Sunday, December 13, 2009

Her Wedding Dress

Aneh. Biasanya aku bisa berjalan dengan tegak dan kaki yang kuat menunjang tubuhku di dalam stiletto putih ini. Namun, hari ini aku tidak seperti itu. Dengan jantung yang terus berdegup kencang karena gugup, aku melangkah masuk ke dalam sebuah gereja tua.

Kuedarkan pandangan melihat seluruh tamu yang sudah duduk rapih di sana. Mungkin, hanya aku yang sendiri, berdiri di sini dengan hati yang kacau dan mata bengkak yang sudah kulapisi counselor lebih banyak dari biasanya. Kebimbangan menyergapku, hingga aku masih bergeming di pintu gereja. Sementara mataku terpaku lurus pada altar yang tertata rapih penuh bunga di ujung sana. Aku menundukkan kepala. Aku ingin memutar tubuhku, tapi semuanya mendadak kaku. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Lagipula, aku sudah disini, kenapa aku harus pulang?

Dengan segala kekuatan yang kupunya, akhirnya kakiku bisa kugerakan dan melangkah gontai untuk memilih tempat duduk—di sisi pinggir. Sekilas, kurasakan kelembutan bunga mawar segar berwarna putih susu, yang menghias di sudut bangku kayu. Cantiknya….

Otakku pun mulai disekap oleh sebuah rasa iri.

Sekelibat bayangan akan tawa yang masih sempat mengisi hari-hariku beberapa bulan lalu, melintas dengan cepat bagai kereta api. Mataku kembali panas. Tidak. Aku tidak boleh lemah. Terutama saat aku sudah memantapkan hatiku untuk berada di sini. Ya, aku yang membuat keputusan untuk berada di sana!

Lonceng berbunyi.
Tanda upacara pernikahan akan dimulai.
Semua hadirin berdiri. Aku? Tidak mungkin hanya duduk membatu saja, bukan? Tapi, kakiku begitu lemah. Sungguh. Aku merasa seluruh energiku kembali terserap oleh sesuatu. Hingga aku harus berpegangan pada satu sisi bangku.

Mars pernikahan mulai berdenting, melalui sebuah alunan grand piano yang begitu indah dan lembut. Aku menelan ludah, susah payah. Aku menahan emosi yang membludak di dada, sekuat tenaga. Dan aku, berusaha untuk tidak menumpahkan air mata getir itu di sana.

Mataku menangkap dua sosok mempelai yang melangkah. Sang pengantin laki-laki tampil begitu rapih dan gagah. Dia mengenakan tuxedo yang membuatnya begitu percaya diri. Apalagi dengan satu tangan dari si pengantin perempuan yang menggamit lengan pasangannya. Keduanya berjalan dengan senyum beredar. Penuh kebahagiaan.

Miris sekali. Tapi memang pemandangan itu sangat kontras dengan keadaan hatiku.

Aku terpaku menatap gaun pengantin si perempuan.

Gaun itu….
Indah.
Tapi terlihat tidak begitu pas di tubuhnya.
Karena, lingkar pinggangnya jelas berbeda denganku.
Karena, gaun pengantin itu milikku.
Aku yang membuatnya dan aku yang menyocokkannya dengan ukuran tubuhku. Aku yang kala itu berharap bisa mengenakan gaun pengantin tersebut di dalam pernikahanku nanti. Dengannya. Si laki-laki yang memakai tuxedo itu.

Ya, harusnya aku yang ada di sana!
Aku yang berjalan di sebelahnya. Bukan dia.

Kenyataannya, dia meninggalkanku setelah mencuri design, hasil kerja kerasku akan impian yang sudah kubangun selama satu tahun menjalin hubungan dengannya. Dia mencampakkanku! Dengan mudahnya.

Hatiku kembali berdenyut.
Tapi, aku kuat. Aku harus kuat.

Kurasakan tatapan kami bertemu. Dia mengerutkan keningnya. Pasti heran dengan kehadiran tamu tak diundang ini. Faktanya, aku memang berdiri di sini, untuk perayaan pernikahannya.

Untuk melihat buah karyaku!

Aku benci ini, tapi air mataku justru turun disaat yang tidak diinginkan. Dengan segara kuseka pipiku. Dan ketika kedua mempelai itu tiba di altar suci, aku tidak mampu bertahan. Kakiku langsung melangkah keluar gereja dan menanggalkan sebait ucapan selamat atas pernikahannya, yang jelas tidak akan pernah bisa kusampaikan secara langsung.

Dan juga sisa-sisa dari hati ini, bahwa aku...
Masih mencintainya.

18 comments:

  1. Mungkin berat, memang berat, melihat seorang yang dikasihi besanding dengan orang lain di atas pelaminan, dengan banyak kemungkinan sebabnya.
    Tapi dengan berdiri di depan, tersenyum dan menatap mereka tanpa raut kecewa atau sedih, menunjukkan ketegaran diri dan keikhlasan pada segala sesuatu yang mungkin--pasti--sudah ditakdirkan, adalah satu nilai plus buat siapa pun yang melakukannya. Bahkan sebagian dari nilai itu pun sampai pada dirinya, hanya dengan sanggup datang menghadapi kenyataan dan tetap mengendalikan diri.

    ReplyDelete
  2. Dan waktunya pun tiba, aku harus berjalan menuju altar suci bersama seorang wanita yang sudah sedia menyisipkan tangannya di lengan ku. Entah mengapa ada rasa hampa yang menggelayuti relung hati ku, padahal aku tahu bahwa ini adalah awal dari fase baru yang akan ku hadapi hingga akhir hayat ku nanti.

    Grand piano dari sisi altar suci mulai mengalun, ku langkahkan kaki ku menyusuri detik-detik bersejarah untuk hidup ku dan wanita di sebelah ku. Aku berusaha keras untuk menutupi kehampaan hati ku, ku lemparkan senyum ke semua tamu yang hadir di gereja ini, tanpa sengaja aku menemukan sepasang mata yang sangat aku kenal, sepasang mata indah dari wanita terindah yang pernah mengisi hidup ku di waktu lalu, ku kerutkan kening ku untuk memastikan bahwa itu adalah benar-benar dia...

    Dan kini aku telah berdiri persis di depan Sang Pendeta untuk mengucap janji suci, untuk terakhir kalinya aku ingin memastikan bahwa dia tetap disana menemani ku walau tidak berada persis di sebelah ku...

    Tapi apa yang ku lihat... dia tidak lagi berada di sana, dia menghilang... lengkap lah sudah kehampaan yang ku rasa...

    Aku tahu ini terlarang, andai saja dia tahu aku pun masih mencintainya

    ReplyDelete
  3. sedih nian membayangkan hal seperti itu terjadi that's the end of the world

    ReplyDelete
  4. wah, pilu banget neh kisahnya..
    bukan terinspirasi dari 'real story' kan clar? hehe..

    ReplyDelete
  5. ini ngga lagi 'saingan' sama nchi lagi kan mbak kuya??

    ambil award buat blog ini ya di rumahku..




    buanyak mwah mwah.

    ReplyDelete
  6. Kok datar nich endingnya Clara.. :)
    *gek cerewet*
    ga ada pembalasan dendam yak?
    atau bunuh2an... ?

    xixiixix..

    Nulis terus yeee... Mwah!

    ReplyDelete
  7. @Xeno: Bener Xeno, beratnya bahkan lebih berat daripada meneguk segelas racun *halah, ngedangdut mode on*

    @Cutbray: widih...bikin dari posisi si cowok yah jiahahaha~ makasih bro ^^

    @Bang Munir: IYa, sedih, tapi dunia belum berakhir hihihihi...

    @Pohon: walahhh~ mana mungkin real story...wong aku masih bisa ketawa ketiwi kok *loh sapa yang bilang real storynya Clara sih*

    @Nyin: nggak kok, ini ide lama yg baru aku tulis, terinspirasi dari sebuah lagu XD

    @Gek: Aku memang lagi demen yg bunuh"an tapi kali ini memang beginilah kisahnya...XD

    ReplyDelete
  8. dramatis hehe,....

    aku malah mencari wedding dress nya clara,dimana? pasti indah banget....

    ReplyDelete
  9. jadi film bagus loh ini..suerrr :) endingnya ditambahin dengan ngerobek-robek baju pengantin wkwkwkw...btw nice story..really :)

    ReplyDelete
  10. Kadang kita harus professional dalam pekerjaan meski itu tahu menyakitkan
    nice story mbak
    aku juga miris terhadap pernikahan
    trauma ditinggal nikah
    he..he

    ReplyDelete
  11. ini kok kyk kisah aku sih. hiks..jadi inget masa lalu.

    ReplyDelete
  12. aaaa claraaa... disambung dong... seru niiiih ^__^

    lg suka baca novel2 pernikahan yg ga seindah impian, wuahaha

    ReplyDelete
  13. ini cerita beneran kenyataan ya............
    sedihnya.......
    terus kelanjutannnnnnya gmana?>?/

    ReplyDelete
  14. pedihnya...

    koq bisa sih design wedding dress-nya dicuri?

    ReplyDelete
  15. Ceritanya keren... Ada lagi kelanjutannya gak ya ?
    Seneng bisa mampir lagi kesini setelah sekian lama sempat absen...

    ReplyDelete