Monday, October 26, 2009

Bulan di Ujung Labirin

Paras wanita itu pucat, terlukis dalam sebentuk wajah oval. Matanya yang bulat dan dinaungi bulu mata lentik, tidak menampakkan sinar kehidupan, telah reduplah semangat untuk bisa memikirkan kejutan apa yang akan menanti di hidupnya esok, tengah memandang hampa ke satu-satunya ventilasi yang ada di ruang tersebut. Dia seperti boneka mati yang teronggok terlupakan di sana. Di ruangan persegi yang sempit, dengan keempat sisi berupa dinding bambu reyot yang lapuk, dipenuhi udara pengap dan angin memain-mainkan sekumpulan titik debu hingga menari di udara.

Bagaimanakah rasanya menjadi seekor burung?

Hanya itu yang selalu melintas di benak yang saraf-saraf otaknya telah rusak karena terlalu lama dikubur dalam kehampaan yang begitu lama. Lima belas tahun. Terpasung. Dalam ruangan dingin.

Sang kakak, seorang laki-laki yang dikenal wanita itu sebagai seorang pangeran yang baik hati karena hanya dialah yang selalu mengantarkan makanan untuknya, selalu berdenyut hatinya ketika melihat keadaan adik satu-satunya. Kasihan. Namun, adiknya itu selalu dianggap gila oleh orangtuanya hingga berujunglah pada keputusan pemasungan tersebut. Padahal wanita itu tidak gila. Jiwanya hanya terperangkap dalam dunia kosong, sehingga selalu merasa ketakutan dan akan panik begitu melihat orang banyak, sehingga timbullah penyerangan-penyarangan kecil terhadap orang sekitar. Hanya karena dia takut, lalu berusaha melindungi diri sendiri. Namun hal ini justru memicu rasa malu orangtuanya karena ulah wanita itu yang sejak kecil selalu membuat para tetangga merasa was-was.

Tetapi ada satu keputusan lain yang dibuat sepihak oleh sang kakak laki-laki. Pria berusia dua puluh delapan tahun yang rela tidak menikah karena pandangan miring mengenai adiknya itu memastikan kalau di hari ulang tahun adiknya yang ke-25, dia akan mendapat sebuah kejutan yang tidak akan pernah dia duga. Kejutan yang bahkan tidak pernah datang, karena bagi wanita itu, harinya seperti sebuah ruang hampa. Hatinya pun sama. Tidak pernah ada sejumput harapan tersempil di kepalanya.

Subuh menjalang. Sang adik masih terlelap dalam mimpi yang entah apa isinya, sementara sang kakak diam-diam membuka pengunci rantai besi yang melilit di pangkal kakinya yang kecil. Digendongnya tubuh mungil itu ke punggung si pria. Pelan-pelan sekali, hingga nyaris tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan sang adik dari dunia bunga tidur. Tubuh itu terasa ringan, hingga sang kakak yakin, berapa jauh pun melangkah, dia akan sanggup menopangnya.

Kaki panjang dan berotot kokoh itu terus melangkah, melewati pematangan sawah yang licin, sungai-sungai kecil, hingga sampailah mereka pada sebuah padang rumput yang luas. Banyak sekali bunga buntut kucing yang menari dengan gemulai karena tertiup angin segar pagi hari. Semburat keunguan gradasi dari biru pekat mulai tampak di langit, menggantikan kegelapan yang diterangi oleh sang putri malam. Dengan lembut ditepuknya pipi sang wanita yang masih tenang di pundak pria itu.

Mata itu bergerak berat. Namun udara lembut yang membelai setiap kulit wanita itu, akhirnya ikut membuat wanita itu benar-benar terjaga dari tidur lelapnya. Sekali lagi matanya mengerjap, ketika kepalanya terangkat dan biji mata berbentuk almond itu menangkap siluet keindahan alam yang tidak pernah dia temukan dalam hidupnya. Bibir yang tidak meluncurkan kata-kata itu, tertarik ke samping kanan dan kiri. Senyum lebarnya, memamerkan gigi yang berantakan dan agak kekuningan. Matanya…mata kosong itu kini memancarkan satu percikan cahaya gairah kehidupan yang tidak pernah tampak. Pesonanya lumer bersama dengan mlai munculnya matahari di ufuk barat.

Dan dia hidup.

Direntangkan kedua tangannya seperti seorang burung yang siap terbang, dihirup dalam-dalam aroma kebebasan yang ada di hadapannya itu. Dia menengadahkan kepala. Sekelompok burung tampak berenang di langit, mengepakkan sayap dengan semangat.

Kini, wanita itu mulai memahami menjadi seekor burung.

Saturday, October 24, 2009

Surat Untuk Seseorang (Dalam Kenangan)

SURAT UNTUK SESEORANG DALAM KENANGAN

Ketika aku menyadarinya, semua sudah terlambat. Dan setiap detik yang kulalui, penyesalan itu terasa menyesakkan.
Berjuta kata maaf, apakah sanggup membuatmu memaafkanku?

Kebodohanku, adalah melepasmu.
Tapi aku bukan keledai yang akan mengulang kesalahan yang sama. Ketika perasaan itu kembali datang, bolehkah aku mengulang semuanya sekali lagi?

Rasanya aneh. Aku begitu naïf telah menyangkal perasaanku sendiri. Mati-matian berkata tidak, sementara hati begitu menginginkanmu kembali untukku.
Bolehkah kamu menemani hari-hariku lagi? Bolehkah kamu yang menjadi bayangan di saat aku berjalan tegak maupun di saat aku jatuh? Bolehkah hanya kamu yang menopang diriku?

Jika satu bulir air mata ini jatuh, semua karena usahaku menahan rasa cinta yang ingin kusampaikan, namun tak kunjung terucap karena ketidakmampuanku.
Jika satu senyuman ini mengembang, semua karena teringat akan kebersamaan denganmu.

Karena itu, bisakah kita bersama lagi? Selamanya.

Yang selalu menantimu.