Thursday, April 29, 2010

Merry Go Round

Langit senja menghadirkan segurat warna pucat. Seorang pria bertubuh jangkung, dengan rambut mencuat ke segala arah—tanda ia belum menyisir hari ini dan mungkin kemarin—serta wajah kuyunya yang berantakan karena janggut yang belum dicukur berjalan lunglai di tengah keramaian. Ia mendekati sebuah arena permainan yang penuh dengan kuda-kuda plastik. Bayangan tipisnya merangkak di atas batako, mengikuti kemana si pemilik tubuh bergerak.

Merry go round. Itulah namanya.

Mendekati pagar-pagar besi yang mengelilingi merry go round, lelaki yang bernama Devon itu menekankan perutnya ke sana.

Cahaya matanya redup. Kosong. Hampa. Namun, bola mata berbentuk biji almond itu terus mengarah ke salah satu kuda plastik bewarna putih. Dan siapapun yang melihatnya, bisa menduga kalau lelaki itu sedang berusaha untuk tegar. Memang begitulah keadaannya.

Tempat ini penuh kenangan. Sulit sekali menginjakkan kaki di sana. Namun, demi mendapat jawaban dari apa yang selama ini ia cari, Devon menguatkan hatinya. Dan nyatanya, ia bisa sampai di sana.

Devon menunggu. Meski tidak tau apa yang ditunggunya.

Kemudian, merry go round berputar. Sebuah iringan musik lembut, menyertainya. Devon masih termangu menatap kuda putih tadi. Kuda yang begitu disukai Biyan. Kuda yang sangat mengingatkannya pada sosok gadis tomboy itu.

“Bi…apa yang membuatmu menyukainya?”

Bersamaan dengan merry go round itu berputar, seluruh kenangan Devon pun ikut berkelebat di kepala. Berputar dengan sangat mulus, sehingga tidak satu menit pun hilang dari ingatannya.

Semua tentang Biyan.

*

Pagi itu, Devon tidak pergi ke rumah sakit. Ia sedang ambil cuti. Di dalam kariernya sebagai seorang dokter bedah umum, Devon memang cukup sibuk. Oleh karena itu, Devon harus bisa mengatur waktu untuk menemani istrinya, Biyan, yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa.

Dan hari itu, Devon ingin mengajak Biyan pergi ke taman wisata. Tapi ketika ia bangun, hanya secarik kertas dan secangkir kopi yang ia temukan di samping tempat tidur. Tulisan di atas kertas itu adalah tulisan Biyan, yang mengatakan kalau Biyan sedang pergi ke pasar dan akan segera kembali.

Sambil menanti istrinya, Devon menyibukkan diri dengan membuat sarapan untuk Biyan. Sepiring nasi goreng dan segelas coklat hangat yang masih mengepul. Setelah meletakkan di atas meja makan, Devon mengisi waktu dengan menonton acara televisi.
Ketika beranjak siang dan Biyan masih belum kembali, Devon mulai tidak sabar. Di tengah perasaan yang galau, ponselnya berbunyi kencang. Ia segera menyambar dan menempelkan benda itu ke telinga.

Semenit kemudian, tangan Devon langsung gemetar. Napasnya tertahan. Dan jantungnya seakan berhenti berdenyut.

Seseorang mengabari bahwa Biyan mengalami kecelakaan parah bersama sepeda dan barang belanjaannya.

Ponsel terjatuh. Devon pun melesat meninggalkan rumah dan berlari seperti orang kesetanan menuju rumah sakit. Perasaan galaunya berubah menjadi tidak menentu. Keringat dingin membanjir. Dan otaknya seperti mengalami pembekuan. Air mata yang mengalir di sudut, terbang bersama angin yang menerpa wajahnya kala ia berlari sekuat tenaga. Tapi satu hal yang diharapkannya.

Semoga ia masih bisa melihat Biyan tersenyum.

Sampai di rumah sakit, Devon bertemu dengan Frans, rekannya sesama dokter. Setengah emosi dan terkejut, ternyata mampu membuat Devon hilang kendali. Ia merenggut ujung jubah Frans dan menuntut dokter berkacamata itu untuk memberikan kabar baik. Sayang, raut wajah Frans tetap menyiratkan adanya berita buruk.

“Sulit sekali Devon. Istrimu banyak mengeluarkan darah dan aku menduga ada kerusakan parah pada kepalanya karena dalam kecelakaan itu kepala Biyan yang pertama kali membentur jalanan,” kata Frans tidak merasa tidak enak memberitau kenyataan itu.

Semula Devon mengira kalau perkataan Frans hanyalah dugaan sementara. Tetapi melalui hasil pemeriksaan, kenyataannya memang begitu. Batang otak Biyan rusak cukup parah. Batang otak adalah sumber semua saraf. Dan jika batang otak mengalami kerusakan…, sungguh Devon tidak tau lagi harus bagaimana. Devon ingin sekali berteriak, memaki Frans, atau menghantam dinding. Tapi dia tidak berdaya. Baru kali ini dia merasa begitu lemah, seolah semua tenaga sudah habis tersedot perasaan sedihnya.

Devon hanya bisa menangis pilu di sisi tempat tidur Biyan.

*

Tiga bulan pun berlalu.
Tanpa ada perkembangan dari diri Biyan. Gadis itu masih tergeletak lemah tak berdaya di atas tempat tidur rumah sakit. Selang-selang infus dan peralatan lain menempel di tubuh Biyan. Hanya melalui selang-selang itulah hidup Biyan bisa bertahan.

Namun Devon selalu berharap kondisi Biyan membaik.

Kenyataannya, kondisi Biyan masih koma.

Setiap hari, Devon menunggui Biyan. Barangkali saja tiba-tiba tangan dingin Biyan bisa bergerak. Dan jika itu terjadi, Devon harus ada di sana.

Semua pemeriksaan Biyan pun harus dilakukan oleh Devon dengan bantuan Frans. Semua obat yang masuk melalui selang infus, selalu berada di bawah pengawasan Devon. Tapi tetap saja belum menampakkan hasil yang memuaskan.

Di tengah-tengah pekerjaannya, Devon juga selalu menyempatkan diri mengunjungi Biyan dan membawakan sekuntum bunga chrysanthemum berwarna pink sebagai penghias tempat tidur Biyan. Setiap hari, satu kecupan di kening diberikan pada Biyan, dengan harapan gadis itu akan bangun karena tau ada seseorang yang menantinya.

Orangtua kedua belah pihak datang bergantian. Mereka paham betul dengan perkembangan Biyan. Mereka juga berharap sama dengan Devon, namun kenyataan tidak seperti itu.

Suatu hari, di dalam lorong rumah sakit yang sepi, saat menginjak empat bulan Biyan terbaring tak berdaya, Ibunya Biyan berdiri di hadapan Devon. Keduanya sama-sama tegang.

“Mama, tidak tega melihat putri Mama seperti ini terus, Dev,” sebulir air mata jatuh saat wanita tua itu memulai apa yang ingin diutarakannya. “Mama pikir, kalau ada satu cara yang bisa menghilangkan sakitnya Biyan…”

Devon menelan ludah dengan susah payah. Agaknya ia mengerti maksud Ibu mertuanya itu, tapi hatinya menolak untuk percaya. “Maksud Mama?”

Wanita tua itu menyerosot ingusnya. “Apapun caranya, Devon… Mama ingin penderitaan Biyan berakhir,” ia terdiam sejenak dan menatap Devon dalam-dalam. “Kau tau, Nak.”
Tangan Devon mengepal kuat-kuat di kedua sisi jubahnya.

Sungguh, Devon marah dalam hati. Namun dia menahannya. Sekuat tenaga menahannya, hingga seluruh energi tersalur pada telapak tangan yang tertancap kuku-kukunya. Sepicik itukah pikiran Ibu mertuanya? Semudah itukah dia menyerah? Devon benci pikiran wanita itu!

Sampai kapanpun, Devon tidak akan melepaskan Biyan!

Tidak! Dia tidak akan membiarkan keinginan Ibunya itu tercapai! Biyan akan hidup. Biyan akan bangun dari koma. Karena itu, Devon akan berusaha keras lagi untuk pengobatan Biyan.

Kenyataan memang sulit sekali disesuaikan dengan keinginan menusia. Sekuat apapun Devon berusaha, namun kondisi Biyan tetap tidak membaik.

Bulan pun berganti, tanpa sesuatu yang berarti. Beranjak pertengahan tahun, Biyan masih tetap berbaring koma. Kondisinya malah menurun sehingga beberapa selang harus ditambahkan ke tubuhnya.

Keadaan Biyan terlihat mengenaskan. Tidak ubahnya dengan seorang mayat. Kulitnya pucat, tubuhnya kurus dan cekungan di pipinya kian tampak.

Ibunya semakin sering menangis ketika melihat keadaan Biyan. Wanita tua itu pun semakin bertekad untuk menghilangkan penderitaan Biyan. Dengan meminta persetujuan keluarga, Devon kembali dibujuk. Hanya ini satu-satunya cara agar Biyan bisa bebas dari penderitaan.

Di sisi lain, Devon masih bersikeras menolak. Ia masih yakin pada kemampuannya untuk bisa menyembuhkan Biyan. Apalagi, ia sangat tidak rela kalau harus kehilangan Biyan, secepat ini. Biyan sungguh berarti bagi hidupnya. Hingga kalau harus kehilangan gadis itu, Devon tidak tau lagi pada hidupnya.

*

Di hari itu, Devon sedang duduk di sisi Biyan. Ia baru saja mengganti sejumlah bunga berwarna pink lembut itu dengan bunga yang baru. Harum segar merebak di ruangan tersebut.

Sambil menatap wajah kuyu Biyan yang mulai cekung, Devon menggenggam tangan Biyan. Pikirannya berkutat dengan kejadian belakangan ini. Tentang semua desakan keluarga akan masalah Biyan.

“Aku…tidak akan melepaskanmu, Biyan,” gumam Devon begitu lirih.

Setetes air mata kembali jatuh di pipi Devon. Tapi pria itu tidak peduli. Yang diperhatikan hanya gadis yang tampak begitu tak berdaya di hadapannya.
Tiba-tiba saja, air mata lain menetes dari sudut matanya.

Sudut mata Biyan.

Devon terperangah. “Bi…kau mendengarku?” Hening. Tak ada jawaban. “Apa…air mata itu, tanda bahwa kau begitu menderita?”

Hanya suara denyut jantung dari mesin yang terdengar.

Devon menundukkan kepala sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Hatinya terasa dirajam. Begitu perih. Tapi, apa pun yang terbaik akan dilakukannya untuk Biyan. Apa pun, untuk membuat gadis itu tidak menangis.

*

Akhirnya Devon menyerah. Ia menyerah pada keadaan, Biyan dan juga desakan keluarga. Tidak dipungkiri, hatinya pun lelah dengan semua beban. Hari itu, euthanasia akan dijalankan, sesuai dengan permintaan Ibunya Bian dan juga ijin keluarga. Euthanasia, kini hanya cara itulah yang bisa membebaskan Biyan dari segala sakit yang dideritanya.

Devon bersikeras melakukan euthanasia itu dengan tangannya sendiri. Dia yang begitu menjaga Biyan, karena itu dia juga yang akan melepas Biyan.

Dengan jubah putih kebangsaannya, Devon berdiri di sisi tempat tidur Biyan. Devon menatap wajah Biyan beberapa menit. Kemudian ia meraih jemari-jemari Biyan yang dingin dan menggenggamnya supaya hangat. Setelah itu, dikecupnya kening Biyan dengan begitu lembut. Satu bulir air mata menetes di kening Biyan dan mengalir ke sisi mata gadis itu. Tampak seolah Biyan yang menangis.

Sesudah semua itu, Devon mulai melepaskan satu per satu selang yang menempel di tubuh Biyan. Tangis kedua orang Ibu meledak di kamar itu begitu Devon menyelesaikan pekerjaannya.

Kemudian, Devon duduk di sisi Biyan. Ia kembali menggenggam tangan Biyan. Kini, Devon hanya bisa menunggui Biyan menanti ajalnya. Dan Devon benar-benar menungguinya. Sampai jantung Biyan tidak menunjukkan denyutnya dan napas Biyan sudah tidak terdengar lagi.

Terakhir kali, Devon kembali mengecup kening Biyan dengan tubuh gemetar. Lalu mengusapnya, seolah mengijinkan Biyan pergi dengan tenang. Tidak ada air mata di wajah Devon. Ya, ia tidak akan menangis untuk kali itu. Tidak di saat ia menemani Biyan untuk terakhir kali.

*

Merry go round itu perlahan mulai berhenti. Devon masih bergeming di tempatnya. Matanya masih terarah pada permainan itu.

Tiba-tiba Devon tertegun.

Kuda putih itu tidak berhenti tepat di hadapannya. Kuda putih itu hilang. Dan Devon tidak bisa melihatnya.

Mendadak Devon lemas. Pandangannya pun kabur karena air mata.

Akhirnya ia mengerti!. Ia sudah tau alasan kenapa Biyan begitu menyukai merry go round, bersamaan dengan menguapnya air mata itu.

Hanya ada satu alasan di sana.

Karena Biyan tau, Devon akan selalu menantinya di sisi yang sama. Menanti untuk melihat lambaian Biyan, menanti untuk melihat tawa Biyan dan menanti untuk membiarkan Biyan pergi.

Sudut bibir pria itu mencuat sedikit. Ia tersenyum getir, seolah mengejek dirinya sendiri atas semua keterlambatan pikirannya dan apa yang sudah ia lakukan.

“Maafkan aku, Biyan…Sungguh, maafkan aku…” gumam Devon perlahan dengan suara sendu.
Devon menelungkupkan kepalanya ke atas kedua tangannya yang berpegangan pada besi-besi pagar merry go round. Tiba-tiba tangisnya meledak di sana. Tangisan putus asa dan kekecewaan yang mendalam.

Kini, Devon tidak tau harus bagaimana menghadapi hidup. Sungguh, ia bagai orang yang terlunta-lunta sendirian. Tanpa istri, tanpa karier.

Semuanya telah menghilang, tanpa pernah bisa untuk kembali.

Langit senja beranjak gelap. Orang-orang mulai meninggalkan tempat wisata itu. Hanya Devon yang masih tetap di tempat. Masih tetap bergumul dengan tangis dan semua pikiran masa lalunya.

Entah sampai kapan.



Sebuah tulisan usang yang terbengkalai di gudang data.

Thursday, April 8, 2010

Bye, Mr. Always Yesterday

Bahwa hari ini aku akan kembali pada sang ‘Bunda’…, akankah kau hadir di sini untuk terakhir kaliku?

Hari sudah semakin malam, saat aku masih tetap terjaga, berdiri di antara belaian angin yang mengusap lembut wajah dan rambutku. Aku letih. Bahkan hampir menyerah. Tapi, hatiku terlalu kokoh seperti pilar hingga tetap membuatku berpijak pada bumi dimana bukan tempatku seharusnya berdiri. Dingin malam membuat aku merapatkan cardigan putihku. Aku berdoa, agar—setidaknya, kau segera keluar dari rumahmu, sekedar untuk mencari makanan ringan pengganjal perut atau mengecek apakah pintu pagarmu sudah terkunci rapat. Tapi, doaku terkunci selama setengah jam—lebih. Tidak ada jawaban. Kau…, tetap tidak menampakkan sosokmu.

Tubuhku semakin dingin. Doaku semakin kencang. Tapi, radarku tidak cukup kuat untuk mengirimkan sinyal jeritan hati ini kepadamu. Juga kepada Tuhan. Hingga semuanya tetap terasa hening, semakin sayup dan hampa.

Hanya satu kata yang ingin ku kirimkan—rindu, namun aku terpekur sendirian. Aku memenjarakan kata itu dan menikmatinya seorang diri. Tapi, ini untuk terakhir kali. Dan, sudah saatnya ‘kata’ itu bebas dari sarangnya, menghampiri sang penerima.
Hanya saja, kau masih tetap berada di dalam sana. Sibuk. Sendiri.

Karena…, kau memang tidak pernah tahu keberadaanku.


Aku menarik napas dalam-dalam. Begitu kutengadahkan kepalaku, mataku langsung menangkap sosokmu yang bergerak keluar dari dalam rumah sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku sweater. Kau berjalan menunduk seolah ingin melindungi wajahmu dari tatapan lima meterku.

Hatiku mencelos.

Perlahan, kau bergerak keluar pagar. Apa yang kau cari di malam selarut ini?
Doaku terjawab sudah. Kini, aku menarik napas kuat-kuat, mengumpulkan kekuatan di dalam diri. Lalu, dengan kaki yang terbungkus boot putih dengan sisinya berbulu, aku pun melangkah mantap di belakang punggungmu yang lebar. Terlihat begitu hangat jika aku berada di sana.

“Ngng…,”

Entah bagaimana, suara pelanku bisa merambat ke telingamu. Kau menoleh. Wajahmu tampak begitu bingung, dengan kening yang berlipat dan alis menyatu. Namun, aku tau kau tetap menyelipkan seulas senyum untukku. Senyum yang begitu hangat. Senyum yang sangat ramah. Hingga aku yakin, kau adalah pria yang sangat baik dan terbuka.

“Ya?”

Aku menunduk. Dengan tangan bergetar—antara dingin dan gugup, aku mengeluarkan sebuah botol kaca dengan gulungan-gulungan foto di dalamnya. Fotomu.

“Selamat ulang tahun.”

Wajahmu semakin menunjukkan kebingungan. Sampai-sampai kau lupa bahwa tanganku terjulur untuk memberikan hadiah tersebut.

“Sori…, apa aku kenal kamu?” tanyamu berusaha sehalus mungkin. Aku tau, kau tidak ingin menyakiti perasaanku. Tapi aku juga tau, bahwa kau memang tidak mengenalmu. Jika bukan bayangan mimpiku yang menunjukkan sosokmu, aku tidak akan mencarimu dan menjadi seorang bayangan yang terus memendam rasa.

Aku tersenyum. Kaku. “Nggak. Tapi, aku kenal kamu. Dan pagi ini, usiamu tepat bertambah. Jadi aku ingin memberikan hadiah ini.”

Akhirnya, kau mau menerima hadiah dariku.

“Thank’s. Aku bisa pergi dengan tenang sekarang.”

Kau hanya terdiam. Aku tau, saat itu, kepalamu hanya penuh dengan berbagai pertanyaan. Sayang, aku tidak bisa menjawab semuanya. Aku harap kau bisa mengerti bahwa sesuatu akan lebih berharga ketika dia menjadi sebuah rahasia yang tak terungkap wujudnya.

Lalu, aku segera membalikkan badanku, bergerak ringan dan pergi dengan meninggalkan jejak secara perlahan. Apa kau penasaran?

*

Hari ini, subuh masih mengurung bumi dan langit masih menampakkan rona keunguannya. Tapi, aku sudah muncul. Aku berbias pada langit dan memamerkan keindahan warnaku.
Hanya untuk melihatmu yang sudah sibuk dengan pakaian rapih, siap bergegas menuju kantor.