Sunday, February 28, 2010

Hanabi

Otousan, hanabi ga deta.
(ayah, kembang apinya muncul)

Dou? Hanabi ga kirei datta ne.
(gimana? kembang apinya cantik, ya)

Otousan, atashi hanabi ga daisuki desu. Itsuka, hanabi mitai ni naritai.
(ayah, aku suka banget kembang api. suatu hari nanti, aku mau menjadi seperti kembang api)

E? Doushite, hanabi tte?
(loh? kenapa seperti kembang api?)

Hanabi ga atashi mitai hosokute hikari o tsukureru kara desu. Kurai sora mou kuraku narimasen. Dakara atashi mo ankoku ni de hikaritai.
(karena kembang api kurus seperti aku dan bisa menghasilkan cahaya. Langit yang gelap jadi nggak gelap lagi. karenanya aku mau bercahaya di atas kegelapan)


Pria setengah baya itu menunduk menatap putri kecilnya dengan mata sipitnya yang penuh dengan rasa kagum sekaligus terharu. Pesta musim panas hampir saja berakhir dan sisa-sisa cahaya kembang api masih meninggalkan jejak di langit yang gelap. Tapi, rangkaian impian diatas kata-kata yang meluncur dari bibir mungil putrinya, seperti memberikan secercah pengharapan.

Mungkin suatu hari nanti, kehidupannya--juga putrinya, terbebas dari dunia gelap berkedok kejahatan. Ya, pria itu tidak akan mendukung putrinya hidup di atas tanah bergelimpangan darah.




Ditulis hanya untuk melatih kemampuan bahasa jepang penulis yang masih belum berkembang.
Jika menemukan kesalahan tata bahasa, bisa berkomentar.
Dan, masih memiliki benang merah dengan postingan kemarin.
Semua...
Tentang 'hitam'

Thursday, February 25, 2010

Bahwa Aku dan Bukan Aku

Hingga tanpa sadar, Aku meraih cermin bundar itu.
.....
......
.......
Bukan diriku. Bukan seorang perempuan berwajah pucat pasi yang hidup dalam kesengsaraan setelah melarikan diri dari rumah.



Tapi, dia. Sang monster. Buas. Liar.
Ini bukan Aku.
Atau Aku dalam wujud yang tidak pernah aku sadari sebelumnya.
Atau Aku terlalu takut mengakui bahwa cermin itu telah berhasil mengangkat bentuk hatiku ke permukaan, hingga semua orang bisa melihat betapa hitam dan kelamnya Aku.

Karena bukan hitam putih yang kupunya, tapi hitam.

Thursday, February 18, 2010

Pada Satu Gerbong Kereta

Tidak ada pemandangan yang lebih menarik daripada hamparan padang rumput hijau atau sekedar warna-warni indah dari alam yang seolah bergerak cepat, seiring dengan laju kereta yang tidak bisa dihentikan. Musim semi telah tiba. Dan hanya pemandangan itu yang menarik perhatiannya. Sementara satu tangannya menopang dagu, matanya memandang jauh menembus jendela kaca.

"Apa yang kamu lihat?"

Suara itu membuatnya berjengit karena terkejut, lalu dia menoleh. Seorang perempuan dengan rambut terurai panjang berwarna hitam, menarik kedua sudut bibirnya hingga melengkung. Dia menyapanya.

"Bukan apa-apa," katanya. Dia menegakkan tubuhnya dengan tegas, sekalian memberi ruang jika orang asing itu hendak duduk di kursi di hadapannya yang memang masih kosong. "Cuma...ada semua itu yang paling menarik untuk dilihat." Dia menunjuk pemandangan di luar yang terus menerus bergerak meninggalkannya seperti pergerakan film yang sengaja dipercepat, dengan dagunya yang kokoh dan membelah di ujungnya.

"Ohhh, kalau aku duduk di sini, bagaimana?" tanya suara lembut itu, mengusik daya imajinasinya. Dia belum berkata apa-apa, tapi perempuan itu sudah menentukan sendiri keputusannya. Pria itu hanya bisa mengikuti gerakan si perempuan dengan sepasang matanya yang lancip.

Hanya begitu saja. Lalu hening merambati. Membuat dia diam-diam mencuri pandang ke arah si perempuan yang berwajah pucat, kontras dengan suasana di luar sana yang penuh dengan warna ceria.

"Aku..." kembali suara lembut itu menggelitik telinganya. Membuat dia langsung menoleh dan mendapati perempuan itu bicara tanpa sekali pun memandangnya. "Aku sakit. Aku menderita Alzheimir. Karena itu aku selalu saja ditinggalkan oleh orang yang mencintaiku. Mereka benci karena aku melupakan mereka. Mereka bilang aku tidak pernah menghargai usaha mereka, karena aku tidak bisa mengingat apa yang telah mereka berikan." Perempuan itu menelan ludah susah payah. "Aku juga tidak berharap seperti itu. Tapi...aku juga tidak pernah tahu kalau aku akan sakit seperti ini. Aku ingin bisa mengingat semuanya sebagai kenangan, tapi aku tidak bisa..."

Perlahan isakannya mengalir perlahan.
Sementara pria dihadapannya menahan napas karena diserang oleh kata-kata yang tidak diharapankannya. Paling tidak bukan dari orang asing yang dikenalnya lima menit yang lalu.

Satu bulir kristal air matanya turun dari pangkal mata.

"Kenapa?" tanyanya. "Kenapa kamu berharap menyimpannya sebagai kenangan?"

"Karena tidak ada harapan untuk masa depan."

"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini."

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu, bolehkah untuk beberapa saat ini aku menyukaimu? Hanya untuk saat ini..."

Pria itu tak lantas mengangguk. Dia seperti terjebak dalam lubang yang dibuatnya sendiri. Wajahnya yang diukir garis-garis tegas menegang. Matanya berusaha membaca maksud dari perempuan itu. Tapi, tidak ditemuinya sesuatu yang membuatnya harus membekukan hatinya dari si perempuan.

Hanya untuk saat ini. Itu berarti hanya untuk tiga jam ke depan, sampai kereta itu akhirnya berhenti di tempat tujuannya. Pria itu membiarkan kepala perempuan itu memberati sisi pundaknya. Juga membiarkan ujung kaosnya basah karena air mata yang tumpah dari sosok yang baru dikenalnya itu. Tidak pernah diketahuinya kenapa dia membiarkan semua ini terjadi. Yang dia tahu, perempuan itu butuh sandaran. Dan dia memberikannya.

Hanya beberapa patah kata dan beberapa gerak gerik yang menunjukkan sedikit perhatian, hingga akhirnya tiga jam itu berlalu tanpa sesuatu yang benar-benar berarti. Kereta berhenti di stasiun berikutnya.

"Aku ingin kita berfoto sebentar."

Perempuan itu meraih kamera polaroidnya dan mulai menjepretkan sang lensa untuk mengabadikan senyum terakhir keduanya.

"Meski tidak berguna, tapi aku akan menyimpannya sebagai kenangan." Perempuan itu bersiap pergi namun kemudian langkahnya terhenti. Dia menoleh dan menatap pria yang duduk beberapa langkah darinya.

"Terima kasih, ya." Dia mengacungkan fotonya. "Karena aku pasti akan melupakanmu, jangan pernah mengingatku."

Lalu dia menghilang dan hanya meninggalkan jejak senyum dalam ingatan pria itu.
Perempuan asing yang mengejutkannya telah pergi. Membawa serta kenangan singkat itu sendiri. Entah bagaimana nasibnya, dia tidak tahu dan tidak akan pernah tahu. Kembali pria itu melamun menatap pemandangan di luar sana. Dia kembali sendiri.

"Hai, boleh aku duduk di sini?"

Hingga suara itu muncul. Pria itu menoleh dan tidak sekali pun dia bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia. Perempuan yang menyapanya. Mirip dengan perempuan tadi. Tidak, bukan mirip, tapi sama persis. Lekuk senyumnya, deretan giginya yang rapih, rambutnya yang tergerai halus layaknya sutra dan juga wajahnya yang agak pucat.

Pria itu menelan ludah.

Tidak pernah menyadari, dimana batas tegas antara kenyataan dan khayalan.

Monday, February 15, 2010

Salju yang Bercerita

Akulah sang debu kristal putih bernama salju dan aku mengukir setiap langkah yang tak terbawa jejaknya untuk kujadikan sebuah kenangan. Setiap jejak yang tertinggal adalah kisah bagiku. Besar, kecil, berlekuk. Aku menyukainya.Dan aku selalu tersenyum untuk itu.

Akulah sang putri yang membuat setitik kebahagiaan di musim yang penuh dengan kebekuan. Aku mencarinya di tiap waktu sebelum matahari membunuhku secara perlahan dan pasti. Aku yang tidak akan pernah bisa terlewatkan.

Akulah sang bunga es yang membuat siapapun menantikan kedatanganku. Merangkaikannya, menggenggamnya, atau pun menyanjungnya. Sementara simfoni kehidupan terus bergerak dengan lembut, aku akan datang kembali untuk mengiringi setiap kisah dalam hidupnya.

Sekedar rangkaian kata yang tidak begitu berarti untuk Rava yang memberikan award untuk blog yang nyaris terbengkalai ini lantaran belum ada setitik ide muncul. Trim`s.




Tuesday, February 9, 2010

(Hanya) Sebuah Kata-Kata

Hai, kawan. Ini cuma satu cara gua untuk kasih tau kejujuran. Well, mungkin selama ini gua terlalu galak, terlalu ringan tangan dan mandang lo dengan tatapan tajam karena emosi. Kadang gua marah dan pengen banget ngusir lo, tapi gua nggak bisa. Setiap kali gua liat kedua mata lo yang memancarkan sinar yang begitu sabar dan bersahabat, justru gua merasa lo yang lebih pantas nendang gua keluar.

Hei, hei. Kamu meremehkan aku! Kata siapa aku marah dengan sikapmu?! Kata siapa aku pantas menendangmu keluar?! Ini rumahmu, kawan. Dan segala kata-katamu mengenai emosi, aku percaya setiap mahluk hidup memiliki emosi. Begitu juga aku. Karena itulah kita kaya akan perasaan.

Terkadang gua berpikir, apa gua cukup baik untuk lo?

Sangat baik! Kamu tidak tahu apa-apa, kawan.

Gua nggak pernah memberikan kesenangan untuk lo. Sebagai mahluk hidup, lo butuh udara segar. Sementara yang gua lakukan adalah memenjarakan lo dari dunia. Seharusnya lo mencari kehidupan lain di luar sana bersama kawan-kawan lo yang lain. Pasti lo bakal bisa lebih bahagia.

Salah, kawan. Disinilah kebahagiaanku! Aku tidak pernah merasa seperti dipenjara. Melihat semua ekspresimu adalah kekuatanku. Juga senyumku yang membuatku bertahan di sini.

Apa lo sama sekali nggak bosen setiap kali hanya berada di rumah? Apa yang lo lakuin selama gua nggak ada?

Kawan, kamu benar-benar tidak mengerti. Karena aku selalu menunggumu maka aku tidak pernah bosan.

Ya, ya, ya, gua tau lo selalu menyambut kedatangan gua setiap kali gua pulang ke rumah. Seberapa telat gua pulang, meski dengan emosi atau pun mood yang baik.

Aku suka itu. Aku selalu bersemangat ketika kamu pulang dan membiarkan aku menyambutmu.

Persahabatan yang lo tawarkan buat gua, sungguh membuat gua nggak mampu untuk membalasnya. Segala kesetiaan dan kesabaran lo menghadapi gua, terima kasih banyak. Gua janji gua nggak akan lagi memukul elo, meski lo merusak semua sepatu gua. Benda itu bisa gua beli lagi, tapi kisah kita nggak akan bisa gua beli lagi.

Asal kamu tau kawan, meski kamu memukulku, aku tidak akan pernah berhenti untuk tetap setia padamu. Meski kamu marah padaku, aku akan tetap menunggu kamu di sini, diam, duduk, tenang, dan menunggu amarahmu hingga reda. Kawan, kalau bukan kesetiaan yang kutawarkan untukmu, aku tidak akan pernah layak untuk menjadi seekor anjing peliharaanmu. Itulah kewajiban yang harus kami lakukan, melayani majikan kami sampai nyawa kami habis.

*

Dan, kemudian pria itu berdiri, mengelus kepala sang anjing kampung kesayangannya, lalu merogoh sakunya untuk melemparkan sebuah biskuit kesukaan si anjing. Dengan keempat kakinya yang gagah, anjing itu segera mengejar biskuitnya dan melahapnya dengan sukacita.

Karena bagaimana pun, aku akan tetap menyayangi majikanku....katanya, dalam hati.

Wednesday, February 3, 2010

Mine Is 'A'

Untuk gadis dalam de javu.


Bukan satu atau dua kali saya melihatmu. Berdiri dengan wajah penuh kekosongan, tampak sesekali tanganmu menggantungkan kuas dan menggoreskannya di sebuah kanvas. Saya tidak mengenalmu. Begitu juga dirimu. Saya percaya tidak ada takdir yang menuntun kita untuk saling mengenal. Tidak, kecuali sebatas angan dan imajinasi yang sepertinya sungguh nyata. Tapi, kamu sungguh berada dekat sekali dengan saya.

Kenapa jarak terasa begitu jauh saat kita berada sungguh dekat?


Bukan sekali atau dua kali saya bertanya-tanya dalam benak sendiri, apa yang membuatmu tampak seringkali melamun, padahal tanganmu bergerak dengan lembutnya seperti gerakan angin yang perlahan menyapu dedahanan? Atau mungkin nyawamu terbang mencari inspirasi untuk buah tanganmu?


Wahai gadis, seandainya dirimu tahu.


Terlalu lama pengharapan ini terpendam. Melangkahkan kaki untuk mendekatimu, rasanya seperti melangkahkan kaki menuju kematian. Lebih dari sekedar sulit. Juga lebih dari sekedar pengecut. Karena bagi saya, kamu gadis dengan julukan A adalah milik saya seorang yang hanya bisa dirasakan melalui satu tutupan mata. Hanya bisa disentuh melalui sapuan angin yang mengelus telapak tangan yang sengaja dilebarkan ini.


Karena...

Meski kita dekat, kamu adalah transparan.

Gadis de javu bernama A.


Tangan ini tidak akan bisa memetik setiap senar gitar, tanpa kehadiranmu. Bibir ini tidak mungkin bersuara ketika kamu tidak datang untuk memberikan satu sentilan ide. Dan, tidak akan ada nada-nada indah yang saya perdengarkan pada banyak orang, jika bukan dirimu yang menguasai setiap sel otak saya.


Karena...

Sekali lagi, kamu gadis bernama A.

A untuk segala inspirasi saya.




Memajang award yang diberikan Aulawi Ahmad. Semoga ide saya bisa terus lancar.


NOTE: Maaf, lama sekali nggak update blog cerpen ini. Beberapa minggu belakangan sedang nggak bisa mencari ide yang sederhana untuk bisa dituliskan ke dalam bentuk cerpen. Tapi, saya harap saya masih bisa mencari ide lain. Huhuhu~ Saya nggak mau blog saya ini terbengkalai...*halah bahasamu nduk*