Thursday, January 10, 2013
AMIRA
Sabtu sore.
Hujan dan kemacetan Jakarta, menjadi pasangan serasi yang membangkitkan geliat malas dalam dada saya. Seluruh otot rasanya berat untuk bergerak, tapi denyut di otak menyampaikan pesan ke jemari saya untuk meraih ponsel yang berada di meja nakas—sebelah tempat tidur. Dari sana, kepala saya dipaksa untuk ingat pada janji yang sudah saya buat untuk seseorang. Teman saya. Teman baik saya selama masih berseragam abu-abu.
Namanya Amira.
Kami selalu bersama untuk menghabiskan istirahat dengan jajan di kantin, lalu bergosip di tangga menuju ruang aula, mengambil waktu senggang pergantian pelajaran untuk melempar canda tak penting, atau bahkan bertukar catatan. Di saat gundah, kami tak segan-segan untuk saling berbagi, baik tangis juga cerita.
Saya tidak tahu apa yang bisa membuat kami menempel selama berjam-jam. Saya tidak tahu jembatan apa yang terbangun di antara kami untuk membuat pembicaraan terasa menggebu-gebu. Padahal saya menyukai L’arc-en-Ciel, dia menyukai White Shoes and The Couple’s Company. Saya butuh lima menit untuk berkaca, dia perlu setengah jam untuk merapihkan diri. Saya memilih mendengar, dia tidak bisa dihentikan saat sedang bicara.
Tiga tahun serasa tiga hari. Tiga tahun berguling secepat badai menyapu. Kami pun lulus. Kami masuk ke Universitas yang berbeda. Saya tahu, minat dan bidang kami memang berseberangan.
Ahhh, kenangan itu telah merenggut setengah jam saya berada lebih lama di bawah selimut.
Saya melihat jam di ponsel. Kalau lima menit lagi saya belum juga mandi, saya yakin akan terlambat dari janji yang sudah kami sepakati. Maka dengan garang, saya melempar selimut. Dingin air conditioner bercampur udara hujan, berlomba menggigit kulit saya. Saya menggigil—sedikit. Tapi, kaki ini saya gerakkan lebih cepat menuju kamar mandi. Hanya bermodal handuk. Lalu, saya melesat ke dalam kamar mandi. Dengan secepat kilat, saya basuh tubuh ini. Seketika hangat menjalar. Sehangat kenangan manis masa SMA yang tidak bisa dikembalikan lagi.
Ya, sehangat persahabatan kami waktu itu.
Ya, kan, Amira?
Saya mengetuk-ngetuk high heels ke kaki meja—tak sabar. Berkali-kali kepala saya menoleh ke jendela. Tapi, Amira masih tak terlihat batang hidungnya. Tak sabar, saya mengambil ponsel dan mencari nomornya.
Saya menelepon.
“Kamu dimana, Mira?” tanya saya segera.
“Aku di rumah, Ka. Kenapa dengan suaramu?” Amira bertanya polos di sana.
Dada saya bergelombang.
“Loh, kamu lupa dengan janji kita untuk menghabiskan akhir pekan ini di cafe? Cafe baru yang waktu itu aku tawarkan padamu.” Tak pakai tedeng aling-aling, saya langsung melempar bola.
Amira terdiam sejenak. Saya seperti mendengar suara napas tertahan.
“Aku lupa! Astaga Erika. Aku benar-benar lupa. Padahal kemarin aku sudah mencatatnya di papan jadwal supaya aku tidak melewatkan hari ini.” Amira seperti ditimpa dosa besar yang dia sesali. “Aku minta maaf. Apa kamu sudah di cafe itu?”
“Ya. Sejak satu jam yang lalu.” Entah kenapa suaraku berubah sinis. Tanpa aku sadari.
“Erika, aku sungguh minta maaf. Aduh, aku harus bagaimana...?”
Saya mendesah. “Kamu tetap tidak mau ke sini?”
“Aduh..., maaf. Maaf sekali. Aku tidak bisa. Aku membuat janji lain karena aku pikir tidak ada janji apa pun untuk hari ini.” Suara Amira memelas. Saya kesulitan menelaahnya. Apakah dia jujur? Ataukah dia hanya mencari cara untuk membuat saya memaafkannya? Saya kecewa. Terlebih pada diri saya. Hal ini membuat saya tiba-tiba menjadi curiga pada sahabat sendiri.
Saya menelan ludah. “Baiklah. Tak apa. Kalau begitu aku pulang saja.”
“Erika,” Amira mencegat saya memutus telepon. “Aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku..., aduh..., bagaimana kalau aku ganti harinya? Bagaimana dengan..., ngng, besok? Kali ini aku janji, aku tidak akan lupa. Aku akan segera mencatatnya sepulang dari sini.”
Amira terdengar begitu memohon. Saya tak tahu harus bagaimana bersikap. Karena, jujur saja, hati saya meragukan ketulusan permintaan maaf darinya. Amira terlalu banyak mengobral janji. Janji dalam waktu, juga janji untuk bertemu. Ah, saya sendiri menjadi benci pada diri saya. Kenapa harus meragukan sahabat baik saya?
“Baiklah. Besok, ya? Kita cari tempat lain? Tempat yang lebih dekat dengan lokasimu, bagaimana?” Saya mengusulkan dengan suara yang disetel seolah saya sudah memaafkannya.
“Ada cafe Lovely. Aku pernah ke sana satu kali. Tempatnya nyaman. Kamu mau coba?”
“Ok.” Saya memang tidak ada masalah dengan mencoba sebuah cafe yang baru.
“Ok. Deal. Aku akan ingat baik-baik, Ka.”
Saya tak berani banyak bicara. Saya hanya memegang kata-kata yang meluncur melalui sambungan telepon itu. Kata-kata yang diucapkan oleh Amira. Kata-kata, yang ternyata untuk kesekian kali hanya menjadi tong kosong belaka. Karena keesokannya pun, Amira berkelakuan yang sama. Dan, beralasan yang sama.
Dia lupa.
Enam bulan pun berganti. Tanpa saya tunggu. Saya tidak menghubunginya lagi.
Saya percaya, jika saya berarti untuknya, Amira tidak akan segan-segan menghubungi saya.
Kenyataannya, justru pedih. Tak satu kali pun Amira menghubungi saya.
Tiga bulan berikutnya, Bram, kekasih Amira, menghubungi saya. Dia tahu saya adalah sahabat Amira. Saya pernah bertemu dengannya hanya dua kali. Amira mengenalkan Bram pada saya waktu itu. Memang tak ada angin, tak ada hujan. Saya sama sekali tidak punya ide kenapa Bram mengajak saya bertemu. Dan, cukup mengejutkan, ternyata dia datang sendiri ke cafe yang saya usulkan padanya.
“Saya kaget,” ujar saya membuka permulaan.
Sore itu Bram terlihat rapih. Dia mengenakan kemeja dan celana pipa. Tapi, penampilannya menipu. Matanya tidak serapih penampilannya. Mata Bram, menyimpan gumpalan asap kelabu.
“Saya juga kaget karena tiba-tiba terpikir untuk menghubungimu.” Bram bersuara agak serak. Nadanya sendu. Tidak seperti awal-awal ketika saya dan dia bertemu.
“Ada apa? Kelihatannya penting?”
Saya berusaha menyelidik. Saya masih tak punya firasat apa pun.
Alih-alih bicara, Bram mengeluarkan sesuatu dari tas ransel yang memang terlihat begitu besar untuk ukuran orang yang hanya bekerja sebagai karyawan biasa. Ternyata tas itu menyimpan sebuah pigura. Bram menidurkan pigura itu di depan meja sehingga saya bisa melihat dengan jelas.
Saya tertegun. Foto-foto itu bukan foto sembarangan. Foto itu membingkai wajah dan senyum saya bersama Amira. Kala SMA.
Ada tulisan kecil di bagian bawah setiap foto. Namun, yang paling mencolok hanya satu. Sebaris kalimat besar : ERIKA ADALAH SAHABAT AMIRA. Kalimat itu hanya kalimat biasa. Kalimat itu, tampak tidak begitu spesial. Tapi, entah kenapa mata saya tidak bisa lepas dari sana.
“Saya mewakili Amira, ingin minta maaf sama kamu. Amira tidak pernah bermaksud mencampakkan kamu. Karena itu saya berharap, kamu tidak akan berpikiran sesempit itu.” Bram menatap saya, lirih. Saya makin mengernyitkan kening—makin bingung.
“Saya tidak mengerti. Ya..., saya akui, saya kecewa pada sikap Amira..., tapi serius saya tidak mengerti dengan kata-katamu.” Tiba-tiba saya merinding. Sesuatu seperti mengelus tengkuk saya. “Apa terjadi sesuatu pada Amira?” Suara saya mengecil. Nyaris mencicit. Saya tidak ingin mendengar berita buruk. Tidak. Amira pasti masih berada di satu tempat, pasti masih tertawa-tawa gembira, sesuai dengan karakternya yang tidak pernah enggan untuk bercerita.
Bram diam. Saya mulai dicengkeram ketakutan.
“Amira..., masih hidup, kan?” Pertanyaan tolol itu membuat kepala Bram terangkat Matanya menatap tajam ke mata saya. Seketika itu saya tahu, Amira masih hidup.
Saya bernapas lega.
“Tapi, dia..., sakit. Dia berusaha keras melawan penyakitnya. Segala cara dia lakukan, tapi dia tetap tidak berdaya. Dia tidak bisa melawan penyakit yang menggerogoti dirinya.” Bram berhenti bercerita. Suaranya semakin serak. Dan, saya yakin itu bukan karena alamiah, melainkan karena dia menahan air mata sekuat tenaga.
Saya beranikan diri buka mulut. “Sakit apa...?”
“Maafkan dia, Erika. Maafkan Amira karena bagaimana pun dia berusaha mengingat kenangan diantara kalian, Amira tetap tidak mampu. Secara perlahan, kenangan itu akan terhapus dari ingatannya. Semua karena penyakit itu.”
Mulut saya bergerak-gerak tanpa suara.
“Alzheimer.” Bram yang menggantikan saya menyebut dengan vokal yang jelas untuk nama penyakit yang sudah menjadi pengetahuan umum bagi saya. “Amira terkena penyakit itu. Bukan hanya kamu. Saat ini, dia pun sudah mulai melupakan saya. Melupakan kenangan di antara saya dan dirinya. Saya..., saya..., tak menemukan cara lain selain membantunya mengingat kembali kenangan yang dia punya.”
Bram tampak putus asa. Tangannya mengepal di atas meja. Saya sendiri syok.
Saya tatap pigura itu—lirih. “Apa kamu yang membuatnya?”
“Bukan.” Kepala Bram naik lagi. “Foto-foto itu Amira sendiri yang membuatnya. Ketika dia ingat, dia buru-buru menempel foto itu di pigura. Ketika dia tidak ingat, dia akan memandangi pigura itu selama berjam-jam. Saya bahkan melihat sendiri bagaimana putus asanya Amira ketika dia berusaha mengingat apa yang terjadi diantara kalian, sementara dirinya tidak mampu mengingat sejauh itu saat penyakitnya menyerang.”
Tubuh saya bergetar tanpa bisa saya kendalikan.
Seketika itu juga air mata saya jatuh.
“Saya mau ketemu Amira...,” suara saya berubah menjadi bisikkan.
Keinginan saya terkabul. Akhirnya hari ini tidak ada lagi alasan-alasan yang membentengkan pertemuan kami. Tidak soal kerjaan, tidak karena lupa. Saya yang mendatangi Amira. Di rumahnya.
Betapa saya merindukan sahabat saya itu.
Amira memandang saya. Rasanya, kami dua sahabat yang akhirnya terjebak dalam reuni. Kami saling tatap. Saya menatap penuh kangen. Amira menatap dengan bingung.
Dan, ketika saya menyebut namanya, dia hanya membalas singkat.
“Kamu siapa?”
Saat itu juga, saya ingin terbang bersama waktu, kembali ke masa lalu.
Jakarta, di sebuah Rumah Sakit. 2012.
@kura_jjang
kaniza_16@yahoo.co.id
Subscribe to:
Posts (Atom)