Thursday, November 26, 2009

Harum yang Abadi

Lihat hujan turun lagi dengan derasnya!
Uhhh, rasanya badanku kaku. Aku sama sekali tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Aku ingin tetap berada di balik selimut. Aku malas pergi ke sekolah. Lagipula, hujan kali ini, entah kenapa terasa begitu memilukan. Aku tidak suka. Sepertinya dia sedang menangisi seseorang. Siapa hujan? Siapa yang kau tangisi sampai terasa begitu pilu?

Bunda membuka pintu kamarku.
Dengan tegasnya, beliau segera menyuruhku berangkat sekolah. Buatnya, tidak boleh ada kata membolos. Apapun alasannya. Termasuk waktu aku demam.
"Ah, cuma demam 37 derajat saja. Kamu juga masih bisa bergerak, kan? Sebaiknya sekolah. Jangan sia-siakan ilmu." Begitulah kata Bunda. Intinya dia paling anti dengan sesuatu yang menyebabkan aku tidak berangkat ke sekolah. Kadang aku merasa keterlaluan, kadang aku merasa Bunda benar. "Karena setiap harinya akan ada ilmu yang bisa berguna untuk hidupmu kelak. Kalau kamu membolos, kamu melewatkan satu kesempatan emas." Itulah alasan Bunda.

Aku pun segera teringat dengan seorang guruku. Beliau sudah memasuki usia lanjut, tapi aku suka sekali cara mengajarnya yang sabar dan terlihat selalu tulus mendidik setiap muridnya untuk bisa menguasai materi Bahasa Indonesia yang begitu dicintainya. Oh, guruku. Hanya untukmulah, akhirnya aku menanggalkan selimut ini dan bertarung dengan udara dingin yang menggerogoti kulitku perlahan-lahan.

Akhirnya aku pun bergegas bersiap-siap dan ternyata Bunda sudah merapihkan semua kebutuhanku pagi itu. Mulai dari sarapan hingga payung yang harus kugunakan untuk menempuh jarak ke sekolah yang selalu kulewati dengan berjalan kaki.

Perjalanan dari rumah menuju sekolahku tidak terlalu jauh. Hanya cukup menempuh beberapa meter melalui jalan tembus, pematangan sawah. Tapi aku selalu suka dengan suasananya. Saat banyak bapak Tani mulai sibuk dengan pekerjaannya menanam pagi. Biasanya aku menyapa mereka. Hanya saja kali ini hujan menghentikan semua kegiatan rutin yang aku lihat itu.

Gedung sekolahku sudah mulai kelihatan!
Akhirnya, aku bisa bebas dari jalanan becek yang membuat kakiku kotor. Untung aku mengikuti saran Bunda untuk mengenakan sandal alih-alih sepatu hitam butut yang biasanya selalu menjadi pasangan setia dari seragam putih merahku. Sampai di kelas, aku merapihkan sandalku dan segera memakai sepatu itu. Hingga tak berapa lama bel berbunyi. Ahhh, aku sudah tidak sabar bertemu dengan guruku. Pak Harum namanya. Ya, namanya memang benar-benar harum karena beliau selalu menebar serbuk kebajikannya. Tanpa pernah sekalipun mengharapkan ada balasan.

Lalu, hari ini, Pak Harum akan mengajarkan apa ya?
Mungkin tentang bagaimana membuat kalimat yang baik? Atau adakah pelajaran mengarang lagi dari beliau? Aku selalu rindu dengan pelajaran mengarangnya.
Suatu ketika, aku mendapat pujian dari beliau, karena katanya tulisanku membuatnya tersentuh. Aku yang hanya seorang anak kecil, pastinya merasa bangga mendapat pujian seperti itu. Padahal aku menyusun kata-kata dengan kacau. Dan hanya bercerita apa adanya tentang Ayahku yang meninggal di perantauan negri orang. Namun, rupanya Pak Harum menyukainya.

Seorang guru tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas.
AKu langsung mendesah. Bukan Pak Harum. Apa karena beliau terlalu tua untuk menembus hujan yang cukup deras mengguyur pagi itu?

Guru itu berdiri di depan kelas. Dengan wajahnya yang tampak lelah.
"Anak-anak, Pak Harum baru saja meninggal. Subuh tadi."

Kabar itu seperti petir di siang bolong! Aku langsung shock!
Pak Harum, guru kesayanganku yang selalu memiliki dedikasi yang tinggi untuk sekolah bobrok ini beserta seluruh anak muridnya yang senantiasa berharap bisa menjadi lebih pintar dari waktu ke waktu. Pak Harum tidak pernah mengeluh baik panas terik membakar kulitnya atau pun hujan deras mengguyur tanah. Ya. Dia melewati semua rintangan itu hanya untuk memberitau pada kami mengenai apa arti dari kemerdekaan.

Kini guru dengan tawa khas yang hangat itu telah tiada.
Selamat jalan Pak Harum.
Namamu terlalu berharga untuk dicampakkan begitu saja.
Selamat jalan guruku sayang.
Jasamu akan selalu membekas di hatiku. Dan ilmu yang telah kau berikan, akan selalu kupakai di kehidupanku.

Sampai sekarang. Ketika kesuksesanku sebagai seorang sastrawati telah mendampingiku.
Pak Harum adalah penanam benih dari semua ini.

Note: Selamat Hari Guru
kisah tak seberapa ini dihadiahkan untuk kawan-kawan dan mungkin juga blogger yang berprofesi sebagai guru

15 comments:

  1. Terima kasih untuk ucapan dan cerpennya Clar.
    :)

    ReplyDelete
  2. Kapan ya murid saya akan membuatkan saya cerpen kayak gini??

    Masa murid ngajakin kencan..
    aih..

    ReplyDelete
  3. tulisan tulisannya seru..saran saya segera patent kan tulisan original kamu ini ,jangan sampai di copy paste apalagi dimiliki orang lain.karena di negeri ini telah memiliki badan Hak cipta.

    ReplyDelete
  4. Clara, Clara... jangan2 kamu Clara Ng penulis novel itu??

    ReplyDelete
  5. selamat hari guru, gek..jadi guru yang baik yah hehe


    clara, ceritanya bagus banget -touching-

    ReplyDelete
  6. @Gek: aku aja yang jadi muridmu gimana? hihihi, tuh aku udah buatin cerpen kan?

    @Ary: pengin sih, tapi gimana mempatenkan semua tulisan di sini? aku nggak tau...lagian kalo emang ada yg suka jiplak, mungkin aku kesel, tapi yah berbangga dikitlah, berarti si plagiator itu menyukai karyaku wkwkwkwkkkwkw

    @tealovecoffe: huhu, bukan, saya clara canceriana pratiwi. tuh nggak ada NG nya kan? hiihihihi

    @Tika: makasih Tika ^^

    ReplyDelete
  7. teringat laspar pelangi.mode.on *koment ga jelas*

    ReplyDelete
  8. nah yang terakhir aku uka tuh...slmt hari guru

    ReplyDelete
  9. ooww...ya ampun aku mpe lupa ri guru coba.

    bu guru..maafkanlah muridmu ini..

    jasa mu tiadaaaaaa..taaarrraaaaaa..(sing mode :on)

    ReplyDelete
  10. terimakasih clara udah perduli ama guru terharu banget

    ReplyDelete
  11. hihihi... kirain Clara Ng... tapi tulisanmu bagus2 lho, ayoo buat novel! :D

    ReplyDelete
  12. satu pengabdian dari seorang murid buat sang guru...menjadi pintar tidak selalu membuat guru kita bangga..
    tapi seuntai kalimat yg membuatnya bangga..
    TERIMA KASIH..
    buat seluruh guru di dunia..

    ReplyDelete
  13. Lidah nggak ada tulangnya khan ??cla

    ReplyDelete
  14. keren nih ceritanya...bakat jd penulis. salam kenal yah....mampir ke blogq juga ya.....:D

    ReplyDelete
  15. Hehee... sama kayak saya dulu Clara, setiap mau sekolah selalu nunggu dibangunin dulu sama Ibu.

    Btw, link km uda tak pasang di blogroll, gantian dong...

    ReplyDelete