By : Clara
Keterangan
Noona: panggilan cowok yang lebih muda untuk cewek yang lebih tua
PROLOG
Katamu, bagaimana kebebasan itu?
Dia mengepalkan tangan dengan sangat kuat. Hingga buku-buku jarinya terasa perih dan memerah. Ujung-ujung kukunya pun menancap kuat di telapak tangan. Otot-ototnya turut menegang. Seolah semua emosi dan tenaga mengalir ke satu titik.
Apapun, dia bersumpah, akan dilakukan demi terbebas dari himpitan yang telah menekan setiap aliran darahnya. Bahkan menekan hampir setiap detak jantung dan napas.
Dan saat kebebasan itu hampir menyapa, bukan keinginannya untuk berlalu dari semua itu. Keadaan mendesaknya. Begitu kuat, hingga kepalanya terasa sakit. Bahkan tidak ada lagi akal sehat yang bisa membantunya berpikir dua kali dalam membuat keputusan. Tidak ada yang akan menghalanginya.
Dia sudah bersumpah.
Ketika sebuah kesalahan itu terjadi, keterpurukannya ternyata mampu membawa kepada dua hal : kebebasan dan kebahagiaan orang itu.
Dalam kekalutan yang bahkan uang pun tidak mampu membayarnya, dia berlari seperti orang kesurupan. Dia membiarkan keremangan malam merayapi kesendiriannya, dia juga membiarkan angin malam yang menerpa wajah, mampu membawa pergi seluruh penderitaannya.
Tapi dia tau, bukan angin malam yang akan menghapus semua sakitnya.
Lalu, dengan wajah memelas, dia hanya bisa memohon pada laki-laki itu. Dia hanya bisa berharap kalau laki-laki itu bersedia membantunya. Meski semua telah diaturnya.
Separuh sudut bibirnya terangkat, menghadirkan senyum penuh misteri. Antara kesedihan dan kebahagiaan yang begitu tipis. Tapi dia sungguh berterima kasih pada orang itu.
Dan kini, aku tau apa arti bebas yang sesungguhnya….
****
Kaki berlapis sepatu sport yang sudah kusam itu, berhenti mendadak di depan sebuah rumah yang tampak tidak terawat. Mata sipitnya memicing kala menatap bangunan di hadapannya - menghadirkan sebuah sorot keengganan.
Laki-laki itu menelan ludah. Pahit.
Seandainya ada pilihan lain, tentu dia tak ingin kakinya bergerak memasuki rumah tersebut. Rumah kecil yang bahkan halamannya begitu kotor dengan timbunan daun-daun kering. Sejenak langkahnya kembali tertahan, saat dia menangkap suara-suara tawa ringan dari dalam ruangan. Namun, berpura-pura tidak menyadari apa yang sedang terjadi, dia melangkahkan kaki ke dalam ruangan.
“Hei! Hong Gi!!” seru seorang wanita dengan begitu tajam.
Dengan malas, cowok bernama Hong Gi itu menolehkan kepalanya. Tapi ekspresinya datar dan cenderung dingin. Tidak ada kata-kata yang meluncur dari bibir tipisnya.
“Hei…kenapa kau?! Apa kau bahkan tidak mau menyapa Ibumu sendiri? Apa aku tidak pernah mengajarimu sopan santun?” sindir wanita itu sambil melirik penuh maksud ke arah seorang pria tengah baya di sebelahnya. “Dia yang akan jadi Ayahmu…! Setidaknya….”
“Tak usah belagak pernah mengajariku,” potong Hong Gi acuh.
Hong Gi baru saja hendak melangkah ketika paras wanita yang penuh dengan bedak dan gincu itu memerah karena marah. “Hei!! Anak sial kau!! Jangan harap aku sudi mengakuimu sebagai anak!” Wanita itu hampir saja bertindak seolah kesetanan, seandainya pria tadi tidak mencegahnya. Sementara Hong Gi, berlalu tanpa merasa bersalah.
Baru saja Hong Gi melewati kamar kakak perempuannya, sudut matanya menangkap sesuatu. Hal yang membuat kepala Hong Gi tak tahan untuk menyembul dari balik pintu. Yang akhirnya menyentakkan dirinya hingga ke titik paling bawah. Kebencian.
Si Nae, kakak satu-satunya yang sangat Hong Gi sayang, saat itu sedang meringkuk di sudut ruangan. Wajahnya putih pucat, rambut panjang hitamnya berantakan, dan dia tampak menikmati setiap suntikan yang menembus kulit mulusnya.
Tubuh Hong Gi seakan menegang. Matanya terbelalak hingga terasa perih. Rahangnya pun bergemeletuk menahan emosi yang merayap di seluruh tubuhnya. Dia mengepalkan tangan kuat-kuat, hingga buku-buku jarinya sakit dan kukunya menancap di telapak. Napasnya mendadak tersengal, seakan-akan baru saja menahan napas untuk beberapa menit.
Tergesa-gesa, Hong Gi segera keluar rumah melalui pintu samping dan melompati pagar yang cukup tinggi. Kemudian, Hong Gi berlari. Terus berlari hingga keringat mengucur dan jantungnya berdetak begitu kuat. HIngga Hong Gi merasa seluruh tenaganya habis.
Dan dia berhenti di sebuah pantai.
Hong Gi mengatur napasnya. Mengatur detak jantungnya. Pundaknya naik turun karena kelelahan dan paru-parunya sedang memompa udara lebih banyak untuk bisa bernapas normal. Setelah cukup tenang, Hong Gi menatap ujung laut. Tangannya masih mengepal. Perkiraannya salah. Emosi Hong Gi belumlah hilang. Karena itu Hong Gi berteriak seperti orang kesetanan, memaki-maki dalam gumaman tak jelas, dan kakinya bergerak seperti menendang sesuatu ke segala penjuru.
Kalau boleh ku katakan, sungguh aku membenci kalian. Apakah kalian pantas ku sebut keluarga?
****
Kini, saat malam tengah merayap, langkah Hong Gi terseok seperti tidak tentu arah. Otaknya memerintahkan, kemana saja, asal tidak kembali lagi ke rumah. Paling tidak untuk saat itu. Selebihnya, kepala Hong Gi sama sekali tidak mau berpikir. Sudah cukup otaknya berdenyut kesakitan karena dipaksa bekerja begitu keras. Membuat Hong Gi tampak seperti zombie yang sedang bergerak. Pandangan matanya sayu dan tidak ada semangat.
Hingga akhirnya, kaki itu kembali berhenti. Namun kali ini di depan sebuah undakan di dalam lorong kecil, yang menuju ke sebuah gerbang kayu dimana sebuah rumah mungil yang sangat tradisional berdiri kokoh. Hanya ini satu-satunya harapan. Hanya dia. Hong Gi sungguh tak tau lagi harus berharap pada siapa.
Tapi, begitu buku-buku tangannya beradu dengan gerbang kayu, Hong Gi mengurungkan niat. Dia menatap ujung sepatunya dan mendesah.
Karena, entah kenapa, saat itu aku merasa begitu malu bertemu denganmu….
Berikutnya, Hong Gi memilih untuk duduk di undakan ke dua. Disenderkan kepalanya ke sisi lorong batu. Tampak begitu pucat dan putus asa.
“Hong Gi?” suara itu bagai sangkakala yang bergema merdu. Sungguh, Hong Gi begitu senang bisa mendengarnya. Meski terasa berlebihan pun, Hong Gi tidak mau peduli. Yang dia peduli hanyalah suara itu. Suara lembut yang bayangan pemiliknya terasa semakin mendekat.
Hong Gi mengangkat kepalanya. Wajah datar itu, sedikit banyak menampakkan reaksi penuh syukur.
“Apa yang kau lakukan?”
Hong Gi tak kuasa melemaskan otot wajahnya. Bagai bertemu seorang peri, ingin sekali Hong Gi menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. “Noona…Boa noona…” suara seraknya hilang timbul karena udara dingin yang menusuk.
“Hong Gi…” perempuan bernama Boa itu sepertinya langsung sadar apa yang sedang terjadi, hanya dengan melihat ekspresi Hong Gi. “Bukankah di sini dingin?”
“Noona…” Hong Gi bangkit berdiri. Tanpa banyak kata lagi, dia langsung menarik tubuh Boa hingga menabrak dadanya yang bidang. Dipeluknya kuat-kuat perempuan di hadapannya itu, sesuai dengan keinginannya.
Boa tidak berani bergerak. Dia mengerti apa yang terjadi. Karena itu dia membiarkan tubuh besar itu mendekapnya.
Kau tau? Aku selalu suka memelukmu. Karena aku suka mencium aroma rambutmu….
****
Kalaupun akhirnya Hong Gi harus kembali merepotkan Boa dengan menginap di rumahnya, bukan berarti bahwa Boa harus menyiapkan sarapan untuknya. Kebalikan dengan itu, Hong Gi justru sengaja bangun pagi-pagi buta untuk membelikan sarapan dan menyiapkannya untuk Noona.
Dua buah roti isi kacang merah dan dua gelas susu hangat, berkumpul menjadi satu dalam sebuah kantong plastik, yang kini sedang bergelayut di tangan Hong Gi. Memang bukan makanan mahal, tapi Hong Gi tau, Noonanya itu sangat menyukai roti isi kacang merah. Karenanya, meski Hong Gi tidak begitu suka kacang merah, dia tetap memilih menu yang sama.
Harapan bahwa Boa akan menikmati sarapan bersama dengannya, mendadak sirna begitu Hong Gi melintasi pinggir jalan, yang merupakan arah menuju rumah Boa.
Di hadapannya -perempuan yang di mata Hong Gi memiliki aura yang hampir mirip dengan SI Nae, kakaknya- sedang bersama laki-laki lain. Dan orang itu adalah Jong Hoon, seseorang yang selama ini selalu dianggap musuh oleh Hong Gi.
Darah Hong Gi mendidih, ketika melihat Boa menarik tangan Jong Hoon yang hendak berbalik dan saat laki-laki itu menghentikan langkahnya, Boa langsung merangkul punggungnya.
Dan kali ini kemarahan Hong Gi langsung meledak. Dijatuhkannya kantung berisi makanan itu, sebelum akhirnya dia menghampiri Jong Hoon dan dengan membabi buta memukuli laki-laki itu. Hong Gi seperti kerasukan sesuatu. Dia terus saja menghadiahkan tinju pada Jong Hoon yang kewalahan karena mendapat serangan mendadak. Sementara di belakang sana, Boa menjerit histeris dan sedikit panik. Berharap pertolongan orang-orang di sekitar yang mulai ramai menonton, namuan tidak satu pun yang berusaha melerai.
“Hong Gi!! Hentikan!” jerit Boa. “Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini sungguh bukan salah Jong Hoon….”
Tangan Boa bergerak-gerak di udara, seperti sedang menangkap angin, padahal dia ingin menarik Hong Gi dan menyingkirkan anak itu dari Jong Hoon.
“Hong Gi….”
Namun, berkali-kali pun Boa memanggil, berkali-kali pula suara merdu itu terabaikan. HIngga akhirnya, ketika Boa berhasil menarik baju Hong Gi, laki-laki itu malah menyodorkan sikunya ke dada Boa dan membuat perempuan itu terpental ke belakang. Boa meringis nyeri. Namun, kakinya terserimpat dan menyebabkan Boa kehilangan keseimbangan.
Semuanya sungguh terjadi dengan begitu cepat. Tidak ada yang menyadari antara Hong Gi dan Jong Hoon, kecuali orang-orang yang ada di sekitar.
Suara itu begitu keras. Seperti sesuatu yang terhantam besi.
Dan begitu Hong Gi menoleh, semuanya sudah terlambat.
****
“Dia buta.”
Begitulah kata dokter yang menangani Boa. Dua kata yang langsung membuat Hong Gi dan Jong Hoon yang mendengarnya, seakan membeku.
“Hanya ada satu cara, yaitu operasi apabila ada pendonor mata yang bersedia menyumbangkan mata untuk gadis itu,” kata pria berjas putih itu lagi. “Sayang, hanya orang yang sudah meninggal yang bisa menyumbangkan dan biayanya akan sangat mahal.”
Noona, apakah kau bisa memaafkanku, noona?
Lalu dokter itu berlalu. Meninggalkan kedua remaja yang tampak sebaya dalam kekalutan pikiran masing-masing.
Heheheh... first komen kayanya ya...
ReplyDeletedibagusin dong, kasih template bagus. kan bisa dijarah dari googgle... wuakakakka...