Thursday, April 29, 2010

Merry Go Round

Langit senja menghadirkan segurat warna pucat. Seorang pria bertubuh jangkung, dengan rambut mencuat ke segala arah—tanda ia belum menyisir hari ini dan mungkin kemarin—serta wajah kuyunya yang berantakan karena janggut yang belum dicukur berjalan lunglai di tengah keramaian. Ia mendekati sebuah arena permainan yang penuh dengan kuda-kuda plastik. Bayangan tipisnya merangkak di atas batako, mengikuti kemana si pemilik tubuh bergerak.

Merry go round. Itulah namanya.

Mendekati pagar-pagar besi yang mengelilingi merry go round, lelaki yang bernama Devon itu menekankan perutnya ke sana.

Cahaya matanya redup. Kosong. Hampa. Namun, bola mata berbentuk biji almond itu terus mengarah ke salah satu kuda plastik bewarna putih. Dan siapapun yang melihatnya, bisa menduga kalau lelaki itu sedang berusaha untuk tegar. Memang begitulah keadaannya.

Tempat ini penuh kenangan. Sulit sekali menginjakkan kaki di sana. Namun, demi mendapat jawaban dari apa yang selama ini ia cari, Devon menguatkan hatinya. Dan nyatanya, ia bisa sampai di sana.

Devon menunggu. Meski tidak tau apa yang ditunggunya.

Kemudian, merry go round berputar. Sebuah iringan musik lembut, menyertainya. Devon masih termangu menatap kuda putih tadi. Kuda yang begitu disukai Biyan. Kuda yang sangat mengingatkannya pada sosok gadis tomboy itu.

“Bi…apa yang membuatmu menyukainya?”

Bersamaan dengan merry go round itu berputar, seluruh kenangan Devon pun ikut berkelebat di kepala. Berputar dengan sangat mulus, sehingga tidak satu menit pun hilang dari ingatannya.

Semua tentang Biyan.

*

Pagi itu, Devon tidak pergi ke rumah sakit. Ia sedang ambil cuti. Di dalam kariernya sebagai seorang dokter bedah umum, Devon memang cukup sibuk. Oleh karena itu, Devon harus bisa mengatur waktu untuk menemani istrinya, Biyan, yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa.

Dan hari itu, Devon ingin mengajak Biyan pergi ke taman wisata. Tapi ketika ia bangun, hanya secarik kertas dan secangkir kopi yang ia temukan di samping tempat tidur. Tulisan di atas kertas itu adalah tulisan Biyan, yang mengatakan kalau Biyan sedang pergi ke pasar dan akan segera kembali.

Sambil menanti istrinya, Devon menyibukkan diri dengan membuat sarapan untuk Biyan. Sepiring nasi goreng dan segelas coklat hangat yang masih mengepul. Setelah meletakkan di atas meja makan, Devon mengisi waktu dengan menonton acara televisi.
Ketika beranjak siang dan Biyan masih belum kembali, Devon mulai tidak sabar. Di tengah perasaan yang galau, ponselnya berbunyi kencang. Ia segera menyambar dan menempelkan benda itu ke telinga.

Semenit kemudian, tangan Devon langsung gemetar. Napasnya tertahan. Dan jantungnya seakan berhenti berdenyut.

Seseorang mengabari bahwa Biyan mengalami kecelakaan parah bersama sepeda dan barang belanjaannya.

Ponsel terjatuh. Devon pun melesat meninggalkan rumah dan berlari seperti orang kesetanan menuju rumah sakit. Perasaan galaunya berubah menjadi tidak menentu. Keringat dingin membanjir. Dan otaknya seperti mengalami pembekuan. Air mata yang mengalir di sudut, terbang bersama angin yang menerpa wajahnya kala ia berlari sekuat tenaga. Tapi satu hal yang diharapkannya.

Semoga ia masih bisa melihat Biyan tersenyum.

Sampai di rumah sakit, Devon bertemu dengan Frans, rekannya sesama dokter. Setengah emosi dan terkejut, ternyata mampu membuat Devon hilang kendali. Ia merenggut ujung jubah Frans dan menuntut dokter berkacamata itu untuk memberikan kabar baik. Sayang, raut wajah Frans tetap menyiratkan adanya berita buruk.

“Sulit sekali Devon. Istrimu banyak mengeluarkan darah dan aku menduga ada kerusakan parah pada kepalanya karena dalam kecelakaan itu kepala Biyan yang pertama kali membentur jalanan,” kata Frans tidak merasa tidak enak memberitau kenyataan itu.

Semula Devon mengira kalau perkataan Frans hanyalah dugaan sementara. Tetapi melalui hasil pemeriksaan, kenyataannya memang begitu. Batang otak Biyan rusak cukup parah. Batang otak adalah sumber semua saraf. Dan jika batang otak mengalami kerusakan…, sungguh Devon tidak tau lagi harus bagaimana. Devon ingin sekali berteriak, memaki Frans, atau menghantam dinding. Tapi dia tidak berdaya. Baru kali ini dia merasa begitu lemah, seolah semua tenaga sudah habis tersedot perasaan sedihnya.

Devon hanya bisa menangis pilu di sisi tempat tidur Biyan.

*

Tiga bulan pun berlalu.
Tanpa ada perkembangan dari diri Biyan. Gadis itu masih tergeletak lemah tak berdaya di atas tempat tidur rumah sakit. Selang-selang infus dan peralatan lain menempel di tubuh Biyan. Hanya melalui selang-selang itulah hidup Biyan bisa bertahan.

Namun Devon selalu berharap kondisi Biyan membaik.

Kenyataannya, kondisi Biyan masih koma.

Setiap hari, Devon menunggui Biyan. Barangkali saja tiba-tiba tangan dingin Biyan bisa bergerak. Dan jika itu terjadi, Devon harus ada di sana.

Semua pemeriksaan Biyan pun harus dilakukan oleh Devon dengan bantuan Frans. Semua obat yang masuk melalui selang infus, selalu berada di bawah pengawasan Devon. Tapi tetap saja belum menampakkan hasil yang memuaskan.

Di tengah-tengah pekerjaannya, Devon juga selalu menyempatkan diri mengunjungi Biyan dan membawakan sekuntum bunga chrysanthemum berwarna pink sebagai penghias tempat tidur Biyan. Setiap hari, satu kecupan di kening diberikan pada Biyan, dengan harapan gadis itu akan bangun karena tau ada seseorang yang menantinya.

Orangtua kedua belah pihak datang bergantian. Mereka paham betul dengan perkembangan Biyan. Mereka juga berharap sama dengan Devon, namun kenyataan tidak seperti itu.

Suatu hari, di dalam lorong rumah sakit yang sepi, saat menginjak empat bulan Biyan terbaring tak berdaya, Ibunya Biyan berdiri di hadapan Devon. Keduanya sama-sama tegang.

“Mama, tidak tega melihat putri Mama seperti ini terus, Dev,” sebulir air mata jatuh saat wanita tua itu memulai apa yang ingin diutarakannya. “Mama pikir, kalau ada satu cara yang bisa menghilangkan sakitnya Biyan…”

Devon menelan ludah dengan susah payah. Agaknya ia mengerti maksud Ibu mertuanya itu, tapi hatinya menolak untuk percaya. “Maksud Mama?”

Wanita tua itu menyerosot ingusnya. “Apapun caranya, Devon… Mama ingin penderitaan Biyan berakhir,” ia terdiam sejenak dan menatap Devon dalam-dalam. “Kau tau, Nak.”
Tangan Devon mengepal kuat-kuat di kedua sisi jubahnya.

Sungguh, Devon marah dalam hati. Namun dia menahannya. Sekuat tenaga menahannya, hingga seluruh energi tersalur pada telapak tangan yang tertancap kuku-kukunya. Sepicik itukah pikiran Ibu mertuanya? Semudah itukah dia menyerah? Devon benci pikiran wanita itu!

Sampai kapanpun, Devon tidak akan melepaskan Biyan!

Tidak! Dia tidak akan membiarkan keinginan Ibunya itu tercapai! Biyan akan hidup. Biyan akan bangun dari koma. Karena itu, Devon akan berusaha keras lagi untuk pengobatan Biyan.

Kenyataan memang sulit sekali disesuaikan dengan keinginan menusia. Sekuat apapun Devon berusaha, namun kondisi Biyan tetap tidak membaik.

Bulan pun berganti, tanpa sesuatu yang berarti. Beranjak pertengahan tahun, Biyan masih tetap berbaring koma. Kondisinya malah menurun sehingga beberapa selang harus ditambahkan ke tubuhnya.

Keadaan Biyan terlihat mengenaskan. Tidak ubahnya dengan seorang mayat. Kulitnya pucat, tubuhnya kurus dan cekungan di pipinya kian tampak.

Ibunya semakin sering menangis ketika melihat keadaan Biyan. Wanita tua itu pun semakin bertekad untuk menghilangkan penderitaan Biyan. Dengan meminta persetujuan keluarga, Devon kembali dibujuk. Hanya ini satu-satunya cara agar Biyan bisa bebas dari penderitaan.

Di sisi lain, Devon masih bersikeras menolak. Ia masih yakin pada kemampuannya untuk bisa menyembuhkan Biyan. Apalagi, ia sangat tidak rela kalau harus kehilangan Biyan, secepat ini. Biyan sungguh berarti bagi hidupnya. Hingga kalau harus kehilangan gadis itu, Devon tidak tau lagi pada hidupnya.

*

Di hari itu, Devon sedang duduk di sisi Biyan. Ia baru saja mengganti sejumlah bunga berwarna pink lembut itu dengan bunga yang baru. Harum segar merebak di ruangan tersebut.

Sambil menatap wajah kuyu Biyan yang mulai cekung, Devon menggenggam tangan Biyan. Pikirannya berkutat dengan kejadian belakangan ini. Tentang semua desakan keluarga akan masalah Biyan.

“Aku…tidak akan melepaskanmu, Biyan,” gumam Devon begitu lirih.

Setetes air mata kembali jatuh di pipi Devon. Tapi pria itu tidak peduli. Yang diperhatikan hanya gadis yang tampak begitu tak berdaya di hadapannya.
Tiba-tiba saja, air mata lain menetes dari sudut matanya.

Sudut mata Biyan.

Devon terperangah. “Bi…kau mendengarku?” Hening. Tak ada jawaban. “Apa…air mata itu, tanda bahwa kau begitu menderita?”

Hanya suara denyut jantung dari mesin yang terdengar.

Devon menundukkan kepala sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Hatinya terasa dirajam. Begitu perih. Tapi, apa pun yang terbaik akan dilakukannya untuk Biyan. Apa pun, untuk membuat gadis itu tidak menangis.

*

Akhirnya Devon menyerah. Ia menyerah pada keadaan, Biyan dan juga desakan keluarga. Tidak dipungkiri, hatinya pun lelah dengan semua beban. Hari itu, euthanasia akan dijalankan, sesuai dengan permintaan Ibunya Bian dan juga ijin keluarga. Euthanasia, kini hanya cara itulah yang bisa membebaskan Biyan dari segala sakit yang dideritanya.

Devon bersikeras melakukan euthanasia itu dengan tangannya sendiri. Dia yang begitu menjaga Biyan, karena itu dia juga yang akan melepas Biyan.

Dengan jubah putih kebangsaannya, Devon berdiri di sisi tempat tidur Biyan. Devon menatap wajah Biyan beberapa menit. Kemudian ia meraih jemari-jemari Biyan yang dingin dan menggenggamnya supaya hangat. Setelah itu, dikecupnya kening Biyan dengan begitu lembut. Satu bulir air mata menetes di kening Biyan dan mengalir ke sisi mata gadis itu. Tampak seolah Biyan yang menangis.

Sesudah semua itu, Devon mulai melepaskan satu per satu selang yang menempel di tubuh Biyan. Tangis kedua orang Ibu meledak di kamar itu begitu Devon menyelesaikan pekerjaannya.

Kemudian, Devon duduk di sisi Biyan. Ia kembali menggenggam tangan Biyan. Kini, Devon hanya bisa menunggui Biyan menanti ajalnya. Dan Devon benar-benar menungguinya. Sampai jantung Biyan tidak menunjukkan denyutnya dan napas Biyan sudah tidak terdengar lagi.

Terakhir kali, Devon kembali mengecup kening Biyan dengan tubuh gemetar. Lalu mengusapnya, seolah mengijinkan Biyan pergi dengan tenang. Tidak ada air mata di wajah Devon. Ya, ia tidak akan menangis untuk kali itu. Tidak di saat ia menemani Biyan untuk terakhir kali.

*

Merry go round itu perlahan mulai berhenti. Devon masih bergeming di tempatnya. Matanya masih terarah pada permainan itu.

Tiba-tiba Devon tertegun.

Kuda putih itu tidak berhenti tepat di hadapannya. Kuda putih itu hilang. Dan Devon tidak bisa melihatnya.

Mendadak Devon lemas. Pandangannya pun kabur karena air mata.

Akhirnya ia mengerti!. Ia sudah tau alasan kenapa Biyan begitu menyukai merry go round, bersamaan dengan menguapnya air mata itu.

Hanya ada satu alasan di sana.

Karena Biyan tau, Devon akan selalu menantinya di sisi yang sama. Menanti untuk melihat lambaian Biyan, menanti untuk melihat tawa Biyan dan menanti untuk membiarkan Biyan pergi.

Sudut bibir pria itu mencuat sedikit. Ia tersenyum getir, seolah mengejek dirinya sendiri atas semua keterlambatan pikirannya dan apa yang sudah ia lakukan.

“Maafkan aku, Biyan…Sungguh, maafkan aku…” gumam Devon perlahan dengan suara sendu.
Devon menelungkupkan kepalanya ke atas kedua tangannya yang berpegangan pada besi-besi pagar merry go round. Tiba-tiba tangisnya meledak di sana. Tangisan putus asa dan kekecewaan yang mendalam.

Kini, Devon tidak tau harus bagaimana menghadapi hidup. Sungguh, ia bagai orang yang terlunta-lunta sendirian. Tanpa istri, tanpa karier.

Semuanya telah menghilang, tanpa pernah bisa untuk kembali.

Langit senja beranjak gelap. Orang-orang mulai meninggalkan tempat wisata itu. Hanya Devon yang masih tetap di tempat. Masih tetap bergumul dengan tangis dan semua pikiran masa lalunya.

Entah sampai kapan.



Sebuah tulisan usang yang terbengkalai di gudang data.

Thursday, April 8, 2010

Bye, Mr. Always Yesterday

Bahwa hari ini aku akan kembali pada sang ‘Bunda’…, akankah kau hadir di sini untuk terakhir kaliku?

Hari sudah semakin malam, saat aku masih tetap terjaga, berdiri di antara belaian angin yang mengusap lembut wajah dan rambutku. Aku letih. Bahkan hampir menyerah. Tapi, hatiku terlalu kokoh seperti pilar hingga tetap membuatku berpijak pada bumi dimana bukan tempatku seharusnya berdiri. Dingin malam membuat aku merapatkan cardigan putihku. Aku berdoa, agar—setidaknya, kau segera keluar dari rumahmu, sekedar untuk mencari makanan ringan pengganjal perut atau mengecek apakah pintu pagarmu sudah terkunci rapat. Tapi, doaku terkunci selama setengah jam—lebih. Tidak ada jawaban. Kau…, tetap tidak menampakkan sosokmu.

Tubuhku semakin dingin. Doaku semakin kencang. Tapi, radarku tidak cukup kuat untuk mengirimkan sinyal jeritan hati ini kepadamu. Juga kepada Tuhan. Hingga semuanya tetap terasa hening, semakin sayup dan hampa.

Hanya satu kata yang ingin ku kirimkan—rindu, namun aku terpekur sendirian. Aku memenjarakan kata itu dan menikmatinya seorang diri. Tapi, ini untuk terakhir kali. Dan, sudah saatnya ‘kata’ itu bebas dari sarangnya, menghampiri sang penerima.
Hanya saja, kau masih tetap berada di dalam sana. Sibuk. Sendiri.

Karena…, kau memang tidak pernah tahu keberadaanku.


Aku menarik napas dalam-dalam. Begitu kutengadahkan kepalaku, mataku langsung menangkap sosokmu yang bergerak keluar dari dalam rumah sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku sweater. Kau berjalan menunduk seolah ingin melindungi wajahmu dari tatapan lima meterku.

Hatiku mencelos.

Perlahan, kau bergerak keluar pagar. Apa yang kau cari di malam selarut ini?
Doaku terjawab sudah. Kini, aku menarik napas kuat-kuat, mengumpulkan kekuatan di dalam diri. Lalu, dengan kaki yang terbungkus boot putih dengan sisinya berbulu, aku pun melangkah mantap di belakang punggungmu yang lebar. Terlihat begitu hangat jika aku berada di sana.

“Ngng…,”

Entah bagaimana, suara pelanku bisa merambat ke telingamu. Kau menoleh. Wajahmu tampak begitu bingung, dengan kening yang berlipat dan alis menyatu. Namun, aku tau kau tetap menyelipkan seulas senyum untukku. Senyum yang begitu hangat. Senyum yang sangat ramah. Hingga aku yakin, kau adalah pria yang sangat baik dan terbuka.

“Ya?”

Aku menunduk. Dengan tangan bergetar—antara dingin dan gugup, aku mengeluarkan sebuah botol kaca dengan gulungan-gulungan foto di dalamnya. Fotomu.

“Selamat ulang tahun.”

Wajahmu semakin menunjukkan kebingungan. Sampai-sampai kau lupa bahwa tanganku terjulur untuk memberikan hadiah tersebut.

“Sori…, apa aku kenal kamu?” tanyamu berusaha sehalus mungkin. Aku tau, kau tidak ingin menyakiti perasaanku. Tapi aku juga tau, bahwa kau memang tidak mengenalmu. Jika bukan bayangan mimpiku yang menunjukkan sosokmu, aku tidak akan mencarimu dan menjadi seorang bayangan yang terus memendam rasa.

Aku tersenyum. Kaku. “Nggak. Tapi, aku kenal kamu. Dan pagi ini, usiamu tepat bertambah. Jadi aku ingin memberikan hadiah ini.”

Akhirnya, kau mau menerima hadiah dariku.

“Thank’s. Aku bisa pergi dengan tenang sekarang.”

Kau hanya terdiam. Aku tau, saat itu, kepalamu hanya penuh dengan berbagai pertanyaan. Sayang, aku tidak bisa menjawab semuanya. Aku harap kau bisa mengerti bahwa sesuatu akan lebih berharga ketika dia menjadi sebuah rahasia yang tak terungkap wujudnya.

Lalu, aku segera membalikkan badanku, bergerak ringan dan pergi dengan meninggalkan jejak secara perlahan. Apa kau penasaran?

*

Hari ini, subuh masih mengurung bumi dan langit masih menampakkan rona keunguannya. Tapi, aku sudah muncul. Aku berbias pada langit dan memamerkan keindahan warnaku.
Hanya untuk melihatmu yang sudah sibuk dengan pakaian rapih, siap bergegas menuju kantor.

Sunday, March 14, 2010

Memori Putih

Kamu ingat tempat ini?

Bukit kecil ini, pohon besar dengan daun rindangnya, dan alas berumput. Semuanya menjadi saksi pengakuan yang meluncur dari bibirmu bahwa kamu datang dari planet mars. Masih ingat? Mungkin tidak lagi. Bahwa dulu, kita sering berbagi kisah dalam potongan-potongan yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Bahwa akan selalu ada matahari yang terbit di barat dan terbenam di timur. Begitu juga dengan kisahmu. Ratusan. Mungkin ribuan. Tidak akan pupus meski waktu itu hujan turun perlahan menjadi musik pengiring bagi kata-katamu.

Kamu itu, mozaik buku.

Kepingan demi kepingan dari kata yang menjadi sebuah dunia baru bagiku. Mimpi, kodok, pulau terpencil, dan kiamat. Apa pun itu, kamu selalu bercerita dengan gaya khasmu yang penuh semangat. Hingga setiap tingkahmu selalu membuatku tak kuasa untuk tersenyum.

Tapi, kamu curang.

Kamu selalu tahu apa pun mengenai diriku. Kenapa aku tidak bisa mengetahui apa pun tentangmu? Padahal akulah pengamatmu. Sementara kamu selalu sibuk bercerita.

Aku tahu.

Mungkin, memang kamu tidak pernah membiarkan aku membaca semua yang kamu simpan. Tentang dirimu. Karena kamu tahu aku tidak boleh berharap terlalu jauh, menggapai bintang seperti kisahmu. Tapi, kamu tenang saja. Sebelum aku berusaha mencari tangga untuk memetik bintang, aku akan menghapus langit untuk diriku. Langit kecil di ruang hatiku yang bersinar. Hingga kamu tidak perlu khawatir bahwa aku akan jatuh dari ketinggian.



Aku tidak akan jatuh sakit...


saat melihat kamu ternyata bersamanya.

Wednesday, March 3, 2010

Kesesakan

Kata orang : be yourself.

Tapi dia terus berusaha berlari, hingga jatuh tersungkur, lalu berusaha menemukan topeng milik orang lain.













Dan, kemudian...lari lagi.

Sunday, February 28, 2010

Hanabi

Otousan, hanabi ga deta.
(ayah, kembang apinya muncul)

Dou? Hanabi ga kirei datta ne.
(gimana? kembang apinya cantik, ya)

Otousan, atashi hanabi ga daisuki desu. Itsuka, hanabi mitai ni naritai.
(ayah, aku suka banget kembang api. suatu hari nanti, aku mau menjadi seperti kembang api)

E? Doushite, hanabi tte?
(loh? kenapa seperti kembang api?)

Hanabi ga atashi mitai hosokute hikari o tsukureru kara desu. Kurai sora mou kuraku narimasen. Dakara atashi mo ankoku ni de hikaritai.
(karena kembang api kurus seperti aku dan bisa menghasilkan cahaya. Langit yang gelap jadi nggak gelap lagi. karenanya aku mau bercahaya di atas kegelapan)


Pria setengah baya itu menunduk menatap putri kecilnya dengan mata sipitnya yang penuh dengan rasa kagum sekaligus terharu. Pesta musim panas hampir saja berakhir dan sisa-sisa cahaya kembang api masih meninggalkan jejak di langit yang gelap. Tapi, rangkaian impian diatas kata-kata yang meluncur dari bibir mungil putrinya, seperti memberikan secercah pengharapan.

Mungkin suatu hari nanti, kehidupannya--juga putrinya, terbebas dari dunia gelap berkedok kejahatan. Ya, pria itu tidak akan mendukung putrinya hidup di atas tanah bergelimpangan darah.




Ditulis hanya untuk melatih kemampuan bahasa jepang penulis yang masih belum berkembang.
Jika menemukan kesalahan tata bahasa, bisa berkomentar.
Dan, masih memiliki benang merah dengan postingan kemarin.
Semua...
Tentang 'hitam'

Thursday, February 25, 2010

Bahwa Aku dan Bukan Aku

Hingga tanpa sadar, Aku meraih cermin bundar itu.
.....
......
.......
Bukan diriku. Bukan seorang perempuan berwajah pucat pasi yang hidup dalam kesengsaraan setelah melarikan diri dari rumah.



Tapi, dia. Sang monster. Buas. Liar.
Ini bukan Aku.
Atau Aku dalam wujud yang tidak pernah aku sadari sebelumnya.
Atau Aku terlalu takut mengakui bahwa cermin itu telah berhasil mengangkat bentuk hatiku ke permukaan, hingga semua orang bisa melihat betapa hitam dan kelamnya Aku.

Karena bukan hitam putih yang kupunya, tapi hitam.

Thursday, February 18, 2010

Pada Satu Gerbong Kereta

Tidak ada pemandangan yang lebih menarik daripada hamparan padang rumput hijau atau sekedar warna-warni indah dari alam yang seolah bergerak cepat, seiring dengan laju kereta yang tidak bisa dihentikan. Musim semi telah tiba. Dan hanya pemandangan itu yang menarik perhatiannya. Sementara satu tangannya menopang dagu, matanya memandang jauh menembus jendela kaca.

"Apa yang kamu lihat?"

Suara itu membuatnya berjengit karena terkejut, lalu dia menoleh. Seorang perempuan dengan rambut terurai panjang berwarna hitam, menarik kedua sudut bibirnya hingga melengkung. Dia menyapanya.

"Bukan apa-apa," katanya. Dia menegakkan tubuhnya dengan tegas, sekalian memberi ruang jika orang asing itu hendak duduk di kursi di hadapannya yang memang masih kosong. "Cuma...ada semua itu yang paling menarik untuk dilihat." Dia menunjuk pemandangan di luar yang terus menerus bergerak meninggalkannya seperti pergerakan film yang sengaja dipercepat, dengan dagunya yang kokoh dan membelah di ujungnya.

"Ohhh, kalau aku duduk di sini, bagaimana?" tanya suara lembut itu, mengusik daya imajinasinya. Dia belum berkata apa-apa, tapi perempuan itu sudah menentukan sendiri keputusannya. Pria itu hanya bisa mengikuti gerakan si perempuan dengan sepasang matanya yang lancip.

Hanya begitu saja. Lalu hening merambati. Membuat dia diam-diam mencuri pandang ke arah si perempuan yang berwajah pucat, kontras dengan suasana di luar sana yang penuh dengan warna ceria.

"Aku..." kembali suara lembut itu menggelitik telinganya. Membuat dia langsung menoleh dan mendapati perempuan itu bicara tanpa sekali pun memandangnya. "Aku sakit. Aku menderita Alzheimir. Karena itu aku selalu saja ditinggalkan oleh orang yang mencintaiku. Mereka benci karena aku melupakan mereka. Mereka bilang aku tidak pernah menghargai usaha mereka, karena aku tidak bisa mengingat apa yang telah mereka berikan." Perempuan itu menelan ludah susah payah. "Aku juga tidak berharap seperti itu. Tapi...aku juga tidak pernah tahu kalau aku akan sakit seperti ini. Aku ingin bisa mengingat semuanya sebagai kenangan, tapi aku tidak bisa..."

Perlahan isakannya mengalir perlahan.
Sementara pria dihadapannya menahan napas karena diserang oleh kata-kata yang tidak diharapankannya. Paling tidak bukan dari orang asing yang dikenalnya lima menit yang lalu.

Satu bulir kristal air matanya turun dari pangkal mata.

"Kenapa?" tanyanya. "Kenapa kamu berharap menyimpannya sebagai kenangan?"

"Karena tidak ada harapan untuk masa depan."

"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini."

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu, bolehkah untuk beberapa saat ini aku menyukaimu? Hanya untuk saat ini..."

Pria itu tak lantas mengangguk. Dia seperti terjebak dalam lubang yang dibuatnya sendiri. Wajahnya yang diukir garis-garis tegas menegang. Matanya berusaha membaca maksud dari perempuan itu. Tapi, tidak ditemuinya sesuatu yang membuatnya harus membekukan hatinya dari si perempuan.

Hanya untuk saat ini. Itu berarti hanya untuk tiga jam ke depan, sampai kereta itu akhirnya berhenti di tempat tujuannya. Pria itu membiarkan kepala perempuan itu memberati sisi pundaknya. Juga membiarkan ujung kaosnya basah karena air mata yang tumpah dari sosok yang baru dikenalnya itu. Tidak pernah diketahuinya kenapa dia membiarkan semua ini terjadi. Yang dia tahu, perempuan itu butuh sandaran. Dan dia memberikannya.

Hanya beberapa patah kata dan beberapa gerak gerik yang menunjukkan sedikit perhatian, hingga akhirnya tiga jam itu berlalu tanpa sesuatu yang benar-benar berarti. Kereta berhenti di stasiun berikutnya.

"Aku ingin kita berfoto sebentar."

Perempuan itu meraih kamera polaroidnya dan mulai menjepretkan sang lensa untuk mengabadikan senyum terakhir keduanya.

"Meski tidak berguna, tapi aku akan menyimpannya sebagai kenangan." Perempuan itu bersiap pergi namun kemudian langkahnya terhenti. Dia menoleh dan menatap pria yang duduk beberapa langkah darinya.

"Terima kasih, ya." Dia mengacungkan fotonya. "Karena aku pasti akan melupakanmu, jangan pernah mengingatku."

Lalu dia menghilang dan hanya meninggalkan jejak senyum dalam ingatan pria itu.
Perempuan asing yang mengejutkannya telah pergi. Membawa serta kenangan singkat itu sendiri. Entah bagaimana nasibnya, dia tidak tahu dan tidak akan pernah tahu. Kembali pria itu melamun menatap pemandangan di luar sana. Dia kembali sendiri.

"Hai, boleh aku duduk di sini?"

Hingga suara itu muncul. Pria itu menoleh dan tidak sekali pun dia bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia. Perempuan yang menyapanya. Mirip dengan perempuan tadi. Tidak, bukan mirip, tapi sama persis. Lekuk senyumnya, deretan giginya yang rapih, rambutnya yang tergerai halus layaknya sutra dan juga wajahnya yang agak pucat.

Pria itu menelan ludah.

Tidak pernah menyadari, dimana batas tegas antara kenyataan dan khayalan.

Monday, February 15, 2010

Salju yang Bercerita

Akulah sang debu kristal putih bernama salju dan aku mengukir setiap langkah yang tak terbawa jejaknya untuk kujadikan sebuah kenangan. Setiap jejak yang tertinggal adalah kisah bagiku. Besar, kecil, berlekuk. Aku menyukainya.Dan aku selalu tersenyum untuk itu.

Akulah sang putri yang membuat setitik kebahagiaan di musim yang penuh dengan kebekuan. Aku mencarinya di tiap waktu sebelum matahari membunuhku secara perlahan dan pasti. Aku yang tidak akan pernah bisa terlewatkan.

Akulah sang bunga es yang membuat siapapun menantikan kedatanganku. Merangkaikannya, menggenggamnya, atau pun menyanjungnya. Sementara simfoni kehidupan terus bergerak dengan lembut, aku akan datang kembali untuk mengiringi setiap kisah dalam hidupnya.

Sekedar rangkaian kata yang tidak begitu berarti untuk Rava yang memberikan award untuk blog yang nyaris terbengkalai ini lantaran belum ada setitik ide muncul. Trim`s.




Tuesday, February 9, 2010

(Hanya) Sebuah Kata-Kata

Hai, kawan. Ini cuma satu cara gua untuk kasih tau kejujuran. Well, mungkin selama ini gua terlalu galak, terlalu ringan tangan dan mandang lo dengan tatapan tajam karena emosi. Kadang gua marah dan pengen banget ngusir lo, tapi gua nggak bisa. Setiap kali gua liat kedua mata lo yang memancarkan sinar yang begitu sabar dan bersahabat, justru gua merasa lo yang lebih pantas nendang gua keluar.

Hei, hei. Kamu meremehkan aku! Kata siapa aku marah dengan sikapmu?! Kata siapa aku pantas menendangmu keluar?! Ini rumahmu, kawan. Dan segala kata-katamu mengenai emosi, aku percaya setiap mahluk hidup memiliki emosi. Begitu juga aku. Karena itulah kita kaya akan perasaan.

Terkadang gua berpikir, apa gua cukup baik untuk lo?

Sangat baik! Kamu tidak tahu apa-apa, kawan.

Gua nggak pernah memberikan kesenangan untuk lo. Sebagai mahluk hidup, lo butuh udara segar. Sementara yang gua lakukan adalah memenjarakan lo dari dunia. Seharusnya lo mencari kehidupan lain di luar sana bersama kawan-kawan lo yang lain. Pasti lo bakal bisa lebih bahagia.

Salah, kawan. Disinilah kebahagiaanku! Aku tidak pernah merasa seperti dipenjara. Melihat semua ekspresimu adalah kekuatanku. Juga senyumku yang membuatku bertahan di sini.

Apa lo sama sekali nggak bosen setiap kali hanya berada di rumah? Apa yang lo lakuin selama gua nggak ada?

Kawan, kamu benar-benar tidak mengerti. Karena aku selalu menunggumu maka aku tidak pernah bosan.

Ya, ya, ya, gua tau lo selalu menyambut kedatangan gua setiap kali gua pulang ke rumah. Seberapa telat gua pulang, meski dengan emosi atau pun mood yang baik.

Aku suka itu. Aku selalu bersemangat ketika kamu pulang dan membiarkan aku menyambutmu.

Persahabatan yang lo tawarkan buat gua, sungguh membuat gua nggak mampu untuk membalasnya. Segala kesetiaan dan kesabaran lo menghadapi gua, terima kasih banyak. Gua janji gua nggak akan lagi memukul elo, meski lo merusak semua sepatu gua. Benda itu bisa gua beli lagi, tapi kisah kita nggak akan bisa gua beli lagi.

Asal kamu tau kawan, meski kamu memukulku, aku tidak akan pernah berhenti untuk tetap setia padamu. Meski kamu marah padaku, aku akan tetap menunggu kamu di sini, diam, duduk, tenang, dan menunggu amarahmu hingga reda. Kawan, kalau bukan kesetiaan yang kutawarkan untukmu, aku tidak akan pernah layak untuk menjadi seekor anjing peliharaanmu. Itulah kewajiban yang harus kami lakukan, melayani majikan kami sampai nyawa kami habis.

*

Dan, kemudian pria itu berdiri, mengelus kepala sang anjing kampung kesayangannya, lalu merogoh sakunya untuk melemparkan sebuah biskuit kesukaan si anjing. Dengan keempat kakinya yang gagah, anjing itu segera mengejar biskuitnya dan melahapnya dengan sukacita.

Karena bagaimana pun, aku akan tetap menyayangi majikanku....katanya, dalam hati.

Wednesday, February 3, 2010

Mine Is 'A'

Untuk gadis dalam de javu.


Bukan satu atau dua kali saya melihatmu. Berdiri dengan wajah penuh kekosongan, tampak sesekali tanganmu menggantungkan kuas dan menggoreskannya di sebuah kanvas. Saya tidak mengenalmu. Begitu juga dirimu. Saya percaya tidak ada takdir yang menuntun kita untuk saling mengenal. Tidak, kecuali sebatas angan dan imajinasi yang sepertinya sungguh nyata. Tapi, kamu sungguh berada dekat sekali dengan saya.

Kenapa jarak terasa begitu jauh saat kita berada sungguh dekat?


Bukan sekali atau dua kali saya bertanya-tanya dalam benak sendiri, apa yang membuatmu tampak seringkali melamun, padahal tanganmu bergerak dengan lembutnya seperti gerakan angin yang perlahan menyapu dedahanan? Atau mungkin nyawamu terbang mencari inspirasi untuk buah tanganmu?


Wahai gadis, seandainya dirimu tahu.


Terlalu lama pengharapan ini terpendam. Melangkahkan kaki untuk mendekatimu, rasanya seperti melangkahkan kaki menuju kematian. Lebih dari sekedar sulit. Juga lebih dari sekedar pengecut. Karena bagi saya, kamu gadis dengan julukan A adalah milik saya seorang yang hanya bisa dirasakan melalui satu tutupan mata. Hanya bisa disentuh melalui sapuan angin yang mengelus telapak tangan yang sengaja dilebarkan ini.


Karena...

Meski kita dekat, kamu adalah transparan.

Gadis de javu bernama A.


Tangan ini tidak akan bisa memetik setiap senar gitar, tanpa kehadiranmu. Bibir ini tidak mungkin bersuara ketika kamu tidak datang untuk memberikan satu sentilan ide. Dan, tidak akan ada nada-nada indah yang saya perdengarkan pada banyak orang, jika bukan dirimu yang menguasai setiap sel otak saya.


Karena...

Sekali lagi, kamu gadis bernama A.

A untuk segala inspirasi saya.




Memajang award yang diberikan Aulawi Ahmad. Semoga ide saya bisa terus lancar.


NOTE: Maaf, lama sekali nggak update blog cerpen ini. Beberapa minggu belakangan sedang nggak bisa mencari ide yang sederhana untuk bisa dituliskan ke dalam bentuk cerpen. Tapi, saya harap saya masih bisa mencari ide lain. Huhuhu~ Saya nggak mau blog saya ini terbengkalai...*halah bahasamu nduk*

Friday, January 15, 2010

Her Wedding Dress part 5

Jam baru saja menunjukkan pukul setengah satu saat aku kembali ke butik. Ah, seharusnya aku tidak buru-buru kembali bekerja. Masih ada setengah jam tersisa untuk jatah break lunch yang memang menjadi peraturan di usaha kecil-kecilanku ini. Bukan untukku saja, tapi juga untuk sejumlah karyawan yang bekerja di sana. Tapi ya sudahlah, kembali lebih awak ke kantor juga bukan hal yang buruk dimana aku adalah pimpinan mereka dan sudah sewajarnya kalau aku memberikan contoh yang baik, kan?


Aku mendorong pintu kantor. Ruangan kosong penuh hawa dingin dari hembusan AC langsung menyapa. Segera kuhampiri meja tempat biasanya aku berkutat dengan sketch bookku. Ada sekelibat ide yang rasanya harus cepat-cepat kutuangkan dalam buku gambarku.


Namun, aku mendapati beberapa kertas berisikan gambar yang secara skill jauh dari sempurna, atau katakan saja gambar ini hanya dibuat oleh seorang pemula yang bahkan tidak tau menahu tehnik design. Keningku berkerut seraya memperhatikan satu per satu gambar tersebut. Bukan gambar yang rapih, tapi aku tau si pembuatnya pasti telah berusaha keras untuk membuat siapapun mengerti apa yang dia buat.


Wedding dress.


Ya, beberapa potong gaun pengantin. Yang masih bengkok-bengkok. Berantakan.


”Ah...itu...”


Suara itu! Suara yang sangat kukenal dan belakangan selalu mengitari kehidupanku bagai sebuah atmosfer baru. Bak nafas kehidupan.


Kualihkan pandanganku dari kertas-kertas tersebut ke arahnya. Seorang pria berdiri dengan senyum khas yang menggambarkan sisi nakalnya. Senyum hangat yang begitu lembut tapi juga jenaka. Dan aku selalu menyebutnya sebagai baby smile. Dia menggaruk-garuk belakang kepalanya, seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang mencuri permen.


”Jangan diledek. Gambarnya jelek.”


Senyumku seketika mengembang. Dia, selalu mampu membuatku seperti ini. Membuatku bangkit dari segala keterpurukkan.


Tapi...dia bukan seorang designer. Dia bahkan tidak bisa menggambar.


”Ini untuk apa?”


Kulihat dia masih saja tersenyum simpul, seakan sedang menyimpan sebuah rahasia yang tidak ingin dia beritahu padaku. Matanya bergerak jenaka. Ah, mungkin matanya sedang berusaha bicara padaku. Tapi...aku tidak tau apa maksudnya.


Dan dia mulai mendekat.


Masih dengan mata yang menatapku sama persis.


”Aku mau kamu memilih gaun mana yang mau kamu pakai saat pernikahan kita nanti.”


Aku terkejut bukan main. Jantungku langsung berdegup begitu cepat, seakan sebuah roller coaster sedang membawanya bergerak. Mungkinkah aku mengalami gangguan pendengaran? Dan masih belum sepenuhnya aku menerima sebaris kalimatnya itu, dia segera mengulurkan sebuah cincin sederhana namun berkilau indah ke arahku.


”Itu...kalau kamu mau menikah denganku.”


Semua kejadian itu kembali berputar di benakku kala Ethan memintaku untuk kembali padanya. Lalu silih berganti dengan perlakuan bejat Ethan padaku. Namun aku tau apa jawabanku. Aku tau apa keputusanku. Dan aku yakin dengan semuanya. Aku malah bersyukur karena dijauhkan dari pria seperti Ethan.


Aku memperhatikan pandangan Ethan yang kini beradu dengan Naya. Seumur aku mengenalnya, belum pernah aku melihat tatapan Naya berkilat penuh kemarahan. Sementara tangannya masih terus menggenggam tanganku dengan erat, seakan memberitahuku untuk tidak berpihak pada Ethan. Sekaligus memberitahu Ethan, bahwa sudah ada seseorang yang mau dengan tulus dan penuh cinta menggenggam tanganku.


”Dia...akan menikah denganku.”


Hanya itu kata-katanya. Begitu tenang, begitu dalam, dan begitu menyejukkan untukku.

Thursday, January 7, 2010

Pohon Dalam De Javu

by : Clara

Langit menggantungkan semburat keoranyean, yang semakin lama semakin tertelan oleh kegelapan. Hingga sang pangeran cahaya berubah menjadi seorang dewi malam yang bercahaya pucat. Menerangi redup-redup jalanan setapak yang dilaluinya.

Gadis itu. Seorang diri. Di dalam balutan gaun tidurnya yang berwarna putih. Rambutnya tergerai, dibelai hembusan sang angin malam yang dinginnya menggerogoti setiap kulitnya yang tampak. Kakinya yang telanjang merasakan kelembapan tanah setiap kali dia melangkah. Namun, dia sama sekali tidak peduli.

Putus asa menggelayut di sepasang matanya yang bulat. Putus asa memayungi kepalanya selama dia terus berjalan, menyisiri jalanan setapak itu.

Untuk apa dia berada di sana?
Untuk mencari. Sesuatu.
Dan dia tetap melangkah, mulai memasuki daerah yang dipenuhi oleh pepohonan rindang. Dia tidak takut sedikit pun. Kakinya masih mantap, hatinya masih terus mendesak dan pandangannya masih sama. Putus asa. Ada bekas-bekas air mata yang membasahi pipinya yang tirus.

Sekelibat bayangan itu muncul. Dia yakin merasa begitu familiar dengan tempat ini. Sekilas, bayangan De Javu itu hadir. Memperlihatkan hal yang sama dengan yang berada di hadapannya saat itu. Hingga dia semakin ingin menembus hutan itu hingga ke dalam. Jauh lebih dalam.

Dia mulai berlari. Perlahan. Lalu sedikit lebih cepat. Akar-akar besar menghambat langkahnya. Tapi dia tidak peduli. Dia terus berlari.

Hingga dia menemuinya.
Di sana, di dalam bola matanya, di ujung hutan itu. Sebuah Pohon tegak berdiri sendiri. Tampak begitu kesepian. Dan bayangan yang seperti de javu itu kembali melintas. Kali ini lebih jelas.

Ya, dia tau. Dia ingat.
Karena pohon itu, dulu tidak sendiri.
Karena dulu, dialah yang menemani pohon itu.

NOTE:

Kisah ini hanya selingan her wedding dress karena nggak enak nunda lama-lama majang award, hehehehe. Habis ini masih lanjut lagi kisahnya, kok.

Kisah ini hanyalah fiksi, tetapi penulis sengaja membuatnya untuk memberikan rasa terima kasihnya atas award yang diberikan oleh kawan sesama blogger.

Award dari Aulawi Ahmad di Dejavu.


Award dari Pohon.

Tuesday, January 5, 2010

Her Wedding Dress part 4



Sekarang bulan apa? Coba kutebak. Hmmm, November? Benar? Oke. Aku nggak mengalami gangguan ingatan meski hidupku selama—coba kuingat, tiga bulan? Ya tiga bulan kemarin sudah seperti berada dalam kungkungan penjara dalam rumah. Aku nyaris tidak keluar rumah. Aku malu. Karena aku sama sekali tidak merawat diri. Aku urakkan. Bahkan aku nggak tau kenapa sekarang rambutku sulit sekali disisir.


Dan diatas segalanya, aku berhenti membuat sketsa.

Aku menarik diri dari butik terutama dari rutinitasku merancang pakaian.

Aku benci design. Tiga kata itu cukup mewakili perasaan terdalamku.


Tapi hari ini...hari pernikahannya. Apa yang kupikirkan sehingga ide gila itu muncul? Ide untuk menghadiri pernikahannya di gereja! Ya. Katakan aku gila! Aku ternyata tidak sanggup menahan rasa penasaran akan gaun yang sudah kubuat dengan susah payah, berminggu-minggu hanya untuk menemukan bahan yang cocok untuknya, dan aku sendiri tidak bisa mengenakannya untuk hari paling bahagia dalam hidupku.


Aku bahkan sudah dicampakkan oleh orang yang paling kucintai!


Dengan perasaan kacau balau, aku pun bergegas bersiap-siap, memilih gaun simpel dari bahan sifon berwarna salem. Lalu, berangkat menuju gereja tempat pemberkatan dengan kaki yang sudah terbungkus stilleto putih. Namun, langkahku terasa begitu berat ketika berada di depan pintu gerbang megah tersebut. Sebuah keinginan perlahan menguak di dalam pikiranku, tanpa bisa kukendalikan.


Bisakah aku bertemu empat mata dengannya?

Bisakah aku menuntut hutang penjelasan atas keputusannya mencampakkanku?

Kenapa?


Hanya satu kata itu yang terus mengisi benakku selama tiga bulan belakangan, menghias di setiap roda kehidupanku yang memasuki ruang kehampaan. Tetapi, bahkan hingga jarak diantara kami hanya beberapa meter, satu pertanyaan terbesarku itu tidak bisa kudapatkan jawabannya. Aku lelah. Aku ingin mundur, namun aku bertahan. Aku ingin menutup mataku, tapi rasanya berat.


Senyum yang terulas saat dia keluar dari gereja dihantar oleh ratusan tamu. Sorot mata yang hangat saat dia menatap sang mempelai wanita yang menggamitkan lengannya. Aku ingin menikmati semua itu sekaligus membiarkan daya khayalku terbang, menggantikan posisi si wanita. Ya, aku menikmatinya.


Karena aku merindukannya...


DEG!

Jantungku mencelos. Dia menoleh ke belakang. Tepat ke arahku yang menatapnya kosong. Pandangan kami bertemu diantara keramaian tamu yang berusaha menjadi dinding pemisah selain jarak yang terbentang tak terlalu jauh itu. Aku bagai sebuah mendung di antara riak keceriaan. Aku seperti patung yang kosong dan tak bernyawa yang berdiri diam diantara sekumpulan manusia. Dan aku seperti sebuah warna hitam pekat yang berada di antara puluhan warna-warni berkilauan.


Senyumnya hilang. Sorot matanya pun berubah drastis.


Tapi tetap tidak ada jawaban atas pertanyaan kenapa itu.


Hingga tetesan air mata ini, kembali mengiringinya masuk ke dalam sebuah kendaraan mewah dan berkelas yang akan mengirim pasangan baru itu menuju tempat baru mereka. Juga kehidupan baru yang akan mereka mulai.


Mungkinkah harta telah menyilaukannya?

....

Namun aku hanya bisa menunggu untuk hadirnya sebuah penjelasan itu.




Hingga dua tahun itu datang,

secepat petir dan tidak terduga seperti maut....


”Aku...menghamilinya.”


Aneh. Harusnya aku marah. Harusnya aku sakit mendengar pernyataan itu. Harusnya hatiku perih bagai tertikam puluhan tombak. Entah sudah berapa lama dia mengkhianatiku. Tapi hatiku beku. Tepatnya kini telah beku hanya untuknya. Aku seperti roh halus yang tidak mampu merasakan apa-apa saat dia menjelaskan perihal keputusannya meninggalkanku.


Sebaliknya, aku hanya bisa menatapnya. Lama. Sangat lama.


”Aku minta maaf,” katanya lagi. ”Tapi aku sudah menceraikannya. Dan aku berharap, kita bisa kembali seperti dulu.”


Aku masih termangu. Kembali seperti dulu? Maaf? Semudah itu dia mengucapkan semuanya? Demi Tuhan, dia sama sekali tidak punya perasaan! Aku curiga hati di dalam tubuhnya mungkin adalah plastik. Tidak mampu merasakan apapun!


Lidahku kelu. Dan aku membiarkannya tetap kelu. Aku tidak berusaha untuk mencari kata-kata sebagai pembalasan. Aku memilih diam. Benar-benar seperti manusia yang tidak mengerti apa yang sudah dikatakan lawan bicaraku saat itu. Meskipun sejuta umpatan berbaris rapi di otakku menunggu pintu berupa bibirku ini mengeluarkan mereka satu per satu dari sangkarnya.


Dan dorongan itu semakin kuat. Dorongan untuk meluncurkan cacian, kata benci dan semua emosi yang pernah kurasakan dulu. Aku ingin dia tahu betapa sakitnya aku waktu dicampakkannya begitu saja. Aku ingin dia tau semua luka-luka yang pernah dia torehkan untukku. Aku ingin berteriak tepat di depan wajahnya yang seperti tidak melakukan kesalahan fatal.


Gigiku sudah bergemeletuk karena emosi yang sudah beberapa bulan belakangan tertidur pulas, kini bak singa yang kelaparan dan siap menerkam mangsanya. Tapi...semua itu redam seketika. Semua itu hilang entah kemana. Amarahku bak disiram oleh air yang menyejukkan.


Ya, semua itu karena dia.

Dia yang menahanku.

Dia yang kini menggenggam tanganku.

Bukan Ethan.