by : Clara
Kata orang kematian itu indah. Benarkah?
Bagaimana kalau justru berada diantara kematian dan kehidupan?
Aku lelah. Sungguh.
Seluruh tenagaku telah larut bersama emosi yang telah kuluapkan. Habis. Puas? Tidak. Aku belum puas. Aku masih mencari apakah masih ada saksi bisu yang mengawasiku dengan tatapan mereka yang dingin, yang bisa kuhancurkan, untuk mengakhiri amarahku yang tersisa? Satu per satu mataku menjelajah ke seluruh ruangan bernuansa serba putih ini, dengan tatapan nanar. Semua terlihat porak poranda, tanpa menyisakan satu pun keutuhan.
Tolong…
Suara lolonganku yang seperti anjing kesakitan, tetap hanya tertinggal sebagai suara rintihan yang tidak akan didengar oleh siapapun. Suaraku hanya memunculkan gelembung-gelembung yang bisa didengar oleh mahluk bersirip di dunia yang berbeda denganku. Bahkan suaraku tidak bisa merambat sampai ke ujung ponsel yang tergeletak lesu, beberapa meter dari gapaianku.
Aku mengirimkan sinyal-sinyal hampa.
Tapi bisakah kau merasakan sinyal dariku?
Tolong…
Aku kesakitan. Aku menderita. Aku ingin bernafas.
Dan aku berpacu dengan waktu, menuju kematiankukah? Atau sekali lagi aku harus kembali pada semua kenyataan pahit yang menimpaku?
Kau duduk di sebuah bangku, dengan kaki yang menyilang begitu angkuhnya, serta pandanganmu yang merendahkanku, seolah aku ini adalah perempuan berpenyakit kusta yang harus kau hindari. Bibirmu yang menyunggingkan senyum sinis. Senyum yang tajam dan menggores hatiku. Kau diam seribu bahasa hanya untuk menghakimiku dengan tatapan membunuhmu.
Kau mencampakkanku!
Hanya untuknya. Demi dia.
Haruskah aku memohon seperti budak yang membutuhkan makanan di kala sang majikan tidak memberinya makan?
Haruskah aku mencium ujung kakimu hanya supaya kau tidak berpaling padanya?
Kau berbahagia di atas penderitaanku.
Kau menginjak seluruh tubuhku hingga kesakitan dengan sikapmu.
Kau menganggapku hanya, ya, seperti perempuan hina yang kotor yang telah berbusuk badannya.
Lihatlah siapa yang lebih kotor?
Aku yang perempuan hina ini, yang mencintaimu secara tulus, ataukah dia, yang seorang laki-laki yang mencintaimu karena kamu juga sakit?
Dan sungguhkah? Kau akan mengusirku seperti anjing betina liar yang bulunya rusak tapi sudah mengabdi bertahun-tahun, hanya demi dia, anjing jantan yang melenggok dengan bulunya yang berkilau?
Pergilah…
Setelah kau puas dengan membuat luka di hatiku.
Setelah lebam di tubuh ini juga kau tinggalkan sebagai kenangan atas kekejian sikapmu yang seperti binatang.
Setelah sesuatu yang paling berharga dari dalam diriku kau rampas penuh nafsu bejat dan liar.
Tik … tok … tik … tok …
Aku masih berpacu dengan waktu. Tanganku semakin terkulai, juga semakin dingin seakan-akan ada yang memberikan es batu ke dalam tempatku berendam. Mataku masih terbuka sedikit, bersama dengan harapan itu. Aku ingin kau mendengar sinyal dariku. Aku ingin kau berada di sini sekarang. Apakah ponselku tak cukup mengirimkan sinyal-sinyal itu?
Aku lelah. Sungguh.
Aku ingin memejamkan mata.
Aku membiarkan darah menetes perlahan, membuat nada indah yang merambat pelan ke telingaku, dari pergelangan tangan ini.
Tolong…
Apakah kau tidak mendengat sinyal-sinyal dariku?
Tik. … tok … tik … tok …
Note: Percikan kisah ini ditulis karena terinspirasi oleh lagu SIGN by Brown Eyed Girls dan sama sekali tidak ingin menyinggung siapapun
Just enjoy ^^
Showing posts with label percikan kisah. Show all posts
Showing posts with label percikan kisah. Show all posts
Monday, November 30, 2009
Thursday, November 26, 2009
Harum yang Abadi
Lihat hujan turun lagi dengan derasnya!
Uhhh, rasanya badanku kaku. Aku sama sekali tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Aku ingin tetap berada di balik selimut. Aku malas pergi ke sekolah. Lagipula, hujan kali ini, entah kenapa terasa begitu memilukan. Aku tidak suka. Sepertinya dia sedang menangisi seseorang. Siapa hujan? Siapa yang kau tangisi sampai terasa begitu pilu?
Bunda membuka pintu kamarku.
Dengan tegasnya, beliau segera menyuruhku berangkat sekolah. Buatnya, tidak boleh ada kata membolos. Apapun alasannya. Termasuk waktu aku demam.
"Ah, cuma demam 37 derajat saja. Kamu juga masih bisa bergerak, kan? Sebaiknya sekolah. Jangan sia-siakan ilmu." Begitulah kata Bunda. Intinya dia paling anti dengan sesuatu yang menyebabkan aku tidak berangkat ke sekolah. Kadang aku merasa keterlaluan, kadang aku merasa Bunda benar. "Karena setiap harinya akan ada ilmu yang bisa berguna untuk hidupmu kelak. Kalau kamu membolos, kamu melewatkan satu kesempatan emas." Itulah alasan Bunda.
Aku pun segera teringat dengan seorang guruku. Beliau sudah memasuki usia lanjut, tapi aku suka sekali cara mengajarnya yang sabar dan terlihat selalu tulus mendidik setiap muridnya untuk bisa menguasai materi Bahasa Indonesia yang begitu dicintainya. Oh, guruku. Hanya untukmulah, akhirnya aku menanggalkan selimut ini dan bertarung dengan udara dingin yang menggerogoti kulitku perlahan-lahan.
Akhirnya aku pun bergegas bersiap-siap dan ternyata Bunda sudah merapihkan semua kebutuhanku pagi itu. Mulai dari sarapan hingga payung yang harus kugunakan untuk menempuh jarak ke sekolah yang selalu kulewati dengan berjalan kaki.
Perjalanan dari rumah menuju sekolahku tidak terlalu jauh. Hanya cukup menempuh beberapa meter melalui jalan tembus, pematangan sawah. Tapi aku selalu suka dengan suasananya. Saat banyak bapak Tani mulai sibuk dengan pekerjaannya menanam pagi. Biasanya aku menyapa mereka. Hanya saja kali ini hujan menghentikan semua kegiatan rutin yang aku lihat itu.
Gedung sekolahku sudah mulai kelihatan!
Akhirnya, aku bisa bebas dari jalanan becek yang membuat kakiku kotor. Untung aku mengikuti saran Bunda untuk mengenakan sandal alih-alih sepatu hitam butut yang biasanya selalu menjadi pasangan setia dari seragam putih merahku. Sampai di kelas, aku merapihkan sandalku dan segera memakai sepatu itu. Hingga tak berapa lama bel berbunyi. Ahhh, aku sudah tidak sabar bertemu dengan guruku. Pak Harum namanya. Ya, namanya memang benar-benar harum karena beliau selalu menebar serbuk kebajikannya. Tanpa pernah sekalipun mengharapkan ada balasan.
Lalu, hari ini, Pak Harum akan mengajarkan apa ya?
Mungkin tentang bagaimana membuat kalimat yang baik? Atau adakah pelajaran mengarang lagi dari beliau? Aku selalu rindu dengan pelajaran mengarangnya.
Suatu ketika, aku mendapat pujian dari beliau, karena katanya tulisanku membuatnya tersentuh. Aku yang hanya seorang anak kecil, pastinya merasa bangga mendapat pujian seperti itu. Padahal aku menyusun kata-kata dengan kacau. Dan hanya bercerita apa adanya tentang Ayahku yang meninggal di perantauan negri orang. Namun, rupanya Pak Harum menyukainya.
Seorang guru tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas.
AKu langsung mendesah. Bukan Pak Harum. Apa karena beliau terlalu tua untuk menembus hujan yang cukup deras mengguyur pagi itu?
Guru itu berdiri di depan kelas. Dengan wajahnya yang tampak lelah.
"Anak-anak, Pak Harum baru saja meninggal. Subuh tadi."
Kabar itu seperti petir di siang bolong! Aku langsung shock!
Pak Harum, guru kesayanganku yang selalu memiliki dedikasi yang tinggi untuk sekolah bobrok ini beserta seluruh anak muridnya yang senantiasa berharap bisa menjadi lebih pintar dari waktu ke waktu. Pak Harum tidak pernah mengeluh baik panas terik membakar kulitnya atau pun hujan deras mengguyur tanah. Ya. Dia melewati semua rintangan itu hanya untuk memberitau pada kami mengenai apa arti dari kemerdekaan.
Kini guru dengan tawa khas yang hangat itu telah tiada.
Selamat jalan Pak Harum.
Namamu terlalu berharga untuk dicampakkan begitu saja.
Selamat jalan guruku sayang.
Jasamu akan selalu membekas di hatiku. Dan ilmu yang telah kau berikan, akan selalu kupakai di kehidupanku.
Sampai sekarang. Ketika kesuksesanku sebagai seorang sastrawati telah mendampingiku.
Pak Harum adalah penanam benih dari semua ini.
Note: Selamat Hari Guru
kisah tak seberapa ini dihadiahkan untuk kawan-kawan dan mungkin juga blogger yang berprofesi sebagai guru
Uhhh, rasanya badanku kaku. Aku sama sekali tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Aku ingin tetap berada di balik selimut. Aku malas pergi ke sekolah. Lagipula, hujan kali ini, entah kenapa terasa begitu memilukan. Aku tidak suka. Sepertinya dia sedang menangisi seseorang. Siapa hujan? Siapa yang kau tangisi sampai terasa begitu pilu?
Bunda membuka pintu kamarku.
Dengan tegasnya, beliau segera menyuruhku berangkat sekolah. Buatnya, tidak boleh ada kata membolos. Apapun alasannya. Termasuk waktu aku demam.
"Ah, cuma demam 37 derajat saja. Kamu juga masih bisa bergerak, kan? Sebaiknya sekolah. Jangan sia-siakan ilmu." Begitulah kata Bunda. Intinya dia paling anti dengan sesuatu yang menyebabkan aku tidak berangkat ke sekolah. Kadang aku merasa keterlaluan, kadang aku merasa Bunda benar. "Karena setiap harinya akan ada ilmu yang bisa berguna untuk hidupmu kelak. Kalau kamu membolos, kamu melewatkan satu kesempatan emas." Itulah alasan Bunda.
Aku pun segera teringat dengan seorang guruku. Beliau sudah memasuki usia lanjut, tapi aku suka sekali cara mengajarnya yang sabar dan terlihat selalu tulus mendidik setiap muridnya untuk bisa menguasai materi Bahasa Indonesia yang begitu dicintainya. Oh, guruku. Hanya untukmulah, akhirnya aku menanggalkan selimut ini dan bertarung dengan udara dingin yang menggerogoti kulitku perlahan-lahan.
Akhirnya aku pun bergegas bersiap-siap dan ternyata Bunda sudah merapihkan semua kebutuhanku pagi itu. Mulai dari sarapan hingga payung yang harus kugunakan untuk menempuh jarak ke sekolah yang selalu kulewati dengan berjalan kaki.
Perjalanan dari rumah menuju sekolahku tidak terlalu jauh. Hanya cukup menempuh beberapa meter melalui jalan tembus, pematangan sawah. Tapi aku selalu suka dengan suasananya. Saat banyak bapak Tani mulai sibuk dengan pekerjaannya menanam pagi. Biasanya aku menyapa mereka. Hanya saja kali ini hujan menghentikan semua kegiatan rutin yang aku lihat itu.
Gedung sekolahku sudah mulai kelihatan!
Akhirnya, aku bisa bebas dari jalanan becek yang membuat kakiku kotor. Untung aku mengikuti saran Bunda untuk mengenakan sandal alih-alih sepatu hitam butut yang biasanya selalu menjadi pasangan setia dari seragam putih merahku. Sampai di kelas, aku merapihkan sandalku dan segera memakai sepatu itu. Hingga tak berapa lama bel berbunyi. Ahhh, aku sudah tidak sabar bertemu dengan guruku. Pak Harum namanya. Ya, namanya memang benar-benar harum karena beliau selalu menebar serbuk kebajikannya. Tanpa pernah sekalipun mengharapkan ada balasan.
Lalu, hari ini, Pak Harum akan mengajarkan apa ya?
Mungkin tentang bagaimana membuat kalimat yang baik? Atau adakah pelajaran mengarang lagi dari beliau? Aku selalu rindu dengan pelajaran mengarangnya.
Suatu ketika, aku mendapat pujian dari beliau, karena katanya tulisanku membuatnya tersentuh. Aku yang hanya seorang anak kecil, pastinya merasa bangga mendapat pujian seperti itu. Padahal aku menyusun kata-kata dengan kacau. Dan hanya bercerita apa adanya tentang Ayahku yang meninggal di perantauan negri orang. Namun, rupanya Pak Harum menyukainya.
Seorang guru tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas.
AKu langsung mendesah. Bukan Pak Harum. Apa karena beliau terlalu tua untuk menembus hujan yang cukup deras mengguyur pagi itu?
Guru itu berdiri di depan kelas. Dengan wajahnya yang tampak lelah.
"Anak-anak, Pak Harum baru saja meninggal. Subuh tadi."
Kabar itu seperti petir di siang bolong! Aku langsung shock!
Pak Harum, guru kesayanganku yang selalu memiliki dedikasi yang tinggi untuk sekolah bobrok ini beserta seluruh anak muridnya yang senantiasa berharap bisa menjadi lebih pintar dari waktu ke waktu. Pak Harum tidak pernah mengeluh baik panas terik membakar kulitnya atau pun hujan deras mengguyur tanah. Ya. Dia melewati semua rintangan itu hanya untuk memberitau pada kami mengenai apa arti dari kemerdekaan.
Kini guru dengan tawa khas yang hangat itu telah tiada.
Selamat jalan Pak Harum.
Namamu terlalu berharga untuk dicampakkan begitu saja.
Selamat jalan guruku sayang.
Jasamu akan selalu membekas di hatiku. Dan ilmu yang telah kau berikan, akan selalu kupakai di kehidupanku.
Sampai sekarang. Ketika kesuksesanku sebagai seorang sastrawati telah mendampingiku.
Pak Harum adalah penanam benih dari semua ini.
Note: Selamat Hari Guru
kisah tak seberapa ini dihadiahkan untuk kawan-kawan dan mungkin juga blogger yang berprofesi sebagai guru
Saturday, November 21, 2009
Hadiah Dari Sang Guru
Laki-laki itu duduk terdiam, di atas kursinya. Dia menatap keluar jendela, meskipun setumpuk buku berada di hadapannya. Senyum yang tak lekang dari wajahnya, membuat siapapun tau bahwa dia adalah seseorang dengan dedikasi tinggi atas sebuah kata bernama pendidikan. Dia rela bangun pagi, hanya untuk membagi ilmu dengan murid-muridnya. Dia bahkan tak mengeluh ketika harus tidur terlalu larut, ketika harus memeriksa tulisan murid-murid didikannya. Dia tau, apa yang terbaik untuk murid-muridnya.
Pandangannya menoleh ketika enam belas orang siswa, masuk ke dalam kelas. Dia masih mengukir senyum itu, dan melontarkannya kepada para siswa. Tidak ada yang tidak membalas senyum itu. Mereka tau, laki-laki yang sedang duduk itu adalah guru sekaligus sahabat yang tidak akan bisa digantikan dengan apapun. Terlalu berharga, lebih dari apapun.
"Hari ini ladang saya panen," guru itu memulai percakapan kepada enam belas siswa ini. "Karena itu," dia merogoh kolong mejanya dan mengeluarkan sekeranjang apel merah yang begitu ranum. "Sebagai lambang persahabatan yang tak lekang oleh waktu dan tak terbatas hanya karena profesi, saya ingin membagi apel yang saya petik sendiri ini untuk kalian."
Dengan perasaan penuh haru sekaligus bangga yang membuncah, satu per satu siswanya mulai maju dan menerima apel itu. Apel istimewa yang diberikan oleh orang yang memiliki jasa begitu besar dalam memberantas kebodohan.
---
Sebagai salah satu dari siswa itu, saya juga mau memamerkan 'apel ranum' yang diberikan oleh guru bernama Bang Munir.
Terima kasih untuk award terhadap blog cerpen ini ^^
semoga dengan award yang diberikan, bisa membuat saya tetap berkarya dalam membuahkan imajinasi-imajinasi lainnya yang masih tertinggal di dalam kepala
Pandangannya menoleh ketika enam belas orang siswa, masuk ke dalam kelas. Dia masih mengukir senyum itu, dan melontarkannya kepada para siswa. Tidak ada yang tidak membalas senyum itu. Mereka tau, laki-laki yang sedang duduk itu adalah guru sekaligus sahabat yang tidak akan bisa digantikan dengan apapun. Terlalu berharga, lebih dari apapun.
"Hari ini ladang saya panen," guru itu memulai percakapan kepada enam belas siswa ini. "Karena itu," dia merogoh kolong mejanya dan mengeluarkan sekeranjang apel merah yang begitu ranum. "Sebagai lambang persahabatan yang tak lekang oleh waktu dan tak terbatas hanya karena profesi, saya ingin membagi apel yang saya petik sendiri ini untuk kalian."
Dengan perasaan penuh haru sekaligus bangga yang membuncah, satu per satu siswanya mulai maju dan menerima apel itu. Apel istimewa yang diberikan oleh orang yang memiliki jasa begitu besar dalam memberantas kebodohan.
---
Sebagai salah satu dari siswa itu, saya juga mau memamerkan 'apel ranum' yang diberikan oleh guru bernama Bang Munir.
Terima kasih untuk award terhadap blog cerpen ini ^^
semoga dengan award yang diberikan, bisa membuat saya tetap berkarya dalam membuahkan imajinasi-imajinasi lainnya yang masih tertinggal di dalam kepala
Friday, September 25, 2009
Kasih
By : Clara
Satu kisah itu, kasih...berangsur pudar, menguap menjadi tak berwarna. Tak ada lagi kelembutan, karena pasir itu telah kamu genggam dengan sekuat tenaga. Kamu membiarkannya tumpah, berserakan, hingga tak satu pun tersisa untuk dirasa. Untuk dimiliki.
Kasih, kisahmu, saya tahu...
Tapi bukan dengan kekuatan, bukan dengan paksaan, untuk bisa membangun saya untuk berada disebelahmu. Ketika saya memilih untuk menghindar, bukan saya tidak memiliki indahnya kisah itu. Bukan saya melupakannya. Bukan pula tanda selamat tinggal.
Kasih, bisakah kita menjadi satu kesatuan yang utuh, tanpa ketidakiklasan.
Kasih, biarkan saya yang menemani langkahmu. Dalam doa. Dalam bayangan. Dalam keremangan. Juga dalam kesendirian. Untuk dirimu, selamanya, tanpa pernah kamu harus tahu. Karena...saya masih tidak kuat berada dalam genggamanmu yang begitu penuh tenaga.
Satu kisah itu, kasih...berangsur pudar, menguap menjadi tak berwarna. Tak ada lagi kelembutan, karena pasir itu telah kamu genggam dengan sekuat tenaga. Kamu membiarkannya tumpah, berserakan, hingga tak satu pun tersisa untuk dirasa. Untuk dimiliki.
Kasih, kisahmu, saya tahu...
Tapi bukan dengan kekuatan, bukan dengan paksaan, untuk bisa membangun saya untuk berada disebelahmu. Ketika saya memilih untuk menghindar, bukan saya tidak memiliki indahnya kisah itu. Bukan saya melupakannya. Bukan pula tanda selamat tinggal.
Kasih, bisakah kita menjadi satu kesatuan yang utuh, tanpa ketidakiklasan.
Kasih, biarkan saya yang menemani langkahmu. Dalam doa. Dalam bayangan. Dalam keremangan. Juga dalam kesendirian. Untuk dirimu, selamanya, tanpa pernah kamu harus tahu. Karena...saya masih tidak kuat berada dalam genggamanmu yang begitu penuh tenaga.
Gelas itu Pecah
By : Clara
Dia adalah sosok Ibu yang kuat. Bukan berotot seperti Xena, bukan bertubuh besar layaknya raksasa, bukan juga bertenaga baja bak petinju profesional. Dia, hanya wanita biasa, dengan raut wajah tua yang tersenyum kuyu. Saya selalu melihatnya berdiri tegap, tampak kokoh meski sebenarnya dia letih. Dan bahkan untuk semua itu, dia tidak pernah meminta imbalan. Jangankan imbalan, semua perhatiannya sudah tersita untuk anak-anaknya dan juga keluarga. Tidak ada waktu untuk memikirkan diri sendiri.
Dia pejuang.
Dalam hati.
Begitu murni.
Kadangkala, sesuatu datang tak terduga. Bagai hujan di tengah musim kemarau. Semua tau, itulah kehidupan. Selalu ada sebuah kejutan di tengah badai pengalaman yang menghadang. Namun selalu ada pelampung untuk itu. Ya, semua orang meyakini itu. Meski saya terkadang ragu. Lihat saja wajah Ibu tua itu. Wajah letihnya, yang terkadang menghadirkan tawa renyah yang menyenangkan, kini tengah tersapu kelabu. Bukan berarti tawa itu hilang, hanya saja bukan berasal dari hatinya. Dia hanya memikirkan kebahagiian orang di sekitarnya. Hingga terpaksa sekuat sisa tenaga untuk bersikap palsu pada seklilingnya. Mengenakan topeng seseorang yang tersenyum lebar.
Tapi mata itu tak tertutup topeng.
Mata itu berbicara, Ibu.
Kekuatanmu sudah habis. Dan saya tau, kau hanyalah manusia biasa. Wanita biasa dengan ketegaran yang luar biasa. Dengan tubuh mungilmu yang mulai linu dimakan usia, kau bertahan begitu hebat. Selayaknya batu karang yang diterjang ombak. Namun, kini batu karang itu mulai keropos. Yah, sudah termakan usia. Dan kau, sudah berusaha segenap jiwa dan kemampuanmu. Saya tau.
Petir itu datang, kilat itu menyambar, dan rodamu kini berada di bawah. Ada ujian yang harus kau lakukan. Ada ujian yang akan mengukuhkan kekuatan hatimu. Ada ujian yang harus membutuhkan air mata dan pengorbanan. Saya tau, kau akan sanggup melewatinya.
Kau adalah wanita perkasa.
Wanita itu, tampak begitu indah. Bagai kristal yang murni, bagai gelas bening berkilau. Tetapi kini gelas itu telah pecah. Saya tau, kau pun juga rapuh. Maka...menangislah. Saat suara hatimu meraung keluar, saya tau kau pun akan merasa lebih ringan.
Karena itu...tak apa jikalau gelas itu pecah...
Dia adalah sosok Ibu yang kuat. Bukan berotot seperti Xena, bukan bertubuh besar layaknya raksasa, bukan juga bertenaga baja bak petinju profesional. Dia, hanya wanita biasa, dengan raut wajah tua yang tersenyum kuyu. Saya selalu melihatnya berdiri tegap, tampak kokoh meski sebenarnya dia letih. Dan bahkan untuk semua itu, dia tidak pernah meminta imbalan. Jangankan imbalan, semua perhatiannya sudah tersita untuk anak-anaknya dan juga keluarga. Tidak ada waktu untuk memikirkan diri sendiri.
Dia pejuang.
Dalam hati.
Begitu murni.
Kadangkala, sesuatu datang tak terduga. Bagai hujan di tengah musim kemarau. Semua tau, itulah kehidupan. Selalu ada sebuah kejutan di tengah badai pengalaman yang menghadang. Namun selalu ada pelampung untuk itu. Ya, semua orang meyakini itu. Meski saya terkadang ragu. Lihat saja wajah Ibu tua itu. Wajah letihnya, yang terkadang menghadirkan tawa renyah yang menyenangkan, kini tengah tersapu kelabu. Bukan berarti tawa itu hilang, hanya saja bukan berasal dari hatinya. Dia hanya memikirkan kebahagiian orang di sekitarnya. Hingga terpaksa sekuat sisa tenaga untuk bersikap palsu pada seklilingnya. Mengenakan topeng seseorang yang tersenyum lebar.
Tapi mata itu tak tertutup topeng.
Mata itu berbicara, Ibu.
Kekuatanmu sudah habis. Dan saya tau, kau hanyalah manusia biasa. Wanita biasa dengan ketegaran yang luar biasa. Dengan tubuh mungilmu yang mulai linu dimakan usia, kau bertahan begitu hebat. Selayaknya batu karang yang diterjang ombak. Namun, kini batu karang itu mulai keropos. Yah, sudah termakan usia. Dan kau, sudah berusaha segenap jiwa dan kemampuanmu. Saya tau.
Petir itu datang, kilat itu menyambar, dan rodamu kini berada di bawah. Ada ujian yang harus kau lakukan. Ada ujian yang akan mengukuhkan kekuatan hatimu. Ada ujian yang harus membutuhkan air mata dan pengorbanan. Saya tau, kau akan sanggup melewatinya.
Kau adalah wanita perkasa.
Wanita itu, tampak begitu indah. Bagai kristal yang murni, bagai gelas bening berkilau. Tetapi kini gelas itu telah pecah. Saya tau, kau pun juga rapuh. Maka...menangislah. Saat suara hatimu meraung keluar, saya tau kau pun akan merasa lebih ringan.
Karena itu...tak apa jikalau gelas itu pecah...
Kisah Burung Bangau Kertas
By : Clara
Dia tau bahwa burung bangau itu hanya terbentuk dari lipatan kertas. Tapi dia begitu menyayangi rangkaian kertas tersebut. Dia, seorang remaja laki-laki, yang percaya bahwa aka nada keberuntungan dari burung-burung bangau buatan tangannya. Tidak peduli meski hanya terbentuk dari lipatan kertas bekas atau kertas koran yang tak terpakai, yang mungkin dibuang oleh seseorang karena sudah selesai dibaca. Dia tau burung bangaunya tidak indah, tapi dia percaya hasilnya tidak akan mengecewakan.
Dan lipatan burung bangau itu sudah berjumlah sembilan puluhan. Dengan penuh kasih sayang dia menyimpannya di dalam sebuah kardus bekas dan dia letakkan di atas lemari usang yang menjadi satu-satunya tempat penyimpanan pakaian di dalam rumahnya yang sudah bobrok. Yang dihuninya bersama seorang adik perempuannya, yang sangat berharap bisa merasakan nikmatnya sebuah roti isi coklat.
“Katanya kalau membuat seribu burung bangau permintaan bisa terkabul loh,” kata sang kakak. Anak perempuan kecil itu hanya mengangguk-angguk, paham. “Kamu harus percaya. Meski masih jauh dari seribu, kamu harus percaya kalo nanti kita bisa buat sampe seribu.”
Sang adik yang berambut pendek dan kusam, karena sering terjemur matahari namun jarang sekali dicuci, selalu menatap kakaknya yang sudah beranjak remaja itu tetapi masih dengan setia melipati setiap kertas yang dia potong-potong menjadi bentuk dadu, sehingga membentuk sebuah bentuk menyerupai burung bangau. Adiknya pun selalu menyukai setiap bentuk burung bangau yang dihasilkan oleh kakaknya.
“Aku mau bantu, Kak. Ajarin aku buat burung bangau itu.” Pinta sang adik suatu hari. Dengan sabar, kakaknya pun mengajari langkah-langkah melipat burung bangau yang sedikit sulit itu. Namun dia tak pernah mengeluh. Sesulit apa pun, dia tau adiknya pasti bisa. Dia percaya. Dan dia benar. Sang adik pun bisa melakukannya. Hingga keseratus burung bangau akhirnya terkumpul di dalam kardus.
Suatu saat, seorang dari kawan adiknya melihat keseratus burung bangau itu. Dia begitu tertarik, meski burung-burung kertas itu hampir keseluruhannya hanya berwarna hitam putih dengan tulisan-tulisan mesin menghiasi seluruh bagiannya.
“Aku mau semua burung-burung kertas itu,” katanya suatu saat itu.
Kedua kakak beradik itu saling menoleh, agak tidak rela karena kesemua burung kertas itu adalah hasil jerih payah keduanya.
“Aku mau kita tuker. Aku kasih roti coklat ini dan kalian kasih burung-burung itu padaku,” tawarnya pada akhirnya.
Ada binar-binar yang menunjukkan kalau sang adik tergiur oleh tawaran kawannya itu. Sang kakak memperhatikan, dia ingin membiarkan sang adik yang memberikan keputusan. Dia hanya menggeleng, menyerahkan semua jawaban, ketika sang adik menoleh berharap akan bantuan dari kakaknya.
Sang adik menatap sekardus burung kertas.
Dia sadar, keringat dan kerja keras yang harus dibayar ketika membuat burung-burung kertas tersebut. Mungkin burung-burung jelek itu tidak memiliki nominal harga yang mampu membuat mereka bertahan hidup dengan perut kenyang, namun sang adik tau, burung-burung itu yang membuat dia dan sang kakak bisa melewati hari mereka dengan menahan lapar.
Dan dia tau, betapa berharganya burung kertas tersebut.
Dia tau bahwa burung bangau itu hanya terbentuk dari lipatan kertas. Tapi dia begitu menyayangi rangkaian kertas tersebut. Dia, seorang remaja laki-laki, yang percaya bahwa aka nada keberuntungan dari burung-burung bangau buatan tangannya. Tidak peduli meski hanya terbentuk dari lipatan kertas bekas atau kertas koran yang tak terpakai, yang mungkin dibuang oleh seseorang karena sudah selesai dibaca. Dia tau burung bangaunya tidak indah, tapi dia percaya hasilnya tidak akan mengecewakan.
Dan lipatan burung bangau itu sudah berjumlah sembilan puluhan. Dengan penuh kasih sayang dia menyimpannya di dalam sebuah kardus bekas dan dia letakkan di atas lemari usang yang menjadi satu-satunya tempat penyimpanan pakaian di dalam rumahnya yang sudah bobrok. Yang dihuninya bersama seorang adik perempuannya, yang sangat berharap bisa merasakan nikmatnya sebuah roti isi coklat.
“Katanya kalau membuat seribu burung bangau permintaan bisa terkabul loh,” kata sang kakak. Anak perempuan kecil itu hanya mengangguk-angguk, paham. “Kamu harus percaya. Meski masih jauh dari seribu, kamu harus percaya kalo nanti kita bisa buat sampe seribu.”
Sang adik yang berambut pendek dan kusam, karena sering terjemur matahari namun jarang sekali dicuci, selalu menatap kakaknya yang sudah beranjak remaja itu tetapi masih dengan setia melipati setiap kertas yang dia potong-potong menjadi bentuk dadu, sehingga membentuk sebuah bentuk menyerupai burung bangau. Adiknya pun selalu menyukai setiap bentuk burung bangau yang dihasilkan oleh kakaknya.
“Aku mau bantu, Kak. Ajarin aku buat burung bangau itu.” Pinta sang adik suatu hari. Dengan sabar, kakaknya pun mengajari langkah-langkah melipat burung bangau yang sedikit sulit itu. Namun dia tak pernah mengeluh. Sesulit apa pun, dia tau adiknya pasti bisa. Dia percaya. Dan dia benar. Sang adik pun bisa melakukannya. Hingga keseratus burung bangau akhirnya terkumpul di dalam kardus.
Suatu saat, seorang dari kawan adiknya melihat keseratus burung bangau itu. Dia begitu tertarik, meski burung-burung kertas itu hampir keseluruhannya hanya berwarna hitam putih dengan tulisan-tulisan mesin menghiasi seluruh bagiannya.
“Aku mau semua burung-burung kertas itu,” katanya suatu saat itu.
Kedua kakak beradik itu saling menoleh, agak tidak rela karena kesemua burung kertas itu adalah hasil jerih payah keduanya.
“Aku mau kita tuker. Aku kasih roti coklat ini dan kalian kasih burung-burung itu padaku,” tawarnya pada akhirnya.
Ada binar-binar yang menunjukkan kalau sang adik tergiur oleh tawaran kawannya itu. Sang kakak memperhatikan, dia ingin membiarkan sang adik yang memberikan keputusan. Dia hanya menggeleng, menyerahkan semua jawaban, ketika sang adik menoleh berharap akan bantuan dari kakaknya.
Sang adik menatap sekardus burung kertas.
Dia sadar, keringat dan kerja keras yang harus dibayar ketika membuat burung-burung kertas tersebut. Mungkin burung-burung jelek itu tidak memiliki nominal harga yang mampu membuat mereka bertahan hidup dengan perut kenyang, namun sang adik tau, burung-burung itu yang membuat dia dan sang kakak bisa melewati hari mereka dengan menahan lapar.
Dan dia tau, betapa berharganya burung kertas tersebut.
Final in Eden
By: Clara
Derap langkah berat itu berdengung ke telingaku. Kulirik sebuah jam tangan kulit berwarna coklat yang kini melingkar di ujung lenganku yang kurus. Pukul lima sore, lebih sedikit. Ia terlambat datang. Lebih dari sepuluh menit yang lalu, kami berjanji bertemu di tempat ini. Di tempat berpijak yang berlapis dengan rumput kering, dedaunan yang rontok dan juga ilalang yang tumbuh di sela-sela akar pohon besar yang menudungi tempat tersebut. Eden kami. Tempat dimana kami merasa bahagia.
Ia muncul dengan raut wajah yang tidak seperti biasa. Meski dengan langkah tenang, namun matanya jelas tidak menyiratkan perasaan tersebut. Ada yang membebani pikirannya, aku tau itu. Tapi aku tidak bertanya. Aku hanya memikirkannya dalam benakku sendiri, memiringkan kepala, sebagai ganti dari pertanyaan yang ingin aku utarakan. Aku tidak berani bersuara. Ia pria tegas. Dan aku tau ia akan bicara hanya dengan menatap isyarat kecil dariku.
Ia tidak langsung duduk di sebelahku. Ia hanya menatapku. “Aku harus pergi untuk waktu yang lama. Dan aku ingin mengakhiri semuanya di sini. Hubungan kita.” Hanya itu kalimat yang meluncur dari bibir tipisnya. Matanya yang dinaungi oleh sepasang alis lebat, menatap tajam ke arahku, seolah menghakimi bahwa keputusan itu muncul atas kesalahanku.
“Kenapa?” Tidak ada kalimat lain yang terpikir. Hanya satu kata yang tidak kumengerti jawabannya itulah yang akhirnya keluar. Dan ia hanya terdiam. Tidak menjawab, tidak berekspresi, bahkan ia hanya terpaku. “Aku salah?” Akhirnya aku memilih menyerahkan diri. Kalau memang itu bisa membuatnya kembali tersenyum bersamaku di tempat itu, aku akan rela dihakimi olehnya. Meskipun aku tidak tau apa kesalahanku.
Ia menggigit bibirnya dan kemudian menghela napas. Sungguh, aku tau napas itu terdengar begitu berat. Tapi aku tidak tau, kenapa ia tidak mau membagi beban itu denganku. Selama bertahun-tahun kami tertawa bersama, tapi hanya tawa yang ia bagi. Ia tidak sudi membagi kesedihannya denganku. Dan aku merasa seperti tidak mengenalnya.
Satu bulir air mataku mengalir. Belum pernah aku menangis di hadapannya, di tempat ini. Di sinilah eden kami, tempat kami berbagi tawa dan kebahagiaan, tetapi kini rusak oleh satu air mata yang mengalir dariku. Dan juga satu rahasia darinya.
“Kita berakhir di sini. Aku tidak bisa bersama denganmu lagi.”
Aku tetap terpaku, sama seperti dirinya. Namun, aku terlalu terkejut untuk kembali membalas perkataannya. Tidak, bukan sekedar perkataannya, tetapi telah menjadi sebuah keputusannya telak. Entah kenapa, aku merasa begitu bodoh karena hanya bisa menunduk, seakan menerima semua perbuatannya yang tidak adil ini.
Aku masih menunduk, saat aku merasa bahwa ia memutar tubuhnya dan mulai melangkah lambat-lambat. Aku mengangkat kepalaku, membiarkan udara menyeka air mataku hingga kering, meski itu mustahil karena ia terus mengalir dan tidak bisa dihentikan.
“Aku…” kataku setengah berteriak. Kuperhatikan, ia menghentikan langkahnya dan memutar tubuh tingginya. Ia kembali menatapku, dengan jarak yang membentang diantara kami. “Bagiku tempat ini adalah kebahagiaanku. Aku tidak ingin kesedihan merusak kenangan tempat ini. Bisakah kau tidak mengatakan perpisahan di sini? Apa salahku sampai kau ingin meninggalkanku?” Aku tak sanggup menahan isak tangis saat mengucapkan rentetan kalimat panjang yang akhirnya mendesak keluar.
Ia terdiam sesaat. Menatapku penuh kesedihan, namun tetap tidak mengatakan apa-apa. Ia memilih diam. Dan kemudian pergi meninggalkanku sendirian, di tempat kebahagiaanku yang kini telah berubah menjadi tempat yang terasa begitu menyakitkan. Dan isakanku semakin menjadi. Tanpa sekalipun ia menoleh. Berusaha untuk menenangkanku, atau paling tidak mengatakan semua penyebab perpisahan yang begitu mendadak ini.
Aku masih mencintainya, masih tetap ingin ia menoleh ke arahku, merengkuh bahuku dan menyuruhku berdiri. Lalu mendekap erat.
Namun kenyataannya, punggung besar itu semakin mengecil. Semakin menghilang. Seiring dengan tangisku yang pecah. Semuanya berakhir di sini. Tidak ada awal di sini. Hanya akhir. Dan akhir itulah yang menutup kebahagiaan yang pernah ada. Yang pernah kupercayai akan menjadi kebahagiaan untuk selamanya.
Edenku, kini semuanya sudah berakhir.
Dan ia telah pergi, tanpa satu patah katapun.
Namun kuharap akan ada penjelasan atas semuanya.
Derap langkah berat itu berdengung ke telingaku. Kulirik sebuah jam tangan kulit berwarna coklat yang kini melingkar di ujung lenganku yang kurus. Pukul lima sore, lebih sedikit. Ia terlambat datang. Lebih dari sepuluh menit yang lalu, kami berjanji bertemu di tempat ini. Di tempat berpijak yang berlapis dengan rumput kering, dedaunan yang rontok dan juga ilalang yang tumbuh di sela-sela akar pohon besar yang menudungi tempat tersebut. Eden kami. Tempat dimana kami merasa bahagia.
Ia muncul dengan raut wajah yang tidak seperti biasa. Meski dengan langkah tenang, namun matanya jelas tidak menyiratkan perasaan tersebut. Ada yang membebani pikirannya, aku tau itu. Tapi aku tidak bertanya. Aku hanya memikirkannya dalam benakku sendiri, memiringkan kepala, sebagai ganti dari pertanyaan yang ingin aku utarakan. Aku tidak berani bersuara. Ia pria tegas. Dan aku tau ia akan bicara hanya dengan menatap isyarat kecil dariku.
Ia tidak langsung duduk di sebelahku. Ia hanya menatapku. “Aku harus pergi untuk waktu yang lama. Dan aku ingin mengakhiri semuanya di sini. Hubungan kita.” Hanya itu kalimat yang meluncur dari bibir tipisnya. Matanya yang dinaungi oleh sepasang alis lebat, menatap tajam ke arahku, seolah menghakimi bahwa keputusan itu muncul atas kesalahanku.
“Kenapa?” Tidak ada kalimat lain yang terpikir. Hanya satu kata yang tidak kumengerti jawabannya itulah yang akhirnya keluar. Dan ia hanya terdiam. Tidak menjawab, tidak berekspresi, bahkan ia hanya terpaku. “Aku salah?” Akhirnya aku memilih menyerahkan diri. Kalau memang itu bisa membuatnya kembali tersenyum bersamaku di tempat itu, aku akan rela dihakimi olehnya. Meskipun aku tidak tau apa kesalahanku.
Ia menggigit bibirnya dan kemudian menghela napas. Sungguh, aku tau napas itu terdengar begitu berat. Tapi aku tidak tau, kenapa ia tidak mau membagi beban itu denganku. Selama bertahun-tahun kami tertawa bersama, tapi hanya tawa yang ia bagi. Ia tidak sudi membagi kesedihannya denganku. Dan aku merasa seperti tidak mengenalnya.
Satu bulir air mataku mengalir. Belum pernah aku menangis di hadapannya, di tempat ini. Di sinilah eden kami, tempat kami berbagi tawa dan kebahagiaan, tetapi kini rusak oleh satu air mata yang mengalir dariku. Dan juga satu rahasia darinya.
“Kita berakhir di sini. Aku tidak bisa bersama denganmu lagi.”
Aku tetap terpaku, sama seperti dirinya. Namun, aku terlalu terkejut untuk kembali membalas perkataannya. Tidak, bukan sekedar perkataannya, tetapi telah menjadi sebuah keputusannya telak. Entah kenapa, aku merasa begitu bodoh karena hanya bisa menunduk, seakan menerima semua perbuatannya yang tidak adil ini.
Aku masih menunduk, saat aku merasa bahwa ia memutar tubuhnya dan mulai melangkah lambat-lambat. Aku mengangkat kepalaku, membiarkan udara menyeka air mataku hingga kering, meski itu mustahil karena ia terus mengalir dan tidak bisa dihentikan.
“Aku…” kataku setengah berteriak. Kuperhatikan, ia menghentikan langkahnya dan memutar tubuh tingginya. Ia kembali menatapku, dengan jarak yang membentang diantara kami. “Bagiku tempat ini adalah kebahagiaanku. Aku tidak ingin kesedihan merusak kenangan tempat ini. Bisakah kau tidak mengatakan perpisahan di sini? Apa salahku sampai kau ingin meninggalkanku?” Aku tak sanggup menahan isak tangis saat mengucapkan rentetan kalimat panjang yang akhirnya mendesak keluar.
Ia terdiam sesaat. Menatapku penuh kesedihan, namun tetap tidak mengatakan apa-apa. Ia memilih diam. Dan kemudian pergi meninggalkanku sendirian, di tempat kebahagiaanku yang kini telah berubah menjadi tempat yang terasa begitu menyakitkan. Dan isakanku semakin menjadi. Tanpa sekalipun ia menoleh. Berusaha untuk menenangkanku, atau paling tidak mengatakan semua penyebab perpisahan yang begitu mendadak ini.
Aku masih mencintainya, masih tetap ingin ia menoleh ke arahku, merengkuh bahuku dan menyuruhku berdiri. Lalu mendekap erat.
Namun kenyataannya, punggung besar itu semakin mengecil. Semakin menghilang. Seiring dengan tangisku yang pecah. Semuanya berakhir di sini. Tidak ada awal di sini. Hanya akhir. Dan akhir itulah yang menutup kebahagiaan yang pernah ada. Yang pernah kupercayai akan menjadi kebahagiaan untuk selamanya.
Edenku, kini semuanya sudah berakhir.
Dan ia telah pergi, tanpa satu patah katapun.
Namun kuharap akan ada penjelasan atas semuanya.
Satu Panah
By: Clara
Menggetarkan. Aku mendengar suara itu. Suara yang tanpa pernah ku sadari akan menjadi sebuah penghangat di masa-masa berikutnya, suara yang mengendap dalam lumbung hati ini tanpa bisa dihilangkan. Aku tau, suara itu hanya berasal dari bibir tipis seorang adam. Ya, seorang pria biasa namun memiliki pesona luar biasa. Aku tidak bisa mengelak, meskipun aku berusaha mencoba. Ia terlalu sempurna. Paling tidak di mataku, ia begitu sempurna dengan segala kekurangannya.
Bisakah aku keluar dari jeratannya?
Selalu berusaha untuk bisa menyingkirkan bayang-bayang senyum misteriusnya, tetapi aku selalu gagal. Aku tau, aku bukan berusaha dengan tindakan. Aku hanya berusaha dengan kata-kata yang hanya tertinggal sebagai pengharapan belaka.
Bagiku, dirinya layaknya sebuah rembulan yang jauh dari rengkuhan. Namun kini ia tepat di hadapanku. Berdiri tegak dengan begitu kokoh di atas kedua kaki jenjangnya, bertahan dari rasa dingin di balik tubuh kurusnya, sambil menatapku dari balik jendela matanya yang kecil. Kenapa harus menatapku seperti itu? Aku mencari-cari jawabanku di isyarat bulatan hitam indera penglihatannya itu. Kosong. Aku tidak menemukan apa-apa. Aku hanya menemukan titik keletihan dalam dirinya.
Dan tanganku, seolah tak bisa kutahan untuk bisa menyeka wajah tirusnya, seperti ingin memberikan semangat dan tenaga lain. Hanya karena aku tidak ingin melihat dirinya yang seperti itu. Aku ingin dia yang ceria dan tertawa. Atau terkadang tersenyum malu. Atau juga mungkin saja tertawa begitu lebar hingga ia merentangkan telapak tangannya menutupi barisan gigi yang rapih itu. Aku ingin dirinya yang seperti itu. Karena dengan begitu, aku bisa merasakan lagi suara menggetarkan itu.
"Aku bersama dengannya kini," ia bersuara. Suara yang ingin ku dengar, namun tidak dengan kalimat itu. Kalimat yang kali ini seperti mengiris hatiku.
Aku hanya bisa terdiam.
"Kau tidak pernah memberiku kesempatan," katanya kemudian.
Ah, sekali lagi ia bersuara. Tapi bukan itu yang ingin ku dengar. Sungguh. Adakah kata-kata lain yang tidak membuatku merasakan perih ini?
"Sorry, but if there`s a chance, i`ll change my mind," pintanya.
Aku menunduk. Aku tau aku tidak bisa memberikannya sebuah kesempatan. Meskipun aku tau, jauh di dalam diriku sangat mengharapkan kehadirannya selalu, menjadi pangeranku dan berada di sisiku. Hanya saja, ada bagian diriku yang tidak bisa ku mengerti.
Sebagian diriku itu tidak akan pernah bisa membiarkan ia menjadi pangeranku. Sebagian diriku itu hanya ingin mendengarkan liukan suara indahnya dalam tangga nada.
Sebagian diriku itu juga tidak membiarkannya untuk pergi bersama dengan seorang hawa yang ia kenal entah dimana.
Tapi aku ingin ia tetap di sini.
Membiarkan diriku hanya tetap menatap punggungnya, tanpa harus ia menoleh untuk tersenyum padaku.
Bolehkah?
Aku mencintainya, tapi aku hanya ingin memberikan perasaan ini padanya.
I just wanna love him.
but please, don`t love me.
Dan kemudian, ia masih mematung sementara aku yang terpana menatapnya. Sejenak saja, sebelum akhirnya aku memilih untuk pergi meninggalkan semua hasrat dan keegoisan diriku.
Meski masih tetap memohon, jangan cintai orang lain.
Menggetarkan. Aku mendengar suara itu. Suara yang tanpa pernah ku sadari akan menjadi sebuah penghangat di masa-masa berikutnya, suara yang mengendap dalam lumbung hati ini tanpa bisa dihilangkan. Aku tau, suara itu hanya berasal dari bibir tipis seorang adam. Ya, seorang pria biasa namun memiliki pesona luar biasa. Aku tidak bisa mengelak, meskipun aku berusaha mencoba. Ia terlalu sempurna. Paling tidak di mataku, ia begitu sempurna dengan segala kekurangannya.
Bisakah aku keluar dari jeratannya?
Selalu berusaha untuk bisa menyingkirkan bayang-bayang senyum misteriusnya, tetapi aku selalu gagal. Aku tau, aku bukan berusaha dengan tindakan. Aku hanya berusaha dengan kata-kata yang hanya tertinggal sebagai pengharapan belaka.
Bagiku, dirinya layaknya sebuah rembulan yang jauh dari rengkuhan. Namun kini ia tepat di hadapanku. Berdiri tegak dengan begitu kokoh di atas kedua kaki jenjangnya, bertahan dari rasa dingin di balik tubuh kurusnya, sambil menatapku dari balik jendela matanya yang kecil. Kenapa harus menatapku seperti itu? Aku mencari-cari jawabanku di isyarat bulatan hitam indera penglihatannya itu. Kosong. Aku tidak menemukan apa-apa. Aku hanya menemukan titik keletihan dalam dirinya.
Dan tanganku, seolah tak bisa kutahan untuk bisa menyeka wajah tirusnya, seperti ingin memberikan semangat dan tenaga lain. Hanya karena aku tidak ingin melihat dirinya yang seperti itu. Aku ingin dia yang ceria dan tertawa. Atau terkadang tersenyum malu. Atau juga mungkin saja tertawa begitu lebar hingga ia merentangkan telapak tangannya menutupi barisan gigi yang rapih itu. Aku ingin dirinya yang seperti itu. Karena dengan begitu, aku bisa merasakan lagi suara menggetarkan itu.
"Aku bersama dengannya kini," ia bersuara. Suara yang ingin ku dengar, namun tidak dengan kalimat itu. Kalimat yang kali ini seperti mengiris hatiku.
Aku hanya bisa terdiam.
"Kau tidak pernah memberiku kesempatan," katanya kemudian.
Ah, sekali lagi ia bersuara. Tapi bukan itu yang ingin ku dengar. Sungguh. Adakah kata-kata lain yang tidak membuatku merasakan perih ini?
"Sorry, but if there`s a chance, i`ll change my mind," pintanya.
Aku menunduk. Aku tau aku tidak bisa memberikannya sebuah kesempatan. Meskipun aku tau, jauh di dalam diriku sangat mengharapkan kehadirannya selalu, menjadi pangeranku dan berada di sisiku. Hanya saja, ada bagian diriku yang tidak bisa ku mengerti.
Sebagian diriku itu tidak akan pernah bisa membiarkan ia menjadi pangeranku. Sebagian diriku itu hanya ingin mendengarkan liukan suara indahnya dalam tangga nada.
Sebagian diriku itu juga tidak membiarkannya untuk pergi bersama dengan seorang hawa yang ia kenal entah dimana.
Tapi aku ingin ia tetap di sini.
Membiarkan diriku hanya tetap menatap punggungnya, tanpa harus ia menoleh untuk tersenyum padaku.
Bolehkah?
Aku mencintainya, tapi aku hanya ingin memberikan perasaan ini padanya.
I just wanna love him.
but please, don`t love me.
Dan kemudian, ia masih mematung sementara aku yang terpana menatapnya. Sejenak saja, sebelum akhirnya aku memilih untuk pergi meninggalkan semua hasrat dan keegoisan diriku.
Meski masih tetap memohon, jangan cintai orang lain.
Malaikatku Mati
By: Clara
“Aku adalah malaikatmu, sayang.” Sekali lagi, sebelum tidur, Aris mengucapkan kata-kata itu padaku. Garis wajahnya yang begitu tegas, namun tidak meninggalkan kesan manis, selalu tersenyum padaku. Tak apa jika ia tidak pernah membelaiku, tak apa jika tangannya yang besar tidak merengkuhku ke dalam dadanya yang bidang. Aku tau, kata-katanya adalah ketulusan yang tak sebanding dengan setiap gerak tubuhnya.
Dan hingga mataku terpejam, Aris masih tetap menatapku dari sisi tempat tidur. Ia suka sekali berlutut di sebelahku dan mengembangkan bibir tipisnya yang kemerahan, menungguku terlelap ke dalam alam mimpi yang tak bisa terjangkau olehnya. Meskipun ia mengaku memiliki sayap, namun sayap itu tetap tidak bisa menjangkau jauhnya alam tidurku.
“Sayang, aku selalu mencintaimu,” bisik-bisik kalimat terakhir Aris mengantarku tak sadarkan diri. Terbuai indahnya mimpi, dimana untuk kesekian kalinya aku kembali bertemu Aris. Seperti biasa, Aris mengatakan kalau ia memiliki sayap. Aku tersenyum dan percaya padanya. Aris tak pernah bohong padaku.
Namun tidak untuk hari ini.
“Kamu mau menikah denganku?” tanya Aris saat aku baru saja tersadar dari tidurku. Aris sudah berada di sebelahku. Ia selalu membuatku merasa begitu special.
Aku tersenyum.
Kemudian Aris segera beranjak, “Tunggulah disini. Bersiaplah dengan gaun terindah. Aku akan kembali dengan sekotak cincin. Aku akan melamarmu di tempat terindah di kota ini.” Setelahnya kulihat kaki panjang Aris melangkah meninggalkan kamar kostku.
Gaun sederhana berwarna ungu pastel sudah melekat di tubuhku. Kini aku menunggunya di ruang depan rumah kostku. Beberapa kawan satu kost melirik dan tersenyum ke arahku, tapi wajah mereka melukiskan sebuah kerutan di dahi masing-masing. Aku tak ambil pusing.
“Aku sedang menunggu calon suamiku,” kataku singkat yang malah membuat kedua tetangga kamarku saling berpandangan dengan kerutan di dahi yang masih menempel. Aku tidak peduli. Mereka pasti iri padaku. Aris sangat tampan dan sudah sewajarnya seorang wanita pasti akan melirik takjub melihat fisikknya yang begitu mempesona kaum hawa. Salah satunya aku.
Aris berdiri melambai di seberang jalan. Setengah lingkaran di wajahnya, tercermin begitu sempurna. Aku pun balas melambai dan tetap menanti Aris yang mendekat. Namun ternyata, Aris tidak bisa memenuhi rentetan kalimatnya tadi pagi. Sebuah mobil yang sedang melaju dengan kencang, menghantam tubuh kokoh Aris.
Aku berteriak histeris hingga setiap orang melihat ke arahku, termasuk beberapa kawan kostku. Mereka segera menghampiriku yang sudah terlebih dulu menghambur ke tubuh Aris yang bersimbah darah. Dengan tangan gemetar, kuangkat tubuh itu.
“Malaikatku...jangan mati!!” Aku histeris. Tangisku pecah di tengah jalan, bersamaan dengan bunyi klakson yang membahana. Dan juga, puluhan pasang mata yang menatapku. Aku tak tau pandangan apa itu, tapi kenapa tidak ada yang membantuku? Bahkan si penabrak pun hanya mematung berdiri beberapa langkah dari tempatku!
Padahal di pangkuanku, malaikatku mati. Bersimbah darah.
“Ris! Rissa! Sadar Ris! Yang kamu pegang itu cuma kucing!” pekik Aldo sambil mengguncang bahuku yang terbuka.
Heh! Aldo gila! Aris bukan kucing! Aris malaikatku. Ia calon suamiku dan kini ia sudah tak bernyawa. Aku tak bisa merasakan detak jantungnya lagi. Kubelai kepalanya, kuciumi wajah putih yang sudah memucat itu, dan kurengkuh ia ke dalam pelukan, hingga gaunku penuh darah.
Dan aku mendekatkan bibirku yang bergetar hebat ke telinga Aris, “Aldo, iri padamu karena aku memilihmu, Aris. Ia iri karena kamu malaikatku dan ia hanya orang biasa. Ia sinting, mengataimu kucing.” Aku berbisik begitu lirih. Kuciumi sekali lagi wajah Aris yang sudah pucat, dengan perasaan kalut yang luar biasa. Aku sungguh takut. Aku sedih. Aku seperti kehilangan penopangku.
***
Aldo duduk di hadapanku yang kini seperti tubuh tak berjiwa. Ia tampak begitu serius. Apa dia sudah memenuhi janjinya untuk merawat makam Aris?
“Rissa,” suara Aldo tertahan. Ia tidak berani menatap mataku yang menggantikan isi hatiku, menuduhnya sinting. “Dokter sudah memberitahuku. Ternyata…” Aldo berhenti sejenak. Suaranya agak serak. “Kamu penderita schizophrenic. Dan kamu harus tetap berada di sini, sampai kamu bisa sadar bahwa kamu hidup dalam dunia nyata, bukan dunia khayalan dalam pikiranmu.”
Kemudian kulihat pipi Aldo basah. Aku mengerutkan kening, sama sekali tidak mengerti apa yang pria itu katakan. Scizo…apa? Aku normal. Kalian saja yang menjebloskanku ke dalam penjara aneh ini. Namun, aku memilih bergeming. Aku malas berdebat. Aku masih berduka, karena malaikatku telah mati.
Di hadapanku.
Meski kata mereka, malaikatku adalah kucing.
Aku tak peduli, karena aku percaya, Aris-ku adalah malaikatku. Dan aku sangat mencintainya.
“Aku adalah malaikatmu, sayang.” Sekali lagi, sebelum tidur, Aris mengucapkan kata-kata itu padaku. Garis wajahnya yang begitu tegas, namun tidak meninggalkan kesan manis, selalu tersenyum padaku. Tak apa jika ia tidak pernah membelaiku, tak apa jika tangannya yang besar tidak merengkuhku ke dalam dadanya yang bidang. Aku tau, kata-katanya adalah ketulusan yang tak sebanding dengan setiap gerak tubuhnya.
Dan hingga mataku terpejam, Aris masih tetap menatapku dari sisi tempat tidur. Ia suka sekali berlutut di sebelahku dan mengembangkan bibir tipisnya yang kemerahan, menungguku terlelap ke dalam alam mimpi yang tak bisa terjangkau olehnya. Meskipun ia mengaku memiliki sayap, namun sayap itu tetap tidak bisa menjangkau jauhnya alam tidurku.
“Sayang, aku selalu mencintaimu,” bisik-bisik kalimat terakhir Aris mengantarku tak sadarkan diri. Terbuai indahnya mimpi, dimana untuk kesekian kalinya aku kembali bertemu Aris. Seperti biasa, Aris mengatakan kalau ia memiliki sayap. Aku tersenyum dan percaya padanya. Aris tak pernah bohong padaku.
Namun tidak untuk hari ini.
“Kamu mau menikah denganku?” tanya Aris saat aku baru saja tersadar dari tidurku. Aris sudah berada di sebelahku. Ia selalu membuatku merasa begitu special.
Aku tersenyum.
Kemudian Aris segera beranjak, “Tunggulah disini. Bersiaplah dengan gaun terindah. Aku akan kembali dengan sekotak cincin. Aku akan melamarmu di tempat terindah di kota ini.” Setelahnya kulihat kaki panjang Aris melangkah meninggalkan kamar kostku.
Gaun sederhana berwarna ungu pastel sudah melekat di tubuhku. Kini aku menunggunya di ruang depan rumah kostku. Beberapa kawan satu kost melirik dan tersenyum ke arahku, tapi wajah mereka melukiskan sebuah kerutan di dahi masing-masing. Aku tak ambil pusing.
“Aku sedang menunggu calon suamiku,” kataku singkat yang malah membuat kedua tetangga kamarku saling berpandangan dengan kerutan di dahi yang masih menempel. Aku tidak peduli. Mereka pasti iri padaku. Aris sangat tampan dan sudah sewajarnya seorang wanita pasti akan melirik takjub melihat fisikknya yang begitu mempesona kaum hawa. Salah satunya aku.
Aris berdiri melambai di seberang jalan. Setengah lingkaran di wajahnya, tercermin begitu sempurna. Aku pun balas melambai dan tetap menanti Aris yang mendekat. Namun ternyata, Aris tidak bisa memenuhi rentetan kalimatnya tadi pagi. Sebuah mobil yang sedang melaju dengan kencang, menghantam tubuh kokoh Aris.
Aku berteriak histeris hingga setiap orang melihat ke arahku, termasuk beberapa kawan kostku. Mereka segera menghampiriku yang sudah terlebih dulu menghambur ke tubuh Aris yang bersimbah darah. Dengan tangan gemetar, kuangkat tubuh itu.
“Malaikatku...jangan mati!!” Aku histeris. Tangisku pecah di tengah jalan, bersamaan dengan bunyi klakson yang membahana. Dan juga, puluhan pasang mata yang menatapku. Aku tak tau pandangan apa itu, tapi kenapa tidak ada yang membantuku? Bahkan si penabrak pun hanya mematung berdiri beberapa langkah dari tempatku!
Padahal di pangkuanku, malaikatku mati. Bersimbah darah.
“Ris! Rissa! Sadar Ris! Yang kamu pegang itu cuma kucing!” pekik Aldo sambil mengguncang bahuku yang terbuka.
Heh! Aldo gila! Aris bukan kucing! Aris malaikatku. Ia calon suamiku dan kini ia sudah tak bernyawa. Aku tak bisa merasakan detak jantungnya lagi. Kubelai kepalanya, kuciumi wajah putih yang sudah memucat itu, dan kurengkuh ia ke dalam pelukan, hingga gaunku penuh darah.
Dan aku mendekatkan bibirku yang bergetar hebat ke telinga Aris, “Aldo, iri padamu karena aku memilihmu, Aris. Ia iri karena kamu malaikatku dan ia hanya orang biasa. Ia sinting, mengataimu kucing.” Aku berbisik begitu lirih. Kuciumi sekali lagi wajah Aris yang sudah pucat, dengan perasaan kalut yang luar biasa. Aku sungguh takut. Aku sedih. Aku seperti kehilangan penopangku.
***
Aldo duduk di hadapanku yang kini seperti tubuh tak berjiwa. Ia tampak begitu serius. Apa dia sudah memenuhi janjinya untuk merawat makam Aris?
“Rissa,” suara Aldo tertahan. Ia tidak berani menatap mataku yang menggantikan isi hatiku, menuduhnya sinting. “Dokter sudah memberitahuku. Ternyata…” Aldo berhenti sejenak. Suaranya agak serak. “Kamu penderita schizophrenic. Dan kamu harus tetap berada di sini, sampai kamu bisa sadar bahwa kamu hidup dalam dunia nyata, bukan dunia khayalan dalam pikiranmu.”
Kemudian kulihat pipi Aldo basah. Aku mengerutkan kening, sama sekali tidak mengerti apa yang pria itu katakan. Scizo…apa? Aku normal. Kalian saja yang menjebloskanku ke dalam penjara aneh ini. Namun, aku memilih bergeming. Aku malas berdebat. Aku masih berduka, karena malaikatku telah mati.
Di hadapanku.
Meski kata mereka, malaikatku adalah kucing.
Aku tak peduli, karena aku percaya, Aris-ku adalah malaikatku. Dan aku sangat mencintainya.
Subscribe to:
Posts (Atom)