Friday, November 13, 2009

Kapan Kamu Besar, Nak?

Bola mata wanita itu bergerak awas di dalam bingkai yang digelayuti kantung berwarna kelabu kusam, sesekali memandangi anaknya yang masih tergeletak di sebuah sofa, sesekali pula mengawasi sekeliling. Giginya yang rata dan putih, menyeringai, membentuk senyuman yang sama sekali jauh dari ramah. Satu per satu nada serak dari tenggorokannya mengalir dengan tersendat, mendendangkan lagu nina bobo. Bocah itu tidur. Tenang. Begitu tenang, hingga desahan nafas memburu wanita itu tidak dihiraukannya.

Beberapa kali ia menepuk pantat sang anak dengan begitu lembut penuh keibuan. Dan ia tidak sekali pun beranjak dari sana. Tetap dengan daster batiknya yang terus menempel sejak beberapa hari terakhir. Tapi guratan cantik itu masih bisa terlihat, meskipun wajahnya pucat.

”Kapan kamu besar, Nak?” gumamnya pelan.

Sekali lagi, didendangkannya lagu nina bobo. Ia tidak ingin anaknya terbangun karena ia berhenti menyanyikan lagu tersebut.

”Mama...” suara bocah perempuan yang lain muncul dari balik pintu.

Mata wanita itu langsung liar sebagaimana seekor binatang buas siap menerkam siapa saja yang mengganggu tidurnya, berkilat tajam dan meruncing di sudutnya. Anak itu tersenyum lugu, lalu berhambur masuk dan mendekat sang Bunda. Namun wanita itu segera berlutut di sisi kursi dan menelungkupkan tangan serta kepalanya ke atas kursi—ke atas bocah yang sedang tertidur. Ia berusaha untuk melindunginya, supaya si anak perempuan tidak mengambil adiknya. Aku tidak mau kejadian lalu terulang, gumamnya. Aku tidak ingin anakku jatuh hingga menangis keras gara-gara dia.

Namun, si anak perempuan tidak sadar dengan kesalahan sebelumnya. Dengan tangan kecilnya yang tak seberapa terisi tenaga, ia berusaha menarik Ibunya untuk mau memperlihatkan apa yang sedang disembunyikan sang Ibu. Anak perempuan itu tertawa-tawa kala sang Ibu tetap menolak untuk menyingkir. Baginya ini hanya sebuah permainan.

Ya, ini hanya permainan, bukan? Anakku?

Dengan gerakan kasar, wanita itu mendorong tubuh anak perempuan itu hingga terjerembab ke samping, sedangkan wanita berambut pendek yang berantakan, langsung melesat ke belakang dengan langkah terseok-seok—penuh ketakutan. Anak perempuan itu hampir saja menangis kalau ia tidak menemukan mainan baru yang selama ini disembunyikan Ibunya. Ia sangat menginginkan mainan baru itu. Harta ibunya. Dengan senyum sumringah, anak perempuan tadi mendekati sosok yang sedang terlelap itu.

Ia mengangkat tubuhnya ke atas.

Dengan senyum lebar. Inilah mainan barunya.

Si anak perempuan tampak begitu senang. Hingga tak sadar bahwa ia bisa saja menjatuhkan apa yang ada di tangannya itu. Juga tak sadar bahwa di belakangnya wanita tadi sudah membelalak ketakutan, dengan satu pisau dapur teracung di udara. Matanya melebar, hingga garis-garis ototnya terlihat kemerahan. Ia luar biasa takut. Seakan sedang berada di bawah cekaman seorang pembunuh.

”Jangan sentuh!” serunya galau.

Si anak menoleh kaget, dan kejadian itu kembali terulang.

Tanpa berpikir lagi, wanita itu segera menarik tangan kurus si anak perempuan supaya menjauhi anaknya yang sudah menangis karena terbentur lantai. Di dorongnya tubuh yang hanya setinggi pahanya itu, dan membentur dinding. Si anak perempuan meringis. Dan berujung pada tangisan.

Bising. Sungguh memekakkan telinga.

Wanita itu harus menutup kedua telinganya karena mendengar kedua anaknya menangis. Dan emosi itu pun membuncah, naik ke ubun-ubun. Mendidih, hingga titik tertinggi. Mengendalikan seluruh urat syaraf dan mencegah bergeraknya arus logika.

Tangan wanita itu kembali terangkat, mengacungkan benda tajam berkilau yang dibawanya. Tidak ada perasaan khawatir, bingung, atau bersalah. Yang ada hanyalah luapan emosi yang berbondong-bondong meledak dan mengeluarkan kemarahan yang dasyat.

Tapi ia belum puas.

Tangannya masih bergerak-gerak memainkan pisau, di atas tubuh sang anak. Ia sangat menikmati setiap gerakannya. Memotong bagian ini, lalu meotong bagian itu. Sudah selesai. Wanita itu menjilati darah yang masih menempel di tangannya, sambil menatap sinis bocah yang kini sudah tidak berbeda dengan puzzle.

Pintu menjeblak terbuka.

Seorang lelaki penuh keringat dan nafas satu-satu, muncul di antara daun pintu. Matanya melotot—kaget. Tapi juga panik dan marah.

”Kau gila!” sentaknya.

Wanita itu tak peduli. Ia hanya memikirkan anak dalam pelukannya—masih menangis.

*

Laki-laki itu duduk di samping ranjang, dengan senyum tanpa sinar mata. Ditatapnya anak satu-satunya yang kini terbaring lemah.

”Kapan kamu besar, Nak?” tanyanya datar.

Dibelainya rambut bocah itu.

Ada bau busuk yang mengisi ruangan itu. Kerumunan lalar hijau pun tak jarang mampir ke dalamnya. Tapi laki-laki itu sama sekali tidak terganggu. Ia tetap duduk tenang di sana, sambil menatap anaknya yang sudah nyaris tidak bisa dikenali. Beberapa bagian tubuhnya pun sudah hancur termakan usia. Sesekali laki-laki itu membasuh anaknya yang terbaring.

*

Seorang wanita sedang menggendong bayinya di dalam kamar serba putih. Didendangkan lagu nina bobo, lagu kesukaan anak itu. Kalau ia berhenti, ia takut anaknya akan bangun. Maka ia nyaris tidak pernah berhenti. Kecuali untuk mengajak anaknya bicara, ”kapan kamu besar, Nak?”

”Sudah setahun dia terus saja menyanyikan lagu itu. Tidakkah sadar bahwa anaknya hanyalah boneka?” begitulah orang-orang berbicara mengenai dirinya.

24 comments:

  1. ga merinding aku, adegan mutilasinya kurang detail. jadi yg kalah dan yg menang sapa ya...

    ReplyDelete
  2. lho beda genre
    bukan komedi rupanya

    ReplyDelete
  3. benar clara bisa dibaca endingnya, tapi ini betul-betul bikin ngeri suerrr deh adrenalin jadi naik nih baca cerpen kamu

    ReplyDelete
  4. Kurang misterius, dan kurang deskriptif untuk bagian potong-memotong. hehe.
    tapi, usahamu sudah keras sekali! Ayo berjuang lagi! Ayo menulis lagi! Ayo buat sandiwara lagi! hehehe.

    Semangat! Cheers!

    ReplyDelete
  5. Ini kayaknya sedikit lebih menggigit deh...

    ReplyDelete
  6. waks, kaget.. *iced coffee tumpah di muka*
    ada tindak kriminalitas ternyata disini.. hehe..
    nice story, clara.. sedikit masukan utk mendeskrisikannya *idem ma gek*
    ditunggu ya crita2 lainnya.. ^^

    ReplyDelete
  7. hihihi, pusing nulis thriller, kebiasaan drama kehidupan dan percintaan yang agak lebay mode on XD tapi aku akan berjuang lagi, thanks anyway buat dukungannya ^^

    ReplyDelete
  8. beginilah klo melankolis menulis thriller :D

    tetap aja sadis buat saya :((

    ReplyDelete
  9. lho bukan komedi juga yaa??? lucu juga sih, nulis orang gila kek gini.
    sadis, anak sendiri di mutilasi...tapi bagus kok, ga perlu orang tau detail prosesnya tapi jelas ini sadis. Terus menulis say..

    ReplyDelete
  10. Kenapa selalu harus detail??
    Bukankah ada eksistensi tersembunyi?
    Saya pikir Penuls mengelak mengelaborasi bagian tertentu itu bukan karena alasan "sensor" namun demi timing. Bukankah secara kronologis tiba-tiba??Dan aku pun tersentak.
    Good story sob..

    ReplyDelete
  11. hemmm,....

    menurut aku ceritanya keren meski kurang mengigit di bagian potong memotong itu.
    mngkn lebih detil kali ya...

    tapi, salut...belum tentu aku bisa nulis cerpen.

    lanjutkan clara ^_^

    ReplyDelete
  12. udah bagus kok mbak... emang aku juga setuju ama yang lain... detilnya masih kurang dan kayaknya klimaksnya juga... ayo tetap semangat!!!

    ReplyDelete
  13. Saya malah gak negrti mau koemntar dari mana. Apalagi mau ngritik bagian-bagiannya. Ya, mungkin masih baru. Makanya, setiap cerpen selalu saya nikmati, termasuk cerpen di atas.

    Salam sukses!

    ReplyDelete
  14. hehehehe aq datang untuk membaca.....

    ReplyDelete
  15. oke aq udah baca, emang siy dari awal aq udah bisa nebak..... tapi yg dalam pikiranku ntu yg dininabobokan ibunya ntu adalah mayat, ternyata hanya sebuah boneka.... aq ngerasa kurang greget..... wkwkwkwkwk

    bener kata nchi, mutilasinya kurang sadis, kurang merinding...... wkwkwkwkwk

    ReplyDelete
  16. ih, serem bgt...anaknya dipotong2 ya.

    ReplyDelete
  17. eh aq mau memutuskan yak, setelah baca punya nchi sama punyamu..... aq merasa kok yang mendekati aturan maen tantangan nulis cerita ini ntu si clara yang tulisannya bergenre thriller..... ya karena ada unsur mutilasinya ntu.......

    jadi ini ceritanya enchi kudu nraktir clara niy..... wkwkwkwkwk

    ReplyDelete
  18. hhmmmm
    baca pertama,menakutkan juga ya

    well...memang tidak sedetail mochi klo bercerita thriller tapi aku merasa shock jg bacanya heheheh...soalna ngeri ama orgil :D

    lumayan kok Clara, cmn kurang panjang aja mnrtku (ya itu maksudnyaaaa hrs detail....huhuhu)

    ReplyDelete
  19. jadi sapa yg menang?
    gak bisa ditetapkan jg sih, krn genre beda, kecuali genre yg sama, jd bs diliat siapa yg plg bny ketawanya ato plg bny terkejutnya...

    but I like to read both your stories...

    ReplyDelete
  20. duh..kok ngeri ya..sumprit deh..pas awal baca..

    taunya boneka,,hmm..bagooeess..
    bagus2 cerpennya say..^_^

    ReplyDelete
  21. Hasilnya... Seri! :P
    Kurara... Agak kurang detil thriller-nya sih, tapi udah cukup berasa kok! :D

    Tapi, klo boleh kasih tambahan komen sedikit nih, dari komen2 yang udah ada. Ada kalimat di bagian akhir cerita,
    "Beberapa bagian tubuhnya pun sudah hancur termakan usia."

    Klo kalimat ini merujuk pada mayat anak perempuan yang udah dibunuh ibunya itu, aku pikir kok penggunaan kata "termakan usia" rasanya agak kurang gimana... gitu :D
    Kesannya udah bertahun-tahun lamanya, dan klo udah begitu lama di udara terbuka, senyawa berbasis protein dan karbon jelas udah banyak terurai, kering dan apak(atau mungkin anyir), menyisakan rangka putih yang lebih kokoh--CMIIW.

    Tapi ini cuma pendapat aku lho, coz mungkin saja aku salah mengartikan kalimat yang kamu tulis itu, hehehe... :P

    Keep writing, Kurara :)

    -xeno-

    ReplyDelete
  22. Claraaaa........
    nyambung postinganku,,,
    If you stay - I don't heaven ituuuu..
    kalimat yang diucapkan Bella to Edward..

    Waktu si Edward mo pergi, gitu..
    Ayo na buat cerpen lagi, non!
    :)

    ReplyDelete
  23. Cerita tentang Psycho..
    haduh engga deh, aku lihat sprei putih dijemur aja takut
    Tapi asyik kalo ya, kalo buat cerita misteri
    sayang aku ngga bisa,,
    hasilnya garing. kaya kerupuk..
    he..he

    ReplyDelete