Monday, November 2, 2009

Piano Dalam Sebuah Lukisan



Ia hanyalah seorang anak perempuan biasa, dengan seulas senyum yang selalu tersaji di wajah manisnya yang bulat kecil. Dan akan selalu tersenyum dalam keheningan meskipun ujung matanya yang sedikit meruncing, mengeluarkan sebuah kristal bening yang tidak kunjung tumpah. Bibirnya akan selalu tertutup rapat, sementara hatinya menjerit meminta sebentuk perhatian kecil atas ketidakmampuan jari-jarinya menari di atas tuts-tuts hitam putih piano.


Ia hanyalah seorang anak kecil, yang mampu memindahkan alam nyata menjadi sebuah bentuk goresan kuas yang begitu indah. Satu-satunya kemampuan yang ia miliki dan juga ia cintai dengan sepenuh hati, tetapi seolah mendapat penolakan dari seseorang yang telah mengirimkannya ke dunia.


Ia tidak mampu menguasai not balok, meskipun otaknya sudah mati-matian bekerja keras mendalami alat musik yang dinilai orang begitu indah lantunan nada-nada suaranya.
Anak kecil itu terdiam memandangi seorang yang seusia dengannya, namun, jari-jari tangan mungil itu mampu bergerak lincah di atas piano dan menghasilkan suara yang memabukkan seorang wanita yang duduk di sisinya. Pandangan wanita itu begitu menyakitkan hati sang anak, tetapi ia tetap tersenyum. Dengan jarak yang terbentang, anak perempuan itu berdiri dari kejauhan hanya untuk merekam semua momen indah itu ke dalam memori otaknya yang penuh. Setelah ia menyimpan setiap detail apa yang dilihatnya, kemudian anak itu kembali memutarnya di dalam alam khayalnya sendiri. Ruang hampa yang tidak akan terjangkau oleh siapapun, dimana ia bisa menjadi segala yang ia harapkan namun tidak terwujud di dalam dunia nyata.


Dan ia begitu menikmati semuanya.


Senyuman Ibunya untuknya.


Tidak ada lagi celaan karena bakat musik yang tidak ada dalam dirinya.


Anak perempuan itu senang.


Beberapa menit saja, cukup baginya untuk meraih semua kenikmatan kosong itu. Kini ia sudah siap menuangkannya ke dalam kanvas kosong, yang seperti lembaran baru dalam hidupnya yang siap ia jalani. Tangannya bergerak dengan lincah, memainkan kuas dan tinta-tinta minyak yang tersedia dalam palet. Matanya dengan jeli mengukir semua kejadian yang telah direkam dalam otaknya.


Ketika sampai pada hasil akhir, anak perempuan itu tersenyum puas. Meski ia bukan pelukis terkenal yang akan mengadakan sebuah pameran, tetapi kali itu ia merasa benar-benar puas dengan kerja kerasnya yang dilalui hanya dalam beberapa jam. Hatinya tidak sedang dalam kondisi baik, tapi mengerjakan lukisan itu, ia seperti tengah mengobati luka hatinya sendiri.
Tidak tahu harus berbuat apa dengan lukisan itu, ia membawa hasil karya yang dianggapnya hasil yang paling baik ke dalam ruangan yang tadi digunakan si pemain piano memamerkan kemampuannya pada Ibu si anak perempuan.


Matanya meneliti seluruh ruangan, namun hanya tertumbuk pada satu tempat. Diletakkan dengan hati-hati lukisan kanvas itu di atas sebuah piano hitam metalik, seolah khawatir kalau-kalau ujung kanvasnya mampu melukai sang piano yang berdiri gagah. Lalu ia pergi membawa senyuman yang sudah ia simpan untuk dirinya sendiri.


Tak berapa lama, sang Ibu masuk dan mendapati lukisan tersebut.


Lama, dipandanginya goresan tangan anak yang ia lahirkan sepuluh tahun yang lalu itu. Ada sesuatu yang seperti berlarian di kepalanya. Momen dalam lukisan itu, wajahnya, dan juga wajah anaknya yang sedang bermain piano, alih-alih wajah si pemain piano yang bukanlah anak kandungnya.


Tiba-tiba air matanya meleleh.


Dan wanita itu sadar bahwa anaknya sampai kapan pun tidak akan mampu mewujudkan obsesinya untuk bisa menjadi pianis. Anak perempuannya telah menentukan jalan dengan pikirannya sendiri. Yaitu menjadi seorang pelukis, bukan pemain piano.

12 comments:

  1. Dearest Clara
    Ajari dounk memilih dan menyusun kata seperti ini.. Thumbs up, love.
    Go Clara!

    ReplyDelete
  2. bener iden dengan yang pertama diksinya mantap banget nice posting

    ReplyDelete
  3. bagus ceritanya, narasinya juga keren..
    keep writing ya..

    ReplyDelete
  4. keren bgt gaya penulisannya clara ^+^

    senangnya punya teman baru.... salam kenal

    ReplyDelete
  5. aku suka judulnya wkwkwk. .

    dan ah... ak jadi pengen nulis lagi,uda dimintain jatah cerpen ama diah kemarin -__-"
    ayolah clar,sumbang sisa royaltimu ut aku beliin lapie wkwkwkkw

    ReplyDelete
  6. @Gek: wew, aku jadi terharu kamu suka tulisanku, tapi kalo disuruh ajarin? apa ya? nggak ada tips lain selain baca keknya, coba tanya mocca *lirik*

    @munir, pohon, senja: makasih ^^

    @mocca chi: ayoooo nulis! nulis! hahahaha...

    ReplyDelete
  7. seeep..
    oke
    bagus aku suka yang ini
    :)
    salam

    ReplyDelete
  8. wuihhhh,,,keren tulisannya mbak, terkadang butuh kegagalan untuk mendapatkan keberhasilan...dan isi tulisan mbak contohnya, nice posting!!!

    ReplyDelete
  9. Ibu hanyalah busur yg membnetang, ia tak dapat selalu memegani sang anak yang akan terbang lepas, menyusuri setiap detail angin dan membelah waktu..
    Nice post. Aq jg nulis cerpen. Aq follow y mba, ntar follow balik y.
    Salam kenal

    ReplyDelete
  10. gw sampai berualang-ulang membaca tulisan itu...susunan kata yang tertata begitu indah...
    nice post

    ReplyDelete
  11. memang gakbisa memaksa org utk suka sama bidang tertentu ya.

    ReplyDelete
  12. itu lukisan karya siapa? dan siapa yang dilukis?

    ReplyDelete