Friday, September 25, 2009

Kisah Sepasang Mata bag 2

Entah apa yang merasuk ke dalam tubuh Hong Gi sehingga dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Langkahnya lebar-lebar, meniti setiap jalanan beraspal dan menembus angin musim gugur, dengan langkah lebar. Tampak tergesa-gesa. Wajahnya tampak diliputi kekalutan. Matanya pun bergerak liar.



Sesampainya Hong Gi di rumah, dia segera melesat menuju kamarnya. Seperti orang yang sedang kalap, Hong Gi membongkar seluruh perabotan kamarnya. Dia tampak mencari-cari sesuatu. Wajahnya diliput kepanikan, kemarahan serta penyesalan yang menjadi satu. Sesekali dia mendesah berat kala tidak mendapatkan apa yang dia inginkan di satu tempat, hingga dia harus mencari ke tempat yang lain.

HIngga akhirnya, ruangan persegi itu pun tampak begitu berantakan dengan segala benda yang terlepas dari tempat asal. Hong Gi terduduk pasrah di sisi tempat tidur dalam diam. Dia menjambaki rambutnya sambil mengerang kesal.

Aku tidak tau, meski aku sungguh ingin menangis untuk melepas emosi, namun aku tidak bisa menangis. Air mata itu tidak akan tumpah. Tapi noona, bukan aku tidak mengkhawatirkan mu. Sungguh….

****

Hong Gi baru saja membeli sekaleng bir. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia sangat sangat ingin mencicipi minuman keras tersebut. Dan sekarang, Hong Gi merasakan satu kepuasan ketika kaleng bir itu berada di tangannya. Meski tenggorokannya terasa panas dan kepalanya agak pusing. Dia tidak sadar kalau pipinya sudah mulai memerah.

Baru saja Hong Gi memutuskan untuk pulang, ketika kakinya melewati sebuah pub. Beberapa orang tampak hilir mudik keluar masuk dari tempat itu.

Hong Gi terpana di tempat, dengan tangan kanan memegang kaleng bir dengan posisi hendak meneguk minuman itu. Perlahan dia menurunkan tangannya dan seolah terpanggil oleh seseorang, kaki Hong Gi bergerak ragu memasuki tempat itu. Karena dia dianggap sudah dapat menunjukkan kartu identitas, maka Hong GI bisa masuk dengan selamat.

Dan reaksi pertamanya adalah : kagum.

Tidak tau siapa yang memulai, siapa yang menghampiri, atau siapa yang pertama melemparkan senyum menyapa, seorang perempuan berpakaian seksi segera mendekati Hong Gi. Dibimbingnya Hong Gi yang sedikit lebih pendek dari perempuan bersepatu hak tinggi itu, menuju sebuah meja.

“Kau…mau mencoba peruntungan? Atau sekedar bersenang-senang dengan kami?” Tanya perempuan itu dengan suara menggoda.

Hong Gi terpana menatap wajah mulus berlapis make up tebal milik perempuan itu. “Aku hanya ingin mendapat uang banyak.”

Perempuan itu menyunggingkan senyum terselubung sambil membalas tatapan Hong Gi dengan tajam. Kemudian dia meraih tangan Hong Gi dengan mesra dan membawanya ke sebuah meja lain yang ramai dikelilingi orang-orang. Asap rokok mengepul dari kerubungan itu.

“Peruntunganmu dimulai dari sana,” kata perempuan itu, menyuruh Hong Gi untuk bergabung dengan pria-pria tengah baya yang sedang terhipnotis dengan permainan Roulette, yaitu sebuah piringan berbentuk bulat yang berputar kencang dan menggunakan dua buah dadu yang dikocok untuk menentukan kemenangan.

Awalnya Hong Gi ragu akan hal tersebut, namun entah kenapa, tidak ada bagian dari dirinya yang memilih untuk mundur dari tempat itu. Sungguh di luar dugaan, ternyata di sanalah memang peruntungan Hong GI. Dalam setengah jam saja, Hong Gi sudah berhasil meraup setumpuk uang. Dan kini, seperti sudah terbiasa bermain Roulette, Hong Gi tampak begitu antusias. Tawa dan teriakannya membahana kala dia memenangkan sejumlah uang.

Perempuan tadi menggelayutkan tangannya yang mulus di leher Hong GI saat dia berdiri karena terlalu bahagia bisa memenangkan permainan yang baru sekali itu dimainkan. Sekejap Hong Gi terkejut dengan sikap mendadak si perempuan tak dikenal itu. Hong Gi bahkan hampir menyingkirkan tangan itu dari lehernya, namun entah kenapa dia mengurungkan niatnya dan berusaha menikmatinya. Hong Gi memberikan senyuman kaku pada perempuan itu.

Aku tidak tau kenapa, tapi aku hanya ingin melupakan kenyataan siapa diriku sebenarnya. Paling tidak untuk beberapa saat itu. Karena anehnya….aku merasa begitu bahagia.

****

Pagi itu, Hong Gi baru keluar dari pub. Dia terlalu menikmati suasana di dalam tempat itu, yang benar-benar bisa membuat dirinya lupa akan segala beban. Hong Gi lupa diri.

Tapi, kebahagiaan di dalam pub itu, berangsur-angsur menguap ketika Hong Gi tiba di rumahnya. Banyak orang berkerumun di depan sana. Semuanya tampak menjulurkan kepala, seperti ingin tau apa yang terjadi di dalam sana. Hong Gi mengedarkan pandangan. Sebuah mobil patroli polisi terparkir tidak jauh dari rumah.

Sama sekali tidak ada bayangan apa yang telah terjadi di rumahnya.

Penasaran, Hong Gi berusaha menerobos orang-orang yang menutupi jalan masuk ke rumahnya. Namun, belum sempat Hong Gi sampai di dalam rumah, dua orang polisi muncul dari dalam sambil menyeret seorang perempuan berambut panjang dengan kulit putih pucat. Perempuan itu berontak, namun tampak lemah. Dia menjerit histeris dan matanya sembab, tanda dia menangis. Tak lama berselang, sepasang pria dan wanita muncul. Dengan wajah panik, dia mencoba menahan polisi itu.

Hong GI langsung membeku di tempat. Tidak mungkin, Si Nae, kakak satu-satunya, akhirnya harus masuk ke dalam sel tahanan. Apa penyebabnya, Hong Gi tak perlu mencai tau. Dia sudah sangat mengerti keadaan SI Nae yang mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

Tangan Hong Gi mengepal kuat-kuat hingga memerah. Kemudian, dia membalikkan badan dan segera berlari dari sana. Kali ini bukanlah pantai yang menjadi tujuan Hong Gi. Tapi dia.

Aku membencinya. AKu benci Si Nae. Dia bukan kakakku. Aku benci keluargaku. Apa aku masih tetap harus bertahan?

****

“Jong Hoon!!” seru Hong Gi seperti orang kesetanan.

Dia tau dimana biasa Jong Hoon menghabiskan waktu. KAlau bukan perpustakaan sekolah, pastilah taman belakang sekolah itu. Dan dugaannya benar. Jong Hoon ada di sana, sedang membaca buku dengan pandangan mata kosong.

Hong Gi mendekati Jong Hoon. DAlam keadaan emosi, Hong Gi langsung menarik leher kaos Jong Hoon hingga laki-laki itu berdiri dengan terpaksa. Buku bacaannya terjatuh begitu saja. Didorongnya tubuh Jong Hoon hingga punggunya menghantam sebuah pohon besar. Namun, wajah Jong Hoon tetap datar.

“KAtakan sejujurnya,” ancam Hong GI tajam. “Apa kau sungguh menyukai noona?”

Jong Hoon terdiam. Ekspresinya masih sama seperti sebelumnya.

“KAtakan!!” seru Hong Gi mulai berteriak.

Jong Hoon menarik napas. “Kalau kukatakan yang sejujurnya, apa kau akan percaya? Apa kau juga mau mendengar penjelasannya?”

Kini giliran Hong Gi yang terdiam. “Katakan…” katanya.

“Aku benci mengakui ini karena pasti aku akan menjilat ludah sendiri, tapi…” Jong Hoon menatap dalam Hong Gi, “…aku masih mengharapkan Sun Ye kembali padaku. Aku minta maaf, karena telah melukai perasaan noona-mu.”

Pegangan tangan Hong Gi mengendur dan tertahan di dada Jong Hoon dengan posisi tangan mengepal. Hong Gi membungkukan sedikit badannya dan menundukkan kepala, menatap sepatu. Dia menggeram dan lama-lama, geraman itu terdengar memilukan. Begitu terasa menyakitkan, hingga akhirnya sedikit air mata tumpah dari kedua bola matanya yang jernih.

“Tolong…” kata Hong Gi serak. “Bunuh aku…” ucapnya dengan hati-hati.

“Kau gila!” refleks Jong Hoon sambil mendorong Hong Gi. “Jangan bercanda dengan nyawamu sendiri, apalagi hanya karena kau merasa menyesal telah salah paham!”

Tubuh Hong Gi masih terbungkuk. Namun, matanya mendongak melirik Jong Hoon dengan tatapan mengerikan. “Kau pikir kau tau semuanya, hah? Kau pikir hanya karena menyesal lantas aku mau mati? Apa yang bisa kau lakukan kalau kau tidak bahagia? Apa yang akan kau lakukan kalau kau terperangkap dalam beban?” Hong Gi menegakkan tubuhnya. “Hanya ada satu kebahagiaan di hidup ini, mencintai dan dicintai. Kalau kau bahkan tidak bisa melakukan keduanya, apa kau tetap ingin hidup? Aku bahkan tidak bisa mencintai noona dengan tulus. Aku hanya teringat pada Si Nae onni ketika bersama noona. Dan kini…dia bahkan bukan kakakku lagi!!” kemudian Hong Gi menggeram. Dia kembali menerjang Jong Hoon dan memukulinya tanpa ampun, seolah Jong Hoon lah yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang menimpanya.

“Tolong…bebaskan aku,” pinta Hong Gi sekali lagi saat dia sudah merasa letih memukuli Jong Hoon yang tak menggubris. “Serahkan mataku, untuk noona. Kumohon.”

Hong Gi menyodorkan sebilah pisau pada Jong Hoon sambil tersenyum licik. Mata itu berkilat penuh kemenangan, ketika Jong Hoon akhirnya menerima pisau tersebut dengan tangan bergetar. Ujung pisau itu sudah terarah pada Hong Gi. Tepat pada jantungnya. Masih dengan senyum mengerikan, Hong Gi meraih tangan Jong Hoon dan membantu menghunuskan pisau tersebut ke jantungnya sendiri.

Jong Hoon membeku. Wajahnya pucat.

Ketika akhirnya cairan kental berwarna merah dan berbau anyar itu perlahan mengalir, Hong Gi mendorong tangan Jong Hoong. Dia menghapuskan jejak tangan Jong Hoon dalam pisau dan tersenyum senang. Tampak sedikit binar di mata jenakanya yang belakangan seolah tertutup kabut.

“Berikan noona kebahagiaan,” kata Hong Gi pelan sesaat sebelum terjatuh.

Kini, akhirnya aku bisa menjangkau kebebasan. Inilah kebahagiaanku. Noona, selamat tinggal. Maaf, kuharap di kehidupan mendatang, aku bisa mencintaimu dengan tulus.

****

Seorang gadis berdiri di depan sebuah nisan. Dia mengenakan pakaian serba putih dan kacamata hitam bertengger manis di tulang hidungnya. Sepasang mata di balik pelindung berwarna gelap itu, menatap nama yang tertoreh di nisan dengan sorot sedih dan kecewa.

“Hong Gi….maaf,” kata gadis itu dengan bibir bergetar.

Sebulir air mata, jatuh ringan di salah satu pipinya. Ada perasaan menyesal yang secara tiba-tiba begitu menyesakkan seluruh rongga dadanya. Perasaan yang sulit diungkapkan, namun terlihat jelas dari ekspresi wajahnya.

Karena tanpa di sadari, Boa sangat membutuhkan keberadaan Hong Gi.

No comments:

Post a Comment