tidak dipungkiri, hatinya pun lelah dengan semua beban. Hari itu, euthanasia akan dijalankan, sesuai dengan permintaan Ibunya Bian dan juga ijin keluarga. Euthanasia, kini hanya cara itulah yang bisa membebaskan Biyan dari segala sakit yang dideritanya.

Devon bersikeras melakukan euthanasia itu dengan tangannya sendiri. Dia yang begitu menjaga Biyan, karena itu dia juga yang akan melepas Biyan.

Dengan jubah putih kebangsaannya, Devon berdiri di sisi tempat tidur Biyan. Devon menatap wajah Biyan beberapa menit. Kemudian ia meraih jemari-jemari Biyan yang dingin dan menggenggamnya supaya hangat. Setelah itu, dikecupnya kening Biyan dengan begitu lembut. Satu bulir air mata menetes di kening Biyan dan mengalir ke sisi mata gadis itu. Tampak seolah Biyan yang menangis.

Sesudah semua itu, Devon mulai melepaskan satu per satu selang yang menempel di tubuh Biyan. Tangis kedua orang Ibu meledak di kamar itu begitu Devon menyelesaikan pekerjaannya.

Kemudian, Devon duduk di sisi Biyan. Ia kembali menggenggam tangan Biyan. Kini, Devon hanya bisa menunggui Biyan menanti ajalnya. Dan Devon benar-benar menungguinya. Sampai jantung Biyan tidak menunjukkan denyutnya dan napas Biyan sudah tidak terdengar lagi.

Terakhir kali, Devon kembali mengecup kening Biyan dengan tubuh gemetar. Lalu mengusapnya, seolah mengijinkan Biyan pergi dengan tenang. Tidak ada air mata di wajah Devon. Ya, ia tidak akan menangis untuk kali itu. Tidak di saat ia menemani Biyan untuk terakhir kali.

*

Merry go round itu perlahan mulai berhenti. Devon masih bergeming di tempatnya. Matanya masih terarah pada permainan itu.

Tiba-tiba Devon tertegun.

Kuda putih itu tidak berhenti tepat di hadapannya. Kuda putih itu hilang. Dan Devon tidak bisa melihatnya.

Mendadak Devon lemas. Pandangannya pun kabur karena air mata.

Akhirnya ia mengerti!. Ia sudah tau alasan kenapa Biyan begitu menyukai merry go round, bersamaan dengan menguapnya air mata itu.

Hanya ada satu alasan di sana.

Karena Biyan tau, Devon akan selalu menantinya di sisi yang sama. Menanti untuk melihat lambaian Biyan, menanti untuk melihat tawa Biyan dan menanti untuk membiarkan Biyan pergi.

Sudut bibir pria itu mencuat sedikit. Ia tersenyum getir, seolah mengejek dirinya sendiri atas semua keterlambatan pikirannya dan apa yang sudah ia lakukan.

“Maafkan aku, Biyan…Sungguh, maafkan aku…” gumam Devon perlahan dengan suara sendu.
Devon menelungkupkan kepalanya ke atas kedua tangannya yang berpegangan pada besi-besi pagar merry go round. Tiba-tiba tangisnya meledak di sana. Tangisan putus asa dan kekecewaan yang mendalam.

Kini, Devon tidak tau harus bagaimana menghadapi hidup. Sungguh, ia bagai orang yang terlunta-lunta sendirian. Tanpa istri, tanpa karier.

Semuanya telah menghilang, tanpa pernah bisa untuk kembali.

Langit senja beranjak gelap. Orang-orang mulai meninggalkan tempat wisata itu. Hanya Devon yang masih tetap di tempat. Masih tetap bergumul dengan tangis dan semua pikiran masa lalunya.

Entah sampai kapan.



Sebuah tulisan usang yang terbengkalai di gudang data.

Thursday, April 8, 2010

Bye, Mr. Always Yesterday

Bahwa hari ini aku akan kembali pada sang ‘Bunda’…, akankah kau hadir di sini untuk terakhir kaliku?

Hari sudah semakin malam, saat aku masih tetap terjaga, berdiri di antara belaian angin yang mengusap lembut wajah dan rambutku. Aku letih. Bahkan hampir menyerah. Tapi, hatiku terlalu kokoh seperti pilar hingga tetap membuatku berpijak pada bumi dimana bukan tempatku seharusnya berdiri. Dingin malam membuat aku merapatkan cardigan putihku. Aku berdoa, agar—setidaknya, kau segera keluar dari rumahmu, sekedar untuk mencari makanan ringan pengganjal perut atau mengecek apakah pintu pagarmu sudah terkunci rapat. Tapi, doaku terkunci selama setengah jam—lebih. Tidak ada jawaban. Kau…, tetap tidak menampakkan sosokmu.

Tubuhku semakin dingin. Doaku semakin kencang. Tapi, radarku tidak cukup kuat untuk mengirimkan sinyal jeritan hati ini kepadamu. Juga kepada Tuhan. Hingga semuanya tetap terasa hening, semakin sayup dan hampa.

Hanya satu kata yang ingin ku kirimkan—rindu, namun aku terpekur sendirian. Aku memenjarakan kata itu dan menikmatinya seorang diri. Tapi, ini untuk terakhir kali. Dan, sudah saatnya ‘kata’ itu bebas dari sarangnya, menghampiri sang penerima.
Hanya saja, kau masih tetap berada di dalam sana. Sibuk. Sendiri.

Karena…, kau memang tidak pernah tahu keberadaanku.


Aku menarik napas dalam-dalam. Begitu kutengadahkan kepalaku, mataku langsung menangkap sosokmu yang bergerak keluar dari dalam rumah sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku sweater. Kau berjalan menunduk seolah ingin melindungi wajahmu dari tatapan lima meterku.

Hatiku mencelos.

Perlahan, kau bergerak keluar pagar. Apa yang kau cari di malam selarut ini?
Doaku terjawab sudah. Kini, aku menarik napas kuat-kuat, mengumpulkan kekuatan di dalam diri. Lalu, dengan kaki yang terbungkus boot putih dengan sisinya berbulu, aku pun melangkah mantap di belakang punggungmu yang lebar. Terlihat begitu hangat jika aku berada di sana.

“Ngng…,”

Entah bagaimana, suara pelanku bisa merambat ke telingamu. Kau menoleh. Wajahmu tampak begitu bingung, dengan kening yang berlipat dan alis menyatu. Namun, aku tau kau tetap menyelipkan seulas senyum untukku. Senyum yang begitu hangat. Senyum yang sangat ramah. Hingga aku yakin, kau adalah pria yang sangat baik dan terbuka.

“Ya?”

Aku menunduk. Dengan tangan bergetar—antara dingin dan gugup, aku mengeluarkan sebuah botol kaca dengan gulungan-gulungan foto di dalamnya. Fotomu.

“Selamat ulang tahun.”

Wajahmu semakin menunjukkan kebingungan. Sampai-sampai kau lupa bahwa tanganku terjulur untuk memberikan hadiah tersebut.

“Sori…, apa aku kenal kamu?” tanyamu berusaha sehalus mungkin. Aku tau, kau tidak ingin menyakiti perasaanku. Tapi aku juga tau, bahwa kau memang tidak mengenalmu. Jika bukan bayangan mimpiku yang menunjukkan sosokmu, aku tidak akan mencarimu dan menjadi seorang bayangan yang terus memendam rasa.

Aku tersenyum. Kaku. “Nggak. Tapi, aku kenal kamu. Dan pagi ini, usiamu tepat bertambah. Jadi aku ingin memberikan hadiah ini.”

Akhirnya, kau mau menerima hadiah dariku.

“Thank’s. Aku bisa pergi dengan tenang sekarang.”

Kau hanya terdiam. Aku tau, saat itu, kepalamu hanya penuh dengan berbagai pertanyaan. Sayang, aku tidak bisa menjawab semuanya. Aku harap kau bisa mengerti bahwa sesuatu akan lebih berharga ketika dia menjadi sebuah rahasia yang tak terungkap wujudnya.

Lalu, aku segera membalikkan badanku, bergerak ringan dan pergi dengan meninggalkan jejak secara perlahan. Apa kau penasaran?

*

Hari ini, subuh masih mengurung bumi dan langit masih menampakkan rona keunguannya. Tapi, aku sudah muncul. Aku berbias pada langit dan memamerkan keindahan warnaku.
Hanya untuk melihatmu yang sudah sibuk dengan pakaian rapih, siap bergegas menuju kantor.

Sunday, March 14, 2010

Memori Putih

Kamu ingat tempat ini?

Bukit kecil ini, pohon besar dengan daun rindangnya, dan alas berumput. Semuanya menjadi saksi pengakuan yang meluncur dari bibirmu bahwa kamu datang dari planet mars. Masih ingat? Mungkin tidak lagi. Bahwa dulu, kita sering berbagi kisah dalam potongan-potongan yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Bahwa akan selalu ada matahari yang terbit di barat dan terbenam di timur. Begitu juga dengan kisahmu. Ratusan. Mungkin ribuan. Tidak akan pupus meski waktu itu hujan turun perlahan menjadi musik pengiring bagi kata-katamu.

Kamu itu, mozaik buku.

Kepingan demi kepingan dari kata yang menjadi sebuah dunia baru bagiku. Mimpi, kodok, pulau terpencil, dan kiamat. Apa pun itu, kamu selalu bercerita dengan gaya khasmu yang penuh semangat. Hingga setiap tingkahmu selalu membuatku tak kuasa untuk tersenyum.

Tapi, kamu curang.

Kamu selalu tahu apa pun mengenai diriku. Kenapa aku tidak bisa mengetahui apa pun tentangmu? Padahal akulah pengamatmu. Sementara kamu selalu sibuk bercerita.

Aku tahu.

Mungkin, memang kamu tidak pernah membiarkan aku membaca semua yang kamu simpan. Tentang dirimu. Karena kamu tahu aku tidak boleh berharap terlalu jauh, menggapai bintang seperti kisahmu. Tapi, kamu tenang saja. Sebelum aku berusaha mencari tangga untuk memetik bintang, aku akan menghapus langit untuk diriku. Langit kecil di ruang hatiku yang bersinar. Hingga kamu tidak perlu khawatir bahwa aku akan jatuh dari ketinggian.



Aku tidak akan jatuh sakit...


saat melihat kamu ternyata bersamanya.