By : Clara
Dia tau bahwa burung bangau itu hanya terbentuk dari lipatan kertas. Tapi dia begitu menyayangi rangkaian kertas tersebut. Dia, seorang remaja laki-laki, yang percaya bahwa aka nada keberuntungan dari burung-burung bangau buatan tangannya. Tidak peduli meski hanya terbentuk dari lipatan kertas bekas atau kertas koran yang tak terpakai, yang mungkin dibuang oleh seseorang karena sudah selesai dibaca. Dia tau burung bangaunya tidak indah, tapi dia percaya hasilnya tidak akan mengecewakan.
Dan lipatan burung bangau itu sudah berjumlah sembilan puluhan. Dengan penuh kasih sayang dia menyimpannya di dalam sebuah kardus bekas dan dia letakkan di atas lemari usang yang menjadi satu-satunya tempat penyimpanan pakaian di dalam rumahnya yang sudah bobrok. Yang dihuninya bersama seorang adik perempuannya, yang sangat berharap bisa merasakan nikmatnya sebuah roti isi coklat.
“Katanya kalau membuat seribu burung bangau permintaan bisa terkabul loh,” kata sang kakak. Anak perempuan kecil itu hanya mengangguk-angguk, paham. “Kamu harus percaya. Meski masih jauh dari seribu, kamu harus percaya kalo nanti kita bisa buat sampe seribu.”
Sang adik yang berambut pendek dan kusam, karena sering terjemur matahari namun jarang sekali dicuci, selalu menatap kakaknya yang sudah beranjak remaja itu tetapi masih dengan setia melipati setiap kertas yang dia potong-potong menjadi bentuk dadu, sehingga membentuk sebuah bentuk menyerupai burung bangau. Adiknya pun selalu menyukai setiap bentuk burung bangau yang dihasilkan oleh kakaknya.
“Aku mau bantu, Kak. Ajarin aku buat burung bangau itu.” Pinta sang adik suatu hari. Dengan sabar, kakaknya pun mengajari langkah-langkah melipat burung bangau yang sedikit sulit itu. Namun dia tak pernah mengeluh. Sesulit apa pun, dia tau adiknya pasti bisa. Dia percaya. Dan dia benar. Sang adik pun bisa melakukannya. Hingga keseratus burung bangau akhirnya terkumpul di dalam kardus.
Suatu saat, seorang dari kawan adiknya melihat keseratus burung bangau itu. Dia begitu tertarik, meski burung-burung kertas itu hampir keseluruhannya hanya berwarna hitam putih dengan tulisan-tulisan mesin menghiasi seluruh bagiannya.
“Aku mau semua burung-burung kertas itu,” katanya suatu saat itu.
Kedua kakak beradik itu saling menoleh, agak tidak rela karena kesemua burung kertas itu adalah hasil jerih payah keduanya.
“Aku mau kita tuker. Aku kasih roti coklat ini dan kalian kasih burung-burung itu padaku,” tawarnya pada akhirnya.
Ada binar-binar yang menunjukkan kalau sang adik tergiur oleh tawaran kawannya itu. Sang kakak memperhatikan, dia ingin membiarkan sang adik yang memberikan keputusan. Dia hanya menggeleng, menyerahkan semua jawaban, ketika sang adik menoleh berharap akan bantuan dari kakaknya.
Sang adik menatap sekardus burung kertas.
Dia sadar, keringat dan kerja keras yang harus dibayar ketika membuat burung-burung kertas tersebut. Mungkin burung-burung jelek itu tidak memiliki nominal harga yang mampu membuat mereka bertahan hidup dengan perut kenyang, namun sang adik tau, burung-burung itu yang membuat dia dan sang kakak bisa melewati hari mereka dengan menahan lapar.
Dan dia tau, betapa berharganya burung kertas tersebut.
keren,, cerpennya...
ReplyDelete