Monday, November 30, 2009
S.I.G.N
Kata orang kematian itu indah. Benarkah?
Bagaimana kalau justru berada diantara kematian dan kehidupan?
Aku lelah. Sungguh.
Seluruh tenagaku telah larut bersama emosi yang telah kuluapkan. Habis. Puas? Tidak. Aku belum puas. Aku masih mencari apakah masih ada saksi bisu yang mengawasiku dengan tatapan mereka yang dingin, yang bisa kuhancurkan, untuk mengakhiri amarahku yang tersisa? Satu per satu mataku menjelajah ke seluruh ruangan bernuansa serba putih ini, dengan tatapan nanar. Semua terlihat porak poranda, tanpa menyisakan satu pun keutuhan.
Tolong…
Suara lolonganku yang seperti anjing kesakitan, tetap hanya tertinggal sebagai suara rintihan yang tidak akan didengar oleh siapapun. Suaraku hanya memunculkan gelembung-gelembung yang bisa didengar oleh mahluk bersirip di dunia yang berbeda denganku. Bahkan suaraku tidak bisa merambat sampai ke ujung ponsel yang tergeletak lesu, beberapa meter dari gapaianku.
Aku mengirimkan sinyal-sinyal hampa.
Tapi bisakah kau merasakan sinyal dariku?
Tolong…
Aku kesakitan. Aku menderita. Aku ingin bernafas.
Dan aku berpacu dengan waktu, menuju kematiankukah? Atau sekali lagi aku harus kembali pada semua kenyataan pahit yang menimpaku?
Kau duduk di sebuah bangku, dengan kaki yang menyilang begitu angkuhnya, serta pandanganmu yang merendahkanku, seolah aku ini adalah perempuan berpenyakit kusta yang harus kau hindari. Bibirmu yang menyunggingkan senyum sinis. Senyum yang tajam dan menggores hatiku. Kau diam seribu bahasa hanya untuk menghakimiku dengan tatapan membunuhmu.
Kau mencampakkanku!
Hanya untuknya. Demi dia.
Haruskah aku memohon seperti budak yang membutuhkan makanan di kala sang majikan tidak memberinya makan?
Haruskah aku mencium ujung kakimu hanya supaya kau tidak berpaling padanya?
Kau berbahagia di atas penderitaanku.
Kau menginjak seluruh tubuhku hingga kesakitan dengan sikapmu.
Kau menganggapku hanya, ya, seperti perempuan hina yang kotor yang telah berbusuk badannya.
Lihatlah siapa yang lebih kotor?
Aku yang perempuan hina ini, yang mencintaimu secara tulus, ataukah dia, yang seorang laki-laki yang mencintaimu karena kamu juga sakit?
Dan sungguhkah? Kau akan mengusirku seperti anjing betina liar yang bulunya rusak tapi sudah mengabdi bertahun-tahun, hanya demi dia, anjing jantan yang melenggok dengan bulunya yang berkilau?
Pergilah…
Setelah kau puas dengan membuat luka di hatiku.
Setelah lebam di tubuh ini juga kau tinggalkan sebagai kenangan atas kekejian sikapmu yang seperti binatang.
Setelah sesuatu yang paling berharga dari dalam diriku kau rampas penuh nafsu bejat dan liar.
Tik … tok … tik … tok …
Aku masih berpacu dengan waktu. Tanganku semakin terkulai, juga semakin dingin seakan-akan ada yang memberikan es batu ke dalam tempatku berendam. Mataku masih terbuka sedikit, bersama dengan harapan itu. Aku ingin kau mendengar sinyal dariku. Aku ingin kau berada di sini sekarang. Apakah ponselku tak cukup mengirimkan sinyal-sinyal itu?
Aku lelah. Sungguh.
Aku ingin memejamkan mata.
Aku membiarkan darah menetes perlahan, membuat nada indah yang merambat pelan ke telingaku, dari pergelangan tangan ini.
Tolong…
Apakah kau tidak mendengat sinyal-sinyal dariku?
Tik. … tok … tik … tok …
Note: Percikan kisah ini ditulis karena terinspirasi oleh lagu SIGN by Brown Eyed Girls dan sama sekali tidak ingin menyinggung siapapun
Just enjoy ^^
Thursday, November 26, 2009
Harum yang Abadi
Uhhh, rasanya badanku kaku. Aku sama sekali tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Aku ingin tetap berada di balik selimut. Aku malas pergi ke sekolah. Lagipula, hujan kali ini, entah kenapa terasa begitu memilukan. Aku tidak suka. Sepertinya dia sedang menangisi seseorang. Siapa hujan? Siapa yang kau tangisi sampai terasa begitu pilu?
Bunda membuka pintu kamarku.
Dengan tegasnya, beliau segera menyuruhku berangkat sekolah. Buatnya, tidak boleh ada kata membolos. Apapun alasannya. Termasuk waktu aku demam.
"Ah, cuma demam 37 derajat saja. Kamu juga masih bisa bergerak, kan? Sebaiknya sekolah. Jangan sia-siakan ilmu." Begitulah kata Bunda. Intinya dia paling anti dengan sesuatu yang menyebabkan aku tidak berangkat ke sekolah. Kadang aku merasa keterlaluan, kadang aku merasa Bunda benar. "Karena setiap harinya akan ada ilmu yang bisa berguna untuk hidupmu kelak. Kalau kamu membolos, kamu melewatkan satu kesempatan emas." Itulah alasan Bunda.
Aku pun segera teringat dengan seorang guruku. Beliau sudah memasuki usia lanjut, tapi aku suka sekali cara mengajarnya yang sabar dan terlihat selalu tulus mendidik setiap muridnya untuk bisa menguasai materi Bahasa Indonesia yang begitu dicintainya. Oh, guruku. Hanya untukmulah, akhirnya aku menanggalkan selimut ini dan bertarung dengan udara dingin yang menggerogoti kulitku perlahan-lahan.
Akhirnya aku pun bergegas bersiap-siap dan ternyata Bunda sudah merapihkan semua kebutuhanku pagi itu. Mulai dari sarapan hingga payung yang harus kugunakan untuk menempuh jarak ke sekolah yang selalu kulewati dengan berjalan kaki.
Perjalanan dari rumah menuju sekolahku tidak terlalu jauh. Hanya cukup menempuh beberapa meter melalui jalan tembus, pematangan sawah. Tapi aku selalu suka dengan suasananya. Saat banyak bapak Tani mulai sibuk dengan pekerjaannya menanam pagi. Biasanya aku menyapa mereka. Hanya saja kali ini hujan menghentikan semua kegiatan rutin yang aku lihat itu.
Gedung sekolahku sudah mulai kelihatan!
Akhirnya, aku bisa bebas dari jalanan becek yang membuat kakiku kotor. Untung aku mengikuti saran Bunda untuk mengenakan sandal alih-alih sepatu hitam butut yang biasanya selalu menjadi pasangan setia dari seragam putih merahku. Sampai di kelas, aku merapihkan sandalku dan segera memakai sepatu itu. Hingga tak berapa lama bel berbunyi. Ahhh, aku sudah tidak sabar bertemu dengan guruku. Pak Harum namanya. Ya, namanya memang benar-benar harum karena beliau selalu menebar serbuk kebajikannya. Tanpa pernah sekalipun mengharapkan ada balasan.
Lalu, hari ini, Pak Harum akan mengajarkan apa ya?
Mungkin tentang bagaimana membuat kalimat yang baik? Atau adakah pelajaran mengarang lagi dari beliau? Aku selalu rindu dengan pelajaran mengarangnya.
Suatu ketika, aku mendapat pujian dari beliau, karena katanya tulisanku membuatnya tersentuh. Aku yang hanya seorang anak kecil, pastinya merasa bangga mendapat pujian seperti itu. Padahal aku menyusun kata-kata dengan kacau. Dan hanya bercerita apa adanya tentang Ayahku yang meninggal di perantauan negri orang. Namun, rupanya Pak Harum menyukainya.
Seorang guru tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas.
AKu langsung mendesah. Bukan Pak Harum. Apa karena beliau terlalu tua untuk menembus hujan yang cukup deras mengguyur pagi itu?
Guru itu berdiri di depan kelas. Dengan wajahnya yang tampak lelah.
"Anak-anak, Pak Harum baru saja meninggal. Subuh tadi."
Kabar itu seperti petir di siang bolong! Aku langsung shock!
Pak Harum, guru kesayanganku yang selalu memiliki dedikasi yang tinggi untuk sekolah bobrok ini beserta seluruh anak muridnya yang senantiasa berharap bisa menjadi lebih pintar dari waktu ke waktu. Pak Harum tidak pernah mengeluh baik panas terik membakar kulitnya atau pun hujan deras mengguyur tanah. Ya. Dia melewati semua rintangan itu hanya untuk memberitau pada kami mengenai apa arti dari kemerdekaan.
Kini guru dengan tawa khas yang hangat itu telah tiada.
Selamat jalan Pak Harum.
Namamu terlalu berharga untuk dicampakkan begitu saja.
Selamat jalan guruku sayang.
Jasamu akan selalu membekas di hatiku. Dan ilmu yang telah kau berikan, akan selalu kupakai di kehidupanku.
Sampai sekarang. Ketika kesuksesanku sebagai seorang sastrawati telah mendampingiku.
Pak Harum adalah penanam benih dari semua ini.
Note: Selamat Hari Guru
kisah tak seberapa ini dihadiahkan untuk kawan-kawan dan mungkin juga blogger yang berprofesi sebagai guru
Saturday, November 21, 2009
Hadiah Dari Sang Guru
Pandangannya menoleh ketika enam belas orang siswa, masuk ke dalam kelas. Dia masih mengukir senyum itu, dan melontarkannya kepada para siswa. Tidak ada yang tidak membalas senyum itu. Mereka tau, laki-laki yang sedang duduk itu adalah guru sekaligus sahabat yang tidak akan bisa digantikan dengan apapun. Terlalu berharga, lebih dari apapun.
"Hari ini ladang saya panen," guru itu memulai percakapan kepada enam belas siswa ini. "Karena itu," dia merogoh kolong mejanya dan mengeluarkan sekeranjang apel merah yang begitu ranum. "Sebagai lambang persahabatan yang tak lekang oleh waktu dan tak terbatas hanya karena profesi, saya ingin membagi apel yang saya petik sendiri ini untuk kalian."
Dengan perasaan penuh haru sekaligus bangga yang membuncah, satu per satu siswanya mulai maju dan menerima apel itu. Apel istimewa yang diberikan oleh orang yang memiliki jasa begitu besar dalam memberantas kebodohan.
---
Sebagai salah satu dari siswa itu, saya juga mau memamerkan 'apel ranum' yang diberikan oleh guru bernama Bang Munir.
Terima kasih untuk award terhadap blog cerpen ini ^^
semoga dengan award yang diberikan, bisa membuat saya tetap berkarya dalam membuahkan imajinasi-imajinasi lainnya yang masih tertinggal di dalam kepala
Sunday, November 15, 2009
One Shoot!
“Satu misi terakhirmu.”
Rahang laki-laki itu menegang. Kini, seluruh isi bola matanya hanya terpusat pada perempuan itu. Ia mengangguk, menurut perintah si perempuan.
Sejenak suasana menegang. Angin malam yang bertiup tiada ampun, membuat suasana semakin terasa seperti es. Beku. Juga dingin. Tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu diantara mereka harus menjadi penghangat ditengah-tengah. Seolah-olah, sekat kebencian telah menjadi jendela bagi keduanya untuk berhadapan. Padahal hati mereka berkata sebaliknya.
Si laki-laki mempererat pegangan senjata apinya yang berada di samping pahanya yang kokoh menopangnya berdiri. Ia siap dengan misi apa pun yang diperintahkan si perempuan!
Diluar perkiraan si laki-laki, alih-alih memberi perintah perempuan berlapis tank top hitam itu melangkah maju, mendekatinya. Dengan tatapan yang masih sama. Menghujam! Tapi tunggu…mata itu berkata sebaliknya!
Perempuan itu berjinjit sedikit saat sudah berada di dekat si laki-laki. Bibirnya di dekatkan pada telinga laki-laki itu, dan suaranya mendesisi membisikkan perintah yang harus dilakukan. Tidak boleh dilanggar, atau ditawar. Misi ini adalah pekerjaannya. Membunuh adalah tugasnya.
“Kill yourself,” desisnya. Tajam. Penuh kebencian. Sinis.
Hembusan nafas perempuan itu membuat bulu kuduk si laki-laki merinding. Bukan hanya pada nafasnya yang begitu dekat dengan tengkuknya, tapi juga karena perintah itu…begitu sulit!
Laki-laki itu menelan ludah.
“Kenapa?”
“Karena kau mencintaiku.”
Perempuan itu menyeringai. Bahkan kau sudah membunuhku dengan tatapanmu! Batin laki-laki itu memberontak.
“Ini misimu.” Perempuan itu mundur beberapa langkah dan berkata dengan suara yang lebih lantang, namun dalam. “Kau perlu membuktikan loyalitasmu pada Ayahku. Bukankah kau sudah terbiasa membunuh orang?”
Mendadak laki-laki itu diliputi ketakutan. Membunuh orang tidak sama dengan membunuh diri sendiri. Bahkan adrenalinnya pun berbeda. Laki-laki itu tertawa dalam kegetirannya. Haruskah ia melepaskan perempuan itu dengan cara yang seperti ini?
Perempuan itu menatap si laki-laki semakin jauh lebih dalam. Seakan bisa menghipnotisnya.
Angin semakin berhembus kencang. Menggoyangkan rumput-rumput setinggi betis yang tumbuh liar di sana, membuat suara-suara gesekan halus. Bersamaan dengan itu, tangan si perempuan yang jarinya kebiru-biruan karena menahan dingin, menyentuh pipi laki-laki itu. Menyapunya dengan sentuhan penuh hasrat. Namun juga membius.
Ibu jari laki-laki itu menekan hammer senjata rakitannya sendiri. Bunyi klik, membuat perempuan itu melebarkan seringaiannya.
Kalau memang perempuan itu yang mengharapkan jenazahnya, ia tidak boleh takut. Kalau perempuan itu bisa berbahagia dengan nyawanya yang melayang, ia harus melakukan perintah itu.
Dan bunyi letusan membahana di padang rumput itu.
Perempuan tadi berdiri dengan tubuh kaku, seolah-olah dialah yang mati. Seluruh wajahnya terkena cipratan darah merah yang membuat hidungnya bisa merasakan bau anyar. Dan bersamaan dengan itu, air mukanya berubah drastis. Kakinya perlahan seperti tidak bertulang. Ia pun terjatuh berlutut di depan laki-laki itu. Dengan air mata yang menetes satu-satu.
Friday, November 13, 2009
Kapan Kamu Besar, Nak?
Bola mata wanita itu bergerak awas di dalam bingkai yang digelayuti kantung berwarna kelabu kusam, sesekali memandangi anaknya yang masih tergeletak di sebuah sofa, sesekali pula mengawasi sekeliling. Giginya yang rata dan putih, menyeringai, membentuk senyuman yang sama sekali jauh dari ramah. Satu per satu nada serak dari tenggorokannya mengalir dengan tersendat, mendendangkan lagu nina bobo. Bocah itu tidur. Tenang. Begitu tenang, hingga desahan nafas memburu wanita itu tidak dihiraukannya.
Beberapa kali ia menepuk pantat sang anak dengan begitu lembut penuh keibuan. Dan ia tidak sekali pun beranjak dari sana. Tetap dengan daster batiknya yang terus menempel sejak beberapa hari terakhir. Tapi guratan cantik itu masih bisa terlihat, meskipun wajahnya pucat.
”Kapan kamu besar, Nak?” gumamnya pelan.
Sekali lagi, didendangkannya lagu nina bobo. Ia tidak ingin anaknya terbangun karena ia berhenti menyanyikan lagu tersebut.
”Mama...” suara bocah perempuan yang lain muncul dari balik pintu.
Mata wanita itu langsung liar sebagaimana seekor binatang buas siap menerkam siapa saja yang mengganggu tidurnya, berkilat tajam dan meruncing di sudutnya. Anak itu tersenyum lugu, lalu berhambur masuk dan mendekat sang Bunda. Namun wanita itu segera berlutut di sisi kursi dan menelungkupkan tangan serta kepalanya ke atas kursi—ke atas bocah yang sedang tertidur. Ia berusaha untuk melindunginya, supaya si anak perempuan tidak mengambil adiknya. Aku tidak mau kejadian lalu terulang, gumamnya. Aku tidak ingin anakku jatuh hingga menangis keras gara-gara dia.
Namun, si anak perempuan tidak sadar dengan kesalahan sebelumnya. Dengan tangan kecilnya yang tak seberapa terisi tenaga, ia berusaha menarik Ibunya untuk mau memperlihatkan apa yang sedang disembunyikan sang Ibu. Anak perempuan itu tertawa-tawa kala sang Ibu tetap menolak untuk menyingkir. Baginya ini hanya sebuah permainan.
Ya, ini hanya permainan, bukan? Anakku?
Dengan gerakan kasar, wanita itu mendorong tubuh anak perempuan itu hingga terjerembab ke samping, sedangkan wanita berambut pendek yang berantakan, langsung melesat ke belakang dengan langkah terseok-seok—penuh ketakutan. Anak perempuan itu hampir saja menangis kalau ia tidak menemukan mainan baru yang selama ini disembunyikan Ibunya. Ia sangat menginginkan mainan baru itu. Harta ibunya. Dengan senyum sumringah, anak perempuan tadi mendekati sosok yang sedang terlelap itu.
Ia mengangkat tubuhnya ke atas.
Dengan senyum lebar. Inilah mainan barunya.
Si anak perempuan tampak begitu senang. Hingga tak sadar bahwa ia bisa saja menjatuhkan apa yang ada di tangannya itu. Juga tak sadar bahwa di belakangnya wanita tadi sudah membelalak ketakutan, dengan satu pisau dapur teracung di udara. Matanya melebar, hingga garis-garis ototnya terlihat kemerahan. Ia luar biasa takut. Seakan sedang berada di bawah cekaman seorang pembunuh.
”Jangan sentuh!” serunya galau.
Si anak menoleh kaget, dan kejadian itu kembali terulang.
Tanpa berpikir lagi, wanita itu segera menarik tangan kurus si anak perempuan supaya menjauhi anaknya yang sudah menangis karena terbentur lantai. Di dorongnya tubuh yang hanya setinggi pahanya itu, dan membentur dinding. Si anak perempuan meringis. Dan berujung pada tangisan.
Bising. Sungguh memekakkan telinga.
Wanita itu harus menutup kedua telinganya karena mendengar kedua anaknya menangis. Dan emosi itu pun membuncah, naik ke ubun-ubun. Mendidih, hingga titik tertinggi. Mengendalikan seluruh urat syaraf dan mencegah bergeraknya arus logika.
Tangan wanita itu kembali terangkat, mengacungkan benda tajam berkilau yang dibawanya. Tidak ada perasaan khawatir, bingung, atau bersalah. Yang ada hanyalah luapan emosi yang berbondong-bondong meledak dan mengeluarkan kemarahan yang dasyat.
Tapi ia belum puas.
Tangannya masih bergerak-gerak memainkan pisau, di atas tubuh sang anak. Ia sangat menikmati setiap gerakannya. Memotong bagian ini, lalu meotong bagian itu. Sudah selesai. Wanita itu menjilati darah yang masih menempel di tangannya, sambil menatap sinis bocah yang kini sudah tidak berbeda dengan puzzle.
Pintu menjeblak terbuka.
Seorang lelaki penuh keringat dan nafas satu-satu, muncul di antara daun pintu. Matanya melotot—kaget. Tapi juga panik dan marah.
”Kau gila!” sentaknya.
Wanita itu tak peduli. Ia hanya memikirkan anak dalam pelukannya—masih menangis.
*
Laki-laki itu duduk di samping ranjang, dengan senyum tanpa sinar mata. Ditatapnya anak satu-satunya yang kini terbaring lemah.
”Kapan kamu besar, Nak?” tanyanya datar.
Dibelainya rambut bocah itu.
Ada bau busuk yang mengisi ruangan itu. Kerumunan lalar hijau pun tak jarang mampir ke dalamnya. Tapi laki-laki itu sama sekali tidak terganggu. Ia tetap duduk tenang di sana, sambil menatap anaknya yang sudah nyaris tidak bisa dikenali. Beberapa bagian tubuhnya pun sudah hancur termakan usia. Sesekali laki-laki itu membasuh anaknya yang terbaring.
*
Seorang wanita sedang menggendong bayinya di dalam kamar serba putih. Didendangkan lagu nina bobo, lagu kesukaan anak itu. Kalau ia berhenti, ia takut anaknya akan bangun. Maka ia nyaris tidak pernah berhenti. Kecuali untuk mengajak anaknya bicara, ”kapan kamu besar, Nak?”
”Sudah setahun dia terus saja menyanyikan lagu itu. Tidakkah sadar bahwa anaknya hanyalah boneka?” begitulah orang-orang berbicara mengenai dirinya.
Saturday, November 7, 2009
Kidung Surga Sang Pengantin
Seperti mimpi, aku menatapmu dari jarak terbentang. Alas beludru berwarna merah darah yang melambangkan kebahagian, siap ku lintasi, hanya demi menggapai sosokmu. Tinggi tegap, tersenyum dengan begitu tulus. Sinar matamu berkata padaku bahwa kau tidak sabar menungguku, berdiri di sampingmu. Untuk selamanya. Dengan janji yang akan mengikat kita, dalam lambang sebuah benda berkilau yang akan kau sematkan pada jari manisku.
Kau dan aku, akan selalu bersama.
Aku menghirup dalam-dalam aroma menyegarkan dari rangkain bunga berwarna-warni dalam genggamanku. Ya, aku tidak sedang bermimpi. Aku bisa mendengar dengan jelas kidung merdu selembut nyanyian surga, bergaung di dalam ruangan bergaya roma itu. Nyanyian indah para malaikat mengiringi langkahku untuk maju. Dengan senyum yang tidak akan bisa luntur, aku melangkah mantap di atas high heels putih bersih yang sangat kau sukai. Aku berjalan di belakang sepasang mungil malaikat cinta, yang sibuk menaburkan kerlap-kerlip cinta kita.
Katamu, aku sangat pantas berdiri dalam rengkuhan atribut serba putih yang menempel di tubuhku. Katamu, aku seperti peri kecil yang dikirim untuk menjagamu dengan kedua sayapku. Dan, katamu, supaya aku menjadi peri kecilmu untuk selamanya.
Aku mengiyakan, waktu itu.
Dan kini, aku masih mendengar suara-suara kidung itu. Menjamah manis telingaku, dan juga telingamu. Menebarkan serpihan manis kebahagiaan, tidak hanya pada kita, tapi juga pada seluruh manusia yang bersedia tersenyum untuk kita. Pada diriku yang merasakan seluruh getar cinta surgawi, inilah hari dimana surga bisa menjadi milik kita, kaum duniawi.
Kau…berdiri di sana. Semakin tampak jelas di mataku.
Tahukah kau, bahwa buket bunga warna-warni dalam genggaman tanganku yang berlapis sarung tipis berbahan spider ini juga memberikan ucapan selamat? Mereka turut berbahagia, hingga warna mereka merekah lebih indah daripada ketika hanya tumbuh di dalam tempatnya, tanah.
Senyumku, senyummu, semakin merekah. Kau menjemput satu tangan yang kuulurkan padamu, dengan begitu lembut. Kau mengajakku untuk bersanding denganmu di atas puncak surga. Hei, mataku nyaris tidak bisa berkedip karena tidak ingin melewatkan satu detik momen penting ini dalam hidupku. Kau benar-benar membiusku, jauh dan semakin jauh.
“Bersediakah kalian menjadi pasangan suami istri untuk selamanya?”
Aku, kau dan seluruh umat manusia seolah-olah menghentikan napas sesaat, hanya untuk menanti sebuah kata ‘iya’ yang meluncur dari mulut kita. Dan kini janji itu sudah tersemat manis di dalam jariku.
Kau dan aku. Bersama selamanya.
Dan aku, tidak akan pernah melepaskanmu.
Monday, November 2, 2009
Piano Dalam Sebuah Lukisan
Ia hanyalah seorang anak perempuan biasa, dengan seulas senyum yang selalu tersaji di wajah manisnya yang bulat kecil. Dan akan selalu tersenyum dalam keheningan meskipun ujung matanya yang sedikit meruncing, mengeluarkan sebuah kristal bening yang tidak kunjung tumpah. Bibirnya akan selalu tertutup rapat, sementara hatinya menjerit meminta sebentuk perhatian kecil atas ketidakmampuan jari-jarinya menari di atas tuts-tuts hitam putih piano.
Ia tidak mampu menguasai not balok, meskipun otaknya sudah mati-matian bekerja keras mendalami alat musik yang dinilai orang begitu indah lantunan nada-nada suaranya.
Anak kecil itu terdiam memandangi seorang yang seusia dengannya, namun, jari-jari tangan mungil itu mampu bergerak lincah di atas piano dan menghasilkan suara yang memabukkan seorang wanita yang duduk di sisinya. Pandangan wanita itu begitu menyakitkan hati sang anak, tetapi ia tetap tersenyum. Dengan jarak yang terbentang, anak perempuan itu berdiri dari kejauhan hanya untuk merekam semua momen indah itu ke dalam memori otaknya yang penuh. Setelah ia menyimpan setiap detail apa yang dilihatnya, kemudian anak itu kembali memutarnya di dalam alam khayalnya sendiri. Ruang hampa yang tidak akan terjangkau oleh siapapun, dimana ia bisa menjadi segala yang ia harapkan namun tidak terwujud di dalam dunia nyata.
Dan ia begitu menikmati semuanya.
Senyuman Ibunya untuknya.
Tidak ada lagi celaan karena bakat musik yang tidak ada dalam dirinya.
Anak perempuan itu senang.
Beberapa menit saja, cukup baginya untuk meraih semua kenikmatan kosong itu. Kini ia sudah siap menuangkannya ke dalam kanvas kosong, yang seperti lembaran baru dalam hidupnya yang siap ia jalani. Tangannya bergerak dengan lincah, memainkan kuas dan tinta-tinta minyak yang tersedia dalam palet. Matanya dengan jeli mengukir semua kejadian yang telah direkam dalam otaknya.
Ketika sampai pada hasil akhir, anak perempuan itu tersenyum puas. Meski ia bukan pelukis terkenal yang akan mengadakan sebuah pameran, tetapi kali itu ia merasa benar-benar puas dengan kerja kerasnya yang dilalui hanya dalam beberapa jam. Hatinya tidak sedang dalam kondisi baik, tapi mengerjakan lukisan itu, ia seperti tengah mengobati luka hatinya sendiri.
Tidak tahu harus berbuat apa dengan lukisan itu, ia membawa hasil karya yang dianggapnya hasil yang paling baik ke dalam ruangan yang tadi digunakan si pemain piano memamerkan kemampuannya pada Ibu si anak perempuan.
Matanya meneliti seluruh ruangan, namun hanya tertumbuk pada satu tempat. Diletakkan dengan hati-hati lukisan kanvas itu di atas sebuah piano hitam metalik, seolah khawatir kalau-kalau ujung kanvasnya mampu melukai sang piano yang berdiri gagah. Lalu ia pergi membawa senyuman yang sudah ia simpan untuk dirinya sendiri.
Tak berapa lama, sang Ibu masuk dan mendapati lukisan tersebut.
Lama, dipandanginya goresan tangan anak yang ia lahirkan sepuluh tahun yang lalu itu. Ada sesuatu yang seperti berlarian di kepalanya. Momen dalam lukisan itu, wajahnya, dan juga wajah anaknya yang sedang bermain piano, alih-alih wajah si pemain piano yang bukanlah anak kandungnya.
Tiba-tiba air matanya meleleh.
Dan wanita itu sadar bahwa anaknya sampai kapan pun tidak akan mampu mewujudkan obsesinya untuk bisa menjadi pianis. Anak perempuannya telah menentukan jalan dengan pikirannya sendiri. Yaitu menjadi seorang pelukis, bukan pemain piano.